Budi nyaris bunuh diri, dua kali. Malam itu ia tak tahan lagi, mengambil pisau dapur, merebahkan tubuh, lalu menaruh tepat di sampingnya. Suara riuh di kepalanya makin malam makin berisik, ia sudah memutar frekuensi 333hz lebih dari setengah jam, saran yang ia terima dari seorang psikolog, namun itu tak banyak membantu. Budi memikirkan Geraldine, berulang kali ia menulis pesan yang langsung ia hapus sebelum menekan tombol kirim. Ia tak ingin merusak hubungan pertemanan yang sempat pulih karena pertengkaran serupa. Budi tak ingin mengganggu. Sebab baginya ia adalah gulma di lahan pertanian.
Percobaan bunuh diri pertama terjadi setahun sebelum. Ia berpikir meminum cairan pel, namun saat mengangkat botol, cairan itu ternyata habis, dan ia terlalu malas untuk membeli di warung, tak ada energi. Budi akhirnya tertidur, pulas, dan bangun dengan pusing tak terkira, kepalanya seperti ditumbuk hubungan tak sehat yang banyak dialami anak kuliahan—gen z, katamu. Budi bersyukur, satu hari lagi berhasil ia lewati, susah payah.
Hal yang sama terjadi saat percobaan kedua, ia tertidur, dengan pisau di sampingnya sampai pagi, dan ia bingung, berusaha terus mengingat mengapa ada pisau di kasur. Ponselnya penuh notifikasi, dari Geraldine yang cemas. Budi mengecek, dan ia ternganga, jantungnya berdebar kencang. “Ge, aku kayaknya mau bunuh diri, udah ga kuat, sumpah,” pesan itu ia kirim tepat sebelum tertidur, dan ia lupa.
Geraldine menelepon berulang kali, mengirim pesan bejibun. Budi mengetahui kecemasan itu, karena Geraldine kemudian mengirimkan pesan di instagram pada kakak, dan kembaran Budi. Sialnya, kakak dan kembaran Budi menganggap itu hanya candaan, Geraldine sungguh tak terima, cara Budi membuatnya begitu khawatir. Sejak itu Budi dan Geraldine tak pernah lagi berkomunikasi. Perasaan Budi nyata, keinginan bunuh diri terus menggema di kepala, kakak dan kembarannya menghancurkan pertemanan dengan Geraldine—satu-satunya orang yang ia percaya. Geraldine merasa dibohongi dengan cara kampungan, yang tak seharusnya dilakukan.
Budi berusaha menjelaskan, namun Geraldine tak merespon, ia tak bisa mengunjunginya, Geraldine sedang menempuh pendidikan S2 di Jerman. Setahun lebih Budi mendiamkan kakak dan kembarannya. Ia sakit hati, sebab di rumah tak ada yang mengerti kondisi dan perasaannya. Budi sempat cerita pada ibu, menangis begitu sesak, ibu tak mampu berbuat banyak, hanya bisa mendengar—sesuatu yang Budi butuhkan, dan Budi mengerti itu. Ibu satu-satunya orang di rumah yang mengerti, merespon dengan tepat, paling tidak, tak membuat Budi makin terpuruk.
Budi mengalami pelecehan seksual saat usianya tujuh belas tahun. Ia baru berani cerita pada ibu lima tahun kemudian, cerita itu didengar kakak ketiga, dan kembarannya, yang kemudian hanya jadi bahan candaan. Budi sakit hati, ia merasa mati saat itu. Ibunya tak banyak merespon, Budi tahu ibunya bingung. Budi tak lagi membahas pengalaman itu di rumah selain pada Ibu. Meski makin lama, Budi merasa ibunya benar-benar tak tahu cara merespon. Ibu Budi berulang kali memintanya pergi ke masjid setiap Budi mencurahkan perasaan—Budi melakukannya, perasaan itu tetap tak hilang, justru makin kelam—makin parah. Bapaknya lebih parah, “Jotosi wae,” hanya kalimat itu yang muncul saat Budi cerita, tak ada lagi apapun.
Dua tahun sebelumnya Budi cerita pada atasannya di kantor, sebab kejadian pelecehan itu terjadi di ruang kantor, oleh mantan karyawan yang masih sering berkunjung. “Yang sabar aja,” hanya kalimat itu yang muncul, terdengar pekik—menusuk seluruh organ tubuh, dan Budi masih bekerja di sana hingga sembilan tahun lebih, ia tak punya pilihan untuk bekerja di tempat lain, sebab keluarganya miskin, ia harus bekerja untuk membiayai kuliahnya, hingga lulus tepat waktu, menabung, dan ikut membiayai kebutuhan rumah, ibu juga bapak. Sembilan tahun ia masih bertemu atasannya di kantor—seorang perempuan, yang Budi kira awalnya akan tepat menceritakan pengalamannya.
Karena itu ia tak langsung menceritakan pada ibu dan keluarganya, Budi takut, menerima respon yang menyakitkan sekali lagi, dan benar saja, ketakutan yang muncul di kepalanya terus terjadi, Budi makin terbiasa pada suara-suara di kepala, dan mulai merespon suara itu sebagai kebenaran yang pasti terjadi. Ternyata menceritakan pengalaman dilecehkan sama menyakitkannya dengan diam—tak bercerita. Bahkan kadang lebih berat, Budi ingin orang berempati, ingin ditemani, ingin dimengerti, namun ia tak pernah menerimanya—tak ada yang lebih baik; cerita atau diam. Rasanya lebih dari kematian, Budi mati suri, terus-menerus, seolah tak ada ujungnya.
Budi mencoba pergi ke psikolog untuk kali pertama, setahun setelah cerita itu didengar keluarga. Nyatanya ia tak siap, Budi berkabung, tak siap mengorek sekali lagi, masa lalu kelam yang menghancurkannya. Ia jadi pendiam—tak banyak bicara. Budi orang baru dalam kasus ini, ia seperti bayi, harus belajar merangkak, belajar semuanya, kekosongan di dadanya, gelap dan pengap, bahkan seperti tak ada ruang di sana, tak mampu diisi apapun atau siapapun.
Kali kedua Budi pergi ke psikolog—seorang pria, responnya lebih menyakitkan. Budi seperti tak diterima, respon psikolog itu tak membuatnya nyaman bercerita. Mungkin karena ia laki-laki, pikirnya, dan cerita tentang laki-laki dilecehkan sepertinya pengalaman remeh, berbulan-bulan Budi memikirkan kemungkinan itu. Ia hanya pergi dua kali ke psikolog itu, dan setelahnya, ia tak pernah lagi pergi ke psikolog. Budi tersesat, ia tahu, ia kehabisan opsi, kehabisan pilihan. Suara di kepalanya harus ia muntahkan, ia benar-benar tak lagi tahan.
Keinginan bunuh diri itu terus terpikirkan, namun Budi coba mengabaikan, ia tahu terakhir kali mencurahkan keinginan untuk mati, ia kehilangan teman terbaik, hubungannya jadi tak sehat dengan keluarga. Budi belajar dari itu, dan tak ingin mengulanginya, ia sudah cukup kesepian, tak ingin lagi menambah beban itu. Kesepian mencabik hati, pikiran, dan hidupnya. Di titik itu, Budi merasa tak punya siapa-siapa, tak tahu harus cerita pada siapa, atau mungkin ia hanya perlu memendam, sampai tua, dan terus tersakiti setiap harinya, setiap detiknya.
Membayangkan itu saja Budi ingin muntah. Ia tahu harus menyibukkan diri, dengan itu ia akan lupa. Budi kembali menyusun rutinitas, yang sebelumnya memang sudah ia lakukan. Ia merasa kehilangan dirinya, dan melewatkan banyak hal. Budi kembali rutin olahraga, lari dan pergi ke gym, menulis, mengatur pola makan dan tidur lebih awal, ia menghabiskan bertahun-tahun begadang, takut tidur, sebab kejadian pelecehan itu terus menghantui tidurnya.
Mimpi buruk datang kali pertama hanya tiga hari lepas kejadian itu. Tubuh Budi bergetar, dan ibu mengetahuinya, ibu bertanya, “mimpi buruk,” ucap Budi. Namun kejadian itu makin sering, dan ibu mulai penasaran mimpi buruk macam apa yang anaknya alami. Budi belum cerita pada siapapun tentang pelecehan itu, ia masih diam. Saat itu Budi menganggap semua baik-baik saja, setidaknya akan baik-baik saja. Nyatanya sembilan tahun setelah kejadian, banyak hal berubah, ia merasa geraknya lambat, perubahannya tak positif. Budi terjebak—ingatannya berputar pada episode yang sama.
Budi menyadari, mimpi buruk itu adalah wujud ketakutannya, akibat dari peristiwa yang sama sekali tak pernah ia duga, Budi bahkan mulai ada di titik tak ingin lagi membahas, lidahnya kelu saat berusaha menjelaskan, bahkan untuk menyebut. Tubuh Budi kaku saat mengingat atau mengisahkan peristiwa itu, efek yang sama saat pertama kali terjadi.
Pelaku adalah seorang pria, usianya lebih tua, mantan karyawan, pria yang cukup terkenal di kota. Dua minggu pertama Budi bekerja, pria itu datang setelah selesai jadi pemandu acara dalam sebuah acara pernikahan, melihat Budi, berkenalan, lalu tiba-tiba memijat pundak—punggung Budi. Ia dikenal pintar memijat, Budi mendengar reputasinya dari karyawan lain. Namun kenikmatan dari pijatan itu hanya terjadi tak lebih dari satu menit. Tangan pria itu berangsur merambah paha Budi setelah menyusuri punggungnya. Budi mematung—kaku, tepat setelah tangan itu masuk ke celana—jeans dongker, warna kesukaan Budi.
Peristiwa itu berhenti setelah tawa kencang karyawan lain terdengar dari ruangan lain, dan Budi masih terdiam di kursinya, Budi tak ingat seberapa lama—namun rasanya begitu panjang, tubuhnya panas-dingin setiap kali mengingat, seolah ada kekuatan besar yang menyedot energinya, ia merasa lemas setiap kali mengingat peristiwa itu. Budi sudah tak pernah lagi memakai jeans, ia membiarkannya di lemari sebelum akhirnya membuang jeans-jeans itu.
Efek pelecehan yang Budi alami memengaruhi dalam segala aspek kehidupannya. Bukan hanya dihantui lewat mimpi, namun skil sosialnya juga menurun, ia takut setiap kali berada di dekat laki-laki, Budi menyadari saat ia rutin lari di pusat olahraga di dekat kantornya, tubuhnya merespon ketakutan itu dengan gemetar dan lutut yang melemas, Budi langsung menjauh seketika. Bahkan hal serupa sering ia rasakan setiap kali salat berjamaah di masjid, kecemasan saat shaf diluruskan—sentuhan lengan atau kaki jamaah di kanan-kiri. Budi sadar hidupnya sudah tak lagi mengenakan, ia sulit mencari kesenangan, baginya sekarang hidup hanya soal bertahan dari pikiran buruk di kepala. Budi merasakan kehampaan.
Pun pada hubungan romantisnya pada setiap perempuan, ia sering dijauhi karena dua perkara, pertama; setiap kali hubungan itu jadi lebih intim, dan keduanya saling bersentuhan, Budi mengingat kejadian pelecehan itu, adegan yang berputar-putar di kepala, menghentikan sentuhan-sentuhan, Budi menolak, tak ada efek biologis yang terjadi pada tubuhnya, selayaknya saat dua orang berciuman atau saling menyentuh bagian paling intim. Budi tak pernah sanggup menjelaskan apa yang terjadi, pada setiap perempuan yang dekat dengannya.
Begitu berat hingga Budi menyadari satu hal; menolak perempuan yang ingin bersentuhan bahkan bersetubuh bisa membuat mereka sakit hati, perempuan-perempuan itu merasa tak disukai, tak diinginkan, insecure, dan akhirnya meninggalkan Budi—seolah tak lagi kenal, sama sekali. Itu terjadi pada setiap perempuan yang pernah dekat dengannya.