Buku Paling Bagus di Alam Semesta

Zahid Paningrome
Chapter #13

Kematian Kesebelas: Pertarungan Melawan Kesedihan

“Mati dia, Bud?” Bimo tercengang, Budi mengangkat kedua alisnya singkat. Tampak dari ekspresi Bimo, ia sungguh tak menduga cara kematian itu. “Terus mau diapain lagi?”

“Jujur…” ada jeda dalam jawaban Budi, Bimo menunggu, “jujur belum tahu.”

“Yaelah.”

“Tapi sejauh ini gimana?” tanya Budi serius.

“Oke, kok, untuk novel debut aku menikmati alurnya, aku paham poin yang pengin kamu sampaikan. Paham referensi-referensinya. Enggak jelek, tapi bukan yang bagus-bagus banget. Aku menikmati… Tapi, aku ada satu pertanyaan.”

“Apa?”

“Itu serius majikan Niken mau disebut terang-terangan gitu?” ada kekhawatiran dalam diri Bimo tentang pilihan estetika yang Budi ambil. Sebagai editor ia merasa perlu menanyakan ulang.

“Asal enggak nyebut nama kayaknya enggak masalah. Iya, kan?” Budi telat menyadari dan justru mempertanyakan apakah pilihannya itu aman, atau akan merugikan. Ia merasa perlu mendiskusikan lagi.

“Tapi kan itu sudah jelas, tanpa sebut nama…” Bimo mencoba terus mengkonfrontasi pilihan estetika, meski ia sadar pilihan terakhir ada di tangan Budi, “Tujuan bab itu ditulis, dan referensinya harus ke sana apa, Bud?” tanya Bimo memastikan.

Reading the wave aja, momennya pas sama tahun pemilu… Menurutku akan menarik kalau realita menyamar sebagai fiksi. Jadi kayak yang pernah aku bilang; Realisme Magis. Apalagi beliau kan memang punya kucing, kayak pas aja gitu, Bim.”

“Masalahnya referensi itu kan enggak terjadi, masih kerasa kalo itu fiksi. Bukan kejadian nyata… Aku ragu itu bisa disebut realisme magis… Menurutmu gimana?” Bimo terus bertanya—berusaha membuat Budi yakin, sambil tetap menaruh hormat pada Budi sebagai penulisnya. Ia tak punya niat agar Budi mengganti referensi itu.

“Belum tentu enggak terjadi juga, Bim,” sanggah Budi.

“Maksudnya?”

“Kalau pun memang terjadi, amit-amit, semoga kejadiannya enggak persis kayak gitu… Kalaupun persis, itu keuntungan enggak sih? Pembaca bakal mengira kalau buku ini memprediksi kondisi politik… Iya enggak?”

“Oke… Jadi, anggap saja, kalau terjadi itu berarti prediksi, dan kalau enggak terjadi ya sekadar fiksi?” Bimo memikirkan kemungkinan yang kini tampak menarik baginya.

“Kalau pun enggak terjadi, paling enggak waktu orang baca bab itu, mereka bertanya-tanya apakah aku sebagai penulis berniat menyampaikan suatu kebenaran, yang mungkin akhirnya jadi kebenaran yang mereka yakini sendiri… The power of book, Bim.”

“Menarik,” Bimo mengangguk pasti, memegang draft yang kini Budi cetak untuk memudahkan ia dan Bimo mencoret atau menyukai bagian tertentu—memberi catatan yang perlu untuk novel itu.

“Apalagi di dunia nyata dia juga pernah pidato kalau negara kita bakal hancur hanya dari buku yang dia baca. Selevel dia aja, punya kebenaran di benaknya sendiri, yang bahkan berani dia ucapan ke publik,” Budi berusaha memantapkan keraguan dalam kepala Bimo.

“Cerdas, Bud,” ucap Bimo mengembalikan draft cetak itu pada Budi, “Enggak kepikiran sampai sana!”

“Menarik, kan…” senyum Budi, memenangkan perdebatan itu, diikuti anggukan mantap dari Bimo. Penjelasan itu baru Budi temukan, seolah semuanya berjalan otomatis, untung Bimo bertanya, pikir Budi.


-----


Nadia menyaksikan dua kematian kakaknya, Budi sebagai manusia dan kucing. Saat pertama, ia mungkin memang mengharapkan kematian itu, namun yang kedua ia menyadari kebodohannya; tak berusaha mengacaukan bunuh diri pertama, sebuah efek domino yang tak pernah ia sangka. Nadia memikirkan kata-kata Budi, seharusnya ia tak membiarkan kakaknya menyusul. Karena satu kematian itu berdampak pada kematian kedua, dan mungkin akan ada kematian lain setelah ini.

Nadia terpaku di tempat kejadian perkara, melihat manusia-manusia membersihkan tubuh Budi dan membuangnya begitu saja di tempat sampah. Tak ada pemakaman yang layak, pengemudi mobil lari begitu saja, tak ada yang mengejar, itu hanya kucing, lagipula siapa yang akan peduli. Ia merasakan kehilangan, serupa saat Budi kehilangan dirinya, keluarga ini terjebak pada siklus bunuh diri, dan Nadia baru menyadari, ia yang memulai siklus itu.

Kematiannya menguatkan motivasi Budi, ia tak lagi mampu memikirkan apa yang kini Budi alami setelah kematian tragis itu, ia bahkan tak sanggup menebak-nebak Budi sedang di mana, melakukan apa, atau apakah ia akan terlahir kembali. Yang paling ia tahu, manusia bunuh diri akan menjadi kucing, lalu bagaimana dengan kucing yang bunuh diri? Apakah akan lahir kembali menjadi kucing? Atau sebaliknya? Menjadi manusia.

Nadia bertahan hingga dini hari menangisi tamparan keras peristiwa di depan matanya. Ia mencari Niken, ia sadar butuh orang lain, Nadia tak ingin merasakan kesepian saat kesedihan dan duka menguasainya. Nadia terlalu takut pikirannya justru membawa pada kesimpulan pragmatis yaitu bunuh diri, mengejar Budi melalui kematian itu sendiri, sebuah sistem reinkarnasi yang sama sekali asing dan tak ia kuasai. Nadia sadar ia harus tetap memijak bumi, dan pilihannya hanya Niken atau Kucing Ong, yang mungkin kini sedang dagang senjata illegal untuk perang antar geng kucing.

Tak ada tempat lain, Nadia memutuskan pulang ke rumah, dan bertemu Niken yang ternyata sudah lebih dulu menunggunya di sana. Kedua betina itu langsung berpelukan, Niken menenangkan Nadia—tangisnya pecah, Tak banyak yang bisa kita lakukan untuk menetralkan sebuah duka selain peluk, kehadiran yang hangat dan dalam. Barangkali bukan hanya kucing yang membutuhkan itu, manusia pun, sesama perempuan yang perlu saling mendukung dan menyokong. Tangis Nadia bertahan lama diiringi sumpah serapah yang ia tujukan pada dirinya sendiri.

Niken tahu kabar kematian Budi, kabar itu sudah tersebar di anak-anak skena kucing, mereka yang sering ikut nongkrong di coffeeshop penuh krikil tempat para manusia berkumpul tapi tak membicarakan apapun, hanya saling memamerkan outfit terbaru yang ternyata palsu—KW. Nadia dan Niken bertemu dalam keadaan yang sama-sama parah, Nadia melihat Niken terlihat terpukul, tampaknya Niken baru saja mendengar sebuah fakta yang lebih mendebarkan dari yang terakhir ia dengar di dalam mobil. Namun Nadia tak menanyakan itu, ia menunggu Niken bercerita sendiri.

“Kamu tahu enggak, kalau kucing bunuh diri nasibnya gimana?” Nadia mencoba menenangkan diri, mulai mengusap basah di pipi.

“Enggak ada yang tahu, belum pernah ada yang sampai sana. Kebanyakan dari kita kehilangan nyawa satu-per-satu dari sembilan yang kita punya, enggak ada yang langsung kehilangan semua sekaligus.”

“Aku khawatir…” mata Nadia berkaca-kaca, Niken memeluknya sekali lagi, mengelus pelan dan lembut punggungnya. Tak banyak yang bisa Niken katakan, ia tahu Nadia membutuhkan dirinya, responnya begitu penting kali ini, ia hanya perlu hadir dan mendengar, tak perlu memaksakan apapun.

Sebelum Budi terlahir sebagai kucing, Nadia sering menceritakan Budi pada Niken, bagaimana rasa khawatir dan cemas terus menghantui hari-harinya, ia menunggu, dan terus menceritakan Budi. Tak banyak kucing betina—tak banyak perempuan yang bunuh diri, lebih banyak pria yang melakukannya karena depresi atau patah hati.

Saat itu Niken satu-satunya betina yang menemani Nadia dalam penantian panjang untuk kembali bertemu dengan Budi. Betina lain lebih sering berkelompok dan menjauhkan diri dari dunia luar, dari jantan-jantan penguasa jalanan, Niken dan Nadia punya pendekatan berbeda untuk membuat hidupnya sebagai kucing lebih mudah—berkawan dengan siapapun yang punya kuasa dan pengaruh, termasuk dengan Kucing Ong, daripada harus hidup di tempurung sendiri dan memvalidasinya dengan kucing lain. Sebagai manusia pun seharusnya hidup tak dijalankan seperti itu. Niken dan Nadia tahu mereka perlu berkompromi.

“Seperti katamu, Nad. Enggak banyak yang bisa kita lakuin,” Niken melepas pelukan, senyum terus menghiasi bibirnya, dua gigi taringnya tampak—mungil dan menggemaskan. Pesona betina putih memang berbeda.

“Tapi, Kak Budi bisa,” Nadia mulai tenang. Berusaha menghilangkan gambaran kematian yang masih basah di kepalanya, dengan mengingat hal-hal baik dari Budi.

“Iya sih, memang agak laen itu orang.”

Lihat selengkapnya