Buku Paling Bagus di Alam Semesta

Zahid Paningrome
Chapter #12

Kematian Kesepuluh: Kucing-Kucing Tak Membeli Buku-Buku

“Aku mimpi aneh semalam,” ucap Budi baru saja datang, melempar tasnya ke meja. Budi yang menulis novel ini, bukan Budi yang jadi karakter utama novel yang ditulis Budi.

“Apaan lagi?” Bimo mengalihkan fokus dari laptop di depannya, menatap Budi.

“Gara-gara kebanyakan nulis soal kucing. Semalam mimpi kucing wifi!” Budi duduk, ia bersemangat, “Jadi aku ada di sebuah desa, tiba-tiba desa itu mati listrik, Bim. Semua rumah di desa itu mati lampu… Kecuali satu tempat,” Budi memberi gestur angka satu di jarinya, “Satu warung di desa itu nyala, enggak mati listrik. Pas dilihat ternyata ada kucing duduk di sana, memancarkan sinyal wifi! Gokil! Terus aku ngobrol sama yang punya warung, katanya kucing itu sumber energi yang bikin warung bisa nyala, jadi kalau kucing itu tidur warung itu mati listrik. Aneh banget ini mimpi,” Budi meminum air di dalam botol, “Kepalanya itu loh Bim…” Budi meneruskan, “, kuning menyala.”

“Bagus tuh kalo masuk novel.”

“Emang boleh?”

“Ya boleh, lah! Banyak penulis idenya datang dari mimpi.”

“Tulis di bagian mana, ya?”

“Langsung aja di bab ini, jadi pembuka bab, tapi enggak perlu lagi pakai huruf miring. Biar pembacamu bertanya-tanya, ini Budi penulis novelnya, atau Budi karakter utama… Me-ta,” Bimo bersemangat, Budi yang bukan karakter utama mendengar ide itu dan antusias. Ia membuka file draft novel di laptopnya. Mulai menulis bab baru di lembar kosong.

 

-----


Setelah gagal membeli martabak karena Budi adalah seekor kucing, Nadia dan Budi kembali ke rumah dan tidur di teras semalaman, bersama dua kucing liar lain yang tak punya majikan, atau para kucing menyebut majikan-majikan itu babu. Budi lebih dulu membuka mata tepat saat azan subuh berkumandang, ia masih menopang dagu pada kaki dan tangannya. Budi mimpi aneh semalam, ia menunggu Nadia bangun untuk menceritakannya. Dua kucing liar lain bangun dan bergegas pergi, berpamitan pada Budi untuk berkelana mencari makan di tong-tong sampah.

“Mimpiku semalam aneh,” ucap Budi seketika, melihat Nadia mulai membuka mata, “Masa aku ada di desa…”

“Terus desanya mati listrik, terus ada kucing wifi yang jadi sumber energi,” Nadia memotong, masih terkantuk-kantuk, berusaha memfokuskan pandangan.

“Kok tahu?” Budi bangkit, duduk, ia antusias.

“Aku mimpi, ada orang yang namanya sama kayak kakak, Budi, bikin novel tentang orang yang bunuh diri terus jadi kucing, terus penulisnya mimpi lihat kucing wifi. Aneh banget…” Nadia menggelengkan kepalanya, merasakan pusing.

“Anjay… Kok bisa, ya…” Budi tertegun, “… apa jangan-jangan kita ini cuma karakter yang ditulis si penulis? Budi yang bukan kakak?”

“Aduh, pusing kak.”

Nadia kembali tidur, beberapa tetangga mulai terlihat pergi ke masjid, ibu-ibu dengan mukena beriringan sekaligus saling sapa, seorang anak memanggil Budi dari luar pagar, kemudian berlalu. Budi kembali tidur. Tak banyak yang bisa mereka lakukan di jam-jam subuh selain ikut salat, tapi mereka kucing. Kucing tak salat, meski kadang mereka pergi ke masjid untuk merasakan dingin ubin, dan tertidur di sana. Atau mendengar bapak-bapak bergosip di teras masjid sambil menyalakan rokok, membicarakan tetangga yang ikut pemilu, maju sebagai caleg di daerah pemilihan mereka, namun tak akan mereka pilih karena orangnya menyebalkan dan cenderung sumbu pendek.

“Cok, seng genah ae ta, mbingungi iki,” ucap Bimo dengan logat kental Surabaya, kota kelahirannya. Ia membaca bab terbaru Budi dan sedikit dibuat pusing.

“Saran lo itu.”

“Iyo sih. Tapi ojo mbulet ngene ta.”

“Wes gakpo, manut wae,” balas Budi dengan logat khas Semarang, kota kelahirannya. “Apik iki, meta… Pembacaku pasti wes anjay gurinjay moco iki.”

“Karepmu, lah!”

Pagi tiba, teman-teman Nadia yang lain, yaitu ayam sudah mulai keluar dari kandang dan berak sembarangan, aromanya mengular—membangunkannya. Budi ikut terbangun tak lama kemudian. Keduanya bergantian meminum air sisa di baskom. Kehidupan kucing memang membosankan, apalagi manusia yang menjadi kucing, harus terus beradaptasi bagaimana cara hidup sebagai kucing. Yang pasti, tiap harinya Nadia bingung apa yang harus ia lakukan dalam sehari, selain mencari makanan dan terus tidur, atau sesekali mengacaukan aktivitas manusia. Hal serupa mulai dirasakan Budi, ia hampir mati kutu.

Namun Budi tak pernah kehilangan akal, terbesit di kepalanya yang kecil itu untuk mengajak Nadia ke makam mereka. Dekat rumah, bisa ditempuh jalan kaki. Nadia mengiyakan ajakan itu, lagipula ia belum pernah melihat makamnya sendiri, bahkan tak terbesit sedikit pun di benaknya. Akan sangat horor jika seorang manusia datang ke makamnya sendiri, tapi Nadia adalah kucing, itu mungkin untuk dilakukan. Budi antusias, berjalan di depan sembari bersenandung, sebuah lagu yang tak sepenuhnya Nadia tahu.

“Itu lagu siapa?”

“Aldi Taher.

“Ha?” Nadia berusaha mengingat lagu yang dimaksud. Terlalu banyak lagu jelek Aldi Taher yang pernah ia dengar.

“Jangan remas bijiku… Jangan remas bijiku, itu sungguh nggak asik, sama sekali nggak menarik,” Budi menyanyikannya.

“Kembalikan dua detikku…”

Lihat selengkapnya