“Maaf, aku jadi oversharing.”
“Gapapa, dong. Kan aku juga.”
“Enggak banyak orang yang aku ceritain, aku biasanya lihat responnya dulu, ekspresi, gestur, dia main HP atau beneran dengerin. Karena, sebenarnya lebih sering mereka enggak bersedia dengar bagian cerita yang ini, tapi takut buat bilang. Jadi aku yang perlu peka, biar enggak terjadi hal-hal enggak diinginkan.”
“Contohnya?”
“Jadi enggak kenal lagi, misalnya.”
“Ohiya?”
“Aku sering ada di momen itu. Mirip Baby Reindeer yang tadi aku bilang. Dulu aku enggak menyadari kalau cerita ke sembarang orang, apalagi orang baru, itu ada risikonya. Awalnya ada kesenangan ketika kita didengarin…”
“Tapi sebetulnya lebih karena merasa lega bisa cerita, kan?” Amelia memotong.
“Iya benar. Terus selalu merasa…” Budi mencari kata yang tepat, “kayak ada kekosongan, kosong aja gitu di dada, jadi butuh terus, butuh ada yang dengerin, butuh cerita… Kamu gitu juga, enggak?”
“Kurang lebih sama. Mereka antusias ketemu, ngobrol sama aku, tapi waktu kita mulai cerita lebih dalam, personal, semacam ada penolakan. Betul katamu, mereka enggak enak buat bilang, aku seringkali menyadari respon mereka. Seringnya mereka mengalihkan obrolan. Mungkin enggak nyaman.”
“Sayangnya aku telat sadar, berat dengerin cerita semacam itu. Butuh energi, dan kadang bisa sangat menguras energi. Tapi, biasanya pas ada di momen buat cerita, kita lupa itu, karena mungkin jarang didengerin, sekalinya ada yang mau dengar langsung oversharing.”
“Aku sebetulnya kurang suka sama istilah itu.”
“Oversharing? Kenapa?”
“Memang apa sih yang terjadi ketika dua orang ketemu selain ngobrol? Kadang obrolannya garing, kadang seru karena ternyata banyak kesamaan, waktu ketemu yang seru-seru ini seringnya kita malah enggak mau obrolannya cepat berlalu. Karena jarang kita temui.”
“Benar. Aku bahkan kadang nahan ke kamar mandi karena obrolannya seru.”
“Iya, kan!”
“Aku pernah di kerjaan, jadi produser, hari itu ada talkshow, kebetulan narasumbernya anak SMA, salah satu sekolah terbaik. Waktu kelar, seperti biasa ngobrol, tiba-tiba ada satu anak, perempuan, nyeletuk ‘tmi’ terus pada diem, kecuali anak-anak SMA itu, mereka ketawa, ada mungkin empat, lima orang. Terus aku nanya ‘tmi’ itu apa, aku beneran enggak tahu waktu itu.”
“Too much information?”
“Iya! Bayangin anak SMA, umur enam belas—tujuh belas? Bilang begitu ke orang yang lebih tua. Enggak habis pikir aku.”
“Padahal kalau enggak ngobrol malah aneh, ya.”
“Garing, kan.”
“Kira-kira kalau waktu itu ada orang-tuanya, respon mereka gimana, ya?”
“Nah itu, aku enggak tahu, enggak mau membayangkan. Tapi mungkin itu hasil didikan orang-tuanya enggak, sih?”
“Bisa jadi… Ada atribut yang menyiratkan dia orang kaya, enggak?”
“Ah! Iya! Ini anak memang kelihatan paling percaya diri, smiling face, leader di antara teman-temannya. Ohiya! HPnya Iphone 13 Pro max. Pro Max buset, anak SMA, enam belas tahun.”
“Cantik, kan?”
“Kenapa memang?”
“Dia mungkin punya jaring pengaman—orang-tuanya kaya mampus, sehingga dia enggak perlu pikir hal lain, fokus ke belajar yang rajin aja, yang dia hadapi sehari-hari mungkin cuma soal-soal, angka, rumus, jadi sensitifitasnya sama manusia kurang. Makanya dia bisa ngomong sesuka hati. Segala hal yang dia mau dan dia suka, selalu disediakan. Selalu ada. Apalagi ditambah dia cantik.”
“Jadi tingkat percaya dirinya naik sampai langit ketujuh, ya.”
“Nah… Tapi di usia segitu memang fasenya, enggak sih?”
“Iya, benar, akhirnya aku pikir positif aja, semoga itu cuma fase.”
“Kalau aku memang suka ngobrol, jadi aku enggak menganggap orang lain itu oversharing, bahkan ketika mereka cerita pengalaman buruk, atau traumanya, kayak kamu tadi. Aku jadi bisa cerita juga, ternyata kita sama-sama punya pengalaman berat.”
“Jadi enggak sekadar basa-basi, ya.”
“Betul. Kayaknya di umur kita ini capek enggak, sih kalau sekadar basa-basi?”
“Tapi bukan berarti enggak perlu basa-basi, kan?”
“Ohiya, maksud aku, kita jadi lebih perlu hal-hal yang lebih punya makna, daripada sekadar lewat gitu aja.”
“Sudah magrib, enggak berasa, ya. Mau makan, enggak?”
“Boleh. Bentar aku ke toilet dulu.”
Budi mengalami déjà vu, ada semburat ingatan yang tiba-tiba menusuk, ia seperti kesetrum saat melihat perempuan di depannya menguncir rambut sebelum akhirnya berdiri—berbalik menuju toilet. Punggung perempuan itu, seperti pernah ia lihat sebelumnya. Budi memastikan berulang kali, ia buka catatan di ponsel, daftar mimpi-mimpi—ia yakin ada di sana.
Namanya Amelia, Budi bertemu saat ia berada di dalam pameran—Artjog. Ia memang selalu pergi ke lebaran para seniman itu setiap tahunnya, Bahkan Budi pernah bertemu Ruth Marbun, salah seorang seniman visual yang ia sukai. Amelia menyadari tangis pecah di wajah Budi, saat Budi melihat lekat-lekat lukisan di depannya, lukisan seorang anak kelahiran tahun 2005, garis sunya pada lukisan itu membekukan Budi, Amelia memastikan keadaan laki-laki cengeng di dekatnya itu, buru-buru Budi menghapus air mata, dan keduanya terlibat dalam obrolan singkat.
Setelah momen itu Budi fokus menikmati setiap instalasi dan lukisan-lukisan, nyaris tak mempedulikan Amelia, ia lanjut menyusuri setiap sudut, tiga lantai bangunan yang penuh orang. Membaca satu-per-satu kuratorial yang tertempel pada dinding di samping setiap karya. Masuk ke ruangan instalasi serba hitam—gelap, ruangan sempit, instalasi aneh yang hanya memunculkan suara gemericik air, atau sudut karya Goenawan Mohamad tentang sejarah setan-setan.
Budi terdiam cukup lama di lorong lantai satu Artjog yang dinding kanan-kirinya terpasang beberapa lukisan dengan ukuran lebih dari satu-kali-satu meter. Kedua kalinya Budi melewati lorong itu, ia akan menyusuri setiap subjek pameran sebanyak dua kali. Pertama; membaca judul dan penjelasan, menikmatinya sekilas. Kedua; benar-benar teliti dan mengamati. Kebiasaan yang selalu Budi lakukan setiap tahunnya, bahkan ia pernah bertahan selama empat jam di dalam.
Lukisan itu milik seorang anak dengan rentang kelahiran antara 2003 sampai 2006, sektor pameran yang diisi oleh kolaborator Artjog, teman-teman disabilitas. Budi terpesona melihat goresan bebas di setiap lukisan itu, ada enam lukisan, masing-masing terbagi tiga, di kanan-kiri. Warna-warna berani, garis-garis tegas, membuatnya sedikit kaget sebab ia pikir itu lukisan orang dewasa—seniman yang telah mapan, terkenal. Bahkan baginya, lukisan itu lebih jujur, lebih punya suara ketimbang lukisan lain di sana, yang kebanyakan hanya sekadar orgasme seni, dibuat terlalu buru-buru, terlalu banyak, tanpa makna dan penuh rasa bersalah, tak utuh. Tak mendefiniskan manusia.
Beberapa kali ekor mata Budi menangkap Amel, sedang fokus mencoba salah satu intalasi interaktif. Budi melewati antrean panjang intalasi yang kemudian ia ketahui itu adalah intalasi bantal-bantal kapuk yang disusun ke atas, intalasi itu ramai di Tiktok. Namun Budi terlalu malas ikut antrean, melihat panjangnya antrean itu saja membuatnya pusing. Sesekali Budi dan Amel berpapasan, saling bertukar senyum, meski keduanya sudah bercakap-cakap sebelumnya.
Hampir tiga jam berada di dalam, Budi tak lagi menemukan sosok Amel di sana. Berulang kali matanya menyapu seluruh sudut ruangan, seluruh lantai sembari menuju pintu keluar, mencari Amel, berniat mengajaknya berkenalan lebih pantas, tak Budi temukan Amel di mana-mana. Hampir jam satu siang, ia melepas jam tangan, menaruh di saku kanan celana, salat, lalu pergi makan—masih di satu area, Jogja National Museum.
Budi menikmati satu pincuk pecel setengah pedas yang saus kacangnya sudah menggoda dari jauh, dengan kerupuk puli renyah, suara kriuknya seolah mengisi seluruh tempat itu saat dikunyah, ada banyak tenda berderet bukan hanya menjual makanan, namun juga pernak-pernik. Ada pula pembaca tarot, dengan tujuh puluh lima ribu satu sesi, nasibmu yang sudah buruk itu akan dibaca.
Selepas makan, Budi berkeliling, melihat tenda pernak-pernik satu-per-satu, namun sejatinya ia berharap dan menunggu berpapasan dengan Amelia sekali lagi. Budi sengaja melambatkan langkahnya, lebih dari sekali ia berkeliling, beberapa pedagang bosan melihatnya, tak membeli namun lalu-lalang. Mata Budi menyapu seluruh area itu, atas, bawah, kanan dan kiri, tak kunjung melihatnya, ia putuskan untuk pulang, barangkali bukan takdirnya bertemu perempuan itu sekali lagi.
Tapi saat Budi sudah hilang harapan, langkah kaki sedang menuju gerbang keluar, ia justru melihat Amelia duduk sendiri di Filosofi Kopi. Hari itu terik namun pohon-pohon besar di sana meneduhkan hampir seluruh area duduk, Budi melihat Amel sedang membaca buku dan memegang es kopi susu di tangan kirinya—seseorang yang tenggelam dalam lautan kata. Budi memberanikan diri menghampiri.
“Sudah baca yang Sapiens?” tanya Budi melihat judul Homo Deus di bagian atas halaman, sudah lebih dari setengah buku itu dibaca.
“Eh…” Amel tersenyum, menaruh es kopi dan buku yang ia tutup lebih dulu pada meja hitam kecil, “Sudah,” Amel mengangguk, “Sudah baca.”
“Aku Budi.”
“Amelia,” Amel menyambut jabat tangan Budi.
“Maaf tadi kurang proper kenalannya.”
“Iya. Masnya kelihatan serius banget tadi.”
“Boleh gabung?”
“Boleh-boleh,” Amel mengambil Homo Deus, menaruhnya di dalam tas.
“Aku pesan dulu,” ucap Budi sebelum sempat duduk. Ia lama melihat menu, Budi tahu ia tak mungkin memesan kopi susu, sebab ada masalah pada lambungnya, dan ia baru saja makan sambal kacang, terakhir kali Budi menikmati dua perpaduan itu, ia muntah-muntah.
“Bukan orang Jogja, ya?” tanya Amel setelah Budi kembali, duduk bersila angkat.
“Kelihatan dari logat, ya? Aku Semarang. Kamu?”
“Aku Bandung, kuliah di sini.”
“Kuliah di mana?”
“UGM.”
“Jurusan?”
“Sosiologi.”
“Oalah. Aku dulu pernah mau masuk Filsafat UGM. Tapi enggak jadi karena ternyata mahal. Akhirnya kerja dulu dua tahun, baru kuliah. Itu pun kuliah sore, paginya kerja. Pernah kepikiran masuk Jogja Film Academy juga, ternyata sama mahalnya.”
“Jurusan?”
“Ilkom.”
“Ah, pantesan!”
“Kenapa?”