Buku Paling Bagus di Alam Semesta

Zahid Paningrome
Chapter #11

Kematian Kesembilan: Orang-Orang Transaksional Mati Dibakar di Neraka

Perjalanan Budi dan Nadia berlanjut, keduanya makin dekat justru saat menjadi kucing, masalah-masalah dalam diri masing-masing akhirnya mencuat dan punya ruang untuk diceritakan, sesuatu yang saat mereka masih menjadi manusia, keduanya tak sempat punya waktu untuk bisa saling mendengar, saling memahami; sesuatu yang seharusnya dilakukan setiap kakak-adik di muka bumi. Di dunia kucing Budi lebih banyak menuruti Nadia, karena adiknya itu lebih lama berada di sini, lebih lama berkelana, dan lebih mengenal lingkungannya. Cerita-cerita yang baru keduanya dengar, dan tentu bukan hanya Budi, Nadia pun tak percaya hal semacam itu bisa menimpa manusia.

Budi mengajak Nadia pergi ke rumah, melihat apa yang akan terjadi di sana. Keduanya tak menduga dan merasa hal-hal di depan matanya tak perlu terjadi; rumah itu diperebutkan, oleh saudara dari bapak dan ibu. Pada sabtu sore, hampir seluruh keluarga berkumpul di rumah, bahkan mereka yang tak pernah Budi dan Nadia lihat sepanjang hidup. Mereka terbelah menjadi tiga kubu; Pertama mereka yang menghendaki rumah dijual dan hasil penjualannya dibagi rata. Kedua, mereka yang ingin rumah itu tetap dilestarikan dan ditinggali oleh keluarga—entah siapa saja. Ketiga, mereka yang tetap ingin ada uang mengalir namun tak ingin menjual rumah itu, dengan memberi jalan keluar untuk bisa dikontrakan, atau sekalian dijadikan indekos.

Budi dan Nadia jelas memilih kubu kedua, rumah adalah kenangan, dan memang sudah selayaknya kita merawat kenangan itu. Memori baik harus selalu punya tempat, bahkan saat penghuninya meninggalkan dunia. Lagi pula pilihan pertama dan ketiga memiliki risiko yang belum tentu membuat orang siap menerimanya, jika harus dijual, pembelinya punya hak atas properti itu, termasuk meratakannya, kenangan hilang—memori baik musnah, tak ada tempat bagi Budi dan Nadia atau keluarga untuk sejenak mengingat masa lalu. Manusia selalu butuh monumen, agar ingatan-ingatan itu terjaga. Budi dan Nadia jelas sangat tak setuju pilihan pertama itu, keduanya mengeong kencang—membuat anggota keluarga sadar akan kehadiran mereka.

Seorang anak dari keluarga bapak—Budi menebak itu adalah cucu dari adik bapak, menghampiri mereka—mengelus dan berusaha menggendong. Di teras rumah keduanya bercengkrama, anak itu meletakkan mainannya, memilih menghabiskan waktu bersama Budi juga Nadia daripada masuk ke dunia orang dewasa yang rumit dan penuh kepentingan. Anak itu bernama Kala, Budi dan Nadia mendengar saat Ibu Kala memanggil, membiarkannya setelah tahu Kala bermain-main dengan dua kucing yang tampak jinak dan akur.

Nadia tak sepenuhnya setuju rumah itu dijadikan indekos, apalagi disewakan pada mahasiswa, Nadia tak sudi rumahnya jadi berantakan dan jorok, ditinggali orang-orang tak bertanggung-jawab yang hanya mengerti menghabiskan uang orang-tua tanpa mengerti balas budi. Mereka yang tak pernah hidup susah, dan merasa semua kebutuhannya akan terpenuhi bahkan sampai mereka mati. Jenis manusia yang tutup mata pada nasib orang lain, lingkungan sekitar, dan hanya peduli pada kehidupan sendiri yang mewah namun tak terkendali—lepas dari nilai-nilai moral karena merasa semua bisa dibeli.

Budi setuju dengan Nadia, kalau pun harus ada uang yang dihasilkan dari rumah ini, Budi memilih untuk dikontrakan pada sebuah keluarga, agar rumah tetap terjaga. Namun dari yang Budi dan Nadia perhatikan sepertinya banyak yang tak ingin ribet dan memilih untuk langsung menjualnya saja. Budi terheran-heran, mengapa mereka tiba-tiba merasa tak mau ribet padahal mereka tak pernah sama sekali menginjak rumah itu. Nadia lebih banyak tak mengenal mereka yang datang ke rumah. Budi hanya mengenal beberapa, adik bapak, kakak ibu, dan Kala yang baru saja ia temui. Namanya bagus, Kala Angkasa, pikir Budi, ia ingin punya anak dengan nama bagus suatu saat nanti, namun ia kini kucing. Apakah induk kucing memberi nama pada anaknya?

Dua pria lalu keluar dan duduk di teras, Nadia merasakan emosi menguasai keduanya. Mereka membicarakan cara-cara terbaik untuk menjual rumah tanpa sepengetahuan keluarga lain, Nadia lalu mencakar kaki keduanya. Ia tak sudi mendengar kalimat itu keluar dari seorang yang sama sekali tak ia kenal, seorang yang ingin mendapatkan uang dengan cara instan, seseorang yang bahkan tak memiliki pekerjaan, mereka hanya menunggu momen atau nasib baik yang bisa dimanfaatkan. Mungkin bahkan uangnya akan mereka pakai untuk berjudi atau menyewa perempuan dan memuaskan nafsu bejat.

Budi ikut mencakar, mereka loncat, mengagetkan seluruh orang di dalam rumah. Seseorang mencoba mengusir Budi dan Nadia, Kala Angkasa menangis, ia tetap ingin bermain dengan Budi dan Nadia. Kekacauan terjadi seketika, bapak Kala menenangkan suasana. Dua pria itu lantas pergi, Budi dan Nadia merasakan kemenangan pertama kali, kembali menikmati sentuhan lembut Kala Angaksa. Keadaanya menjadi lebih tenang di dalam rumah, makanan hendak disuguhkan. Ibu dan Bapak Kala duduk di teras, melihat anaknya merasa aman bersama dua kucing yang tak mereka kenal. Ibu Kala melihat sebuah botol berisi makanan ringan kucing di samping kursi, membukanya lalu menebarkannya di lantai. Nadia langsung memakannya, Budi hanya melihat.

“Memang enak?” Budi penasaran, itu pengalaman pertamanya.

“Coba, Kak,” ucap Nadia fokus makan. Budi tak yakin, namun perutnya mulai keroncongan, ia harus memakan sesuatu. Budi belum pernah memakan makanan kucing, ia masih merasa bahwa dirinya adalah manusia. Budi belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan.

“Enak?” Budi memastikan. Nadia hanya diam, ludah-ludah di lidahnya merekatkan makanan ringan itu, hingga bisa ia telan, Budi melihat Nadia sangat menikmati makanan itu. Ia menelan ludah beberapa kali, Kala Angkasa bahkan harus menuntun Budi untuk ikut makan.

“Enak, Kak. Coba saja,” Nadia menyisakan setengah makanan yang ditebar untuk Budi. Nadia duduk di samping Kala yang kembali mengelusnya—mengusap kepala. Kala terus memancing Budi agar mau makan. Rasa penasaran membuncah di kepala, pelan-pelan Budi melahap makanan itu, otaknya belum singkron, mulutnya menduga-duga. Rasanya amis, Budi langsung memuntahkannya. Nadia tertawa.

“Aku pertama kali makan, juga begitu, Kak,” Nadia terkekeh, “pelan-pelan saja. Kakak juga butuh makan, sekarang kakak enggak bisa makan makanan manusia, nasi padang, warteg, mie gacoan. Enggak bakal ada yang kasih kakak makanan itu… Jadi biasakan dari sekarang, Kak.”

“Ini memang seret, ya? Amis-amis seret gitu,” Budi mencoba menetralkan lidahnya.

“Ya, teksturnya kayak kacang atom gajah kesukaan Kakak, bedanya ini makanan kucing.”

Bapak dan Ibu Kala mengambil air pada sebuah baskom kecil setelah melihat Budi melepehkan makanannya. Nadia lebih dulu meminumnya saat air itu disuguhkan pada mereka, diikuti Budi yang terus bersumpah-serapah pada Nadia. Kala tertawa mendengar meong singkat dan bekali-kali. Setelah minum, Budi mau tak mau melahap makanan ringan itu, ia lapar, mulai menganggap rasa tak enak hanyalah sugesti. Pelan-pelan makanan itu habis. Budi kembali minum. Ia kini akan terus sadar bahwa dirinya adalah kucing—oren, jenis kucing yang paling ia benci. Budi terus meminum air dari baskom kecil, berusaha menghilangkan sisa rasa di lidah.

Nadia menyapa seekor kucing yang datang ke rumah, Budi menoleh, seekor kucing putih betina, bulu dan ekornya indah—Budi berhenti meminum, melihat kucing betina itu lalu berbisik;

“Kucing putih biasanya bego, ya?” Budi memastikan, mulai mengatur ekspektasi—layaknya di dunia manusia, di dunia kucing banyak betina cantik tapi otaknya kosong.

“Iya, dia bego… Tapi pintar,” Nadia ikut berbisik.

“Maksudnya?”

“Dia pintar… Tapi bego…” belum selesai Nadia menyelesaikan kalimatnya, kucing putih betina itu menyapa.

“Lama enggak ketemu,” betina putih itu melihat Budi dari ujung kaki hingga kepala—ke seluruh tubuh, Kala Angkasa makin senang melihat perkumpulan kucing itu bertambah, ia bersemangat, berjalan tertatih menghampiri kucing-kucing itu. Bapak dan Ibunya melihat kucing-kucing itu saling mengeong, berpikir bahwa mereka sedang ada dalam sebuah obrolan.

“Ini Kakakku,” Nadia memperkenalkan, “Budi…” Budi mengenalkan dirinya, “Eh Zidane.” Budi tersadar namanya tak relalu keren untuk seekor betina paling cantik yang sejauh ini ia temui.

“Panggil Budi aja,” ucap Nadia, mematahkan harapan Budi untuk dipanggil Zidane.

“Niken…” kucing betina itu mengenalkan diri.

Nadia menjelaskan pada Budi bahwa Niken adalah bekas kucing salah satu pejabat negara, kini sedang maju sebagai salah satu capres yang akan mengikuti pemilu. Budi tertarik dengan fakta itu, dan tiba-tiba punya segudang pertanyaan di kepalanya. Niken kabur dari rumah dinas setelah mengetahui pertemuan rahasia antar pejabat-pejabat koalisi.

“Itu siapa saja?” tanya Budi.

“Ketua-ketua partai dari partai koalisi yang dukung Pak Gendut.”

“Pak Gendut?”

“Kucing-kucing menyebutnya Pak Gendut. Dia punya lima kucing, tapi sekarang sisa dua, yang lain ikut kabur sama kayak aku.”

“Memang isi pertemuannya apa?”

Lihat selengkapnya