Budi tak paham sedang berada di mana, ingatan terakhir adalah ban mobil yang menabraknya, setelah itu semua gelap. Kegelapan itu terus mengikutinya, ia berada di ruangan tanpa motif apapun, hanya gelap, seperti memejamkan mata, tak ada satu benda pun di sekitarnya, tak ada manusia atau makhluk hidup lain. Budi bahkan tak mampu melihat dirinya, tak mampu meraba bentuknya. Semua terasa asing, jelas baru pertama kali ia merasakan pengalaman aneh ini. Terasa intimidatif, ia bahkan tak mampu mendengar suaranya sendiri, meski berulang kali Budi mencoba teriak—sekencang mungkin, seperti ada sesuatu yang mengendalikannya.
Budi hanya memiliki kesadaran, dan Budi sadar ia bukan lagi seekor kucing, ia tak bisa merasakan kumis kucing yang tajam tertanam di antara pipi dan hidung mungilnya, tak lagi bisa merasakan taring lancip yang kadang membuatnya sariawan karena tak sengaja menggigit gusi saat mengunyah sesuatu. Tak merasakan berpijak pada tanah dengan empat kaki, dan ia belum kentut—seperti yang dilakukan kucing pada umumnya, buang angin semenit sekali. Untuk situasi itu ia benar-benar tak paham, membuat ingatannya terbawa pada masa-masa lalu. Ia tak ingin pikirannya kosong dan ruang gelap itu memengaruhinya.
Seolah apa yang selama ini telah ia lalui tak lagi ada arti, lembah kegelapan itu memaksanya memikirkan segala kesalahan selama hidup di dunia, ia rindu Nadia, ikatan batin itu baru ia sadari dalam ruang-ruang asing, lagipula hanya Nadia satu-satunya anggota keluarga yang tersisa dan bisa ia temui, namun satu emosi tak terkendali mengubahnya jadi makhluk paling egois sekaligus bodoh. Kegelapan memang menyiksa, seolah itu dibuat untuk menyesali pilihan yang diambil.
Budi mulai memahaminya. Ia sekali lagi berteriak—menyesali tindakan bodoh itu, namun tetap saja suaranya sama sekali tak terdengar. Makin keras, makin terdengar percuma.
Tempat asing itu seolah jadi kesimpulan Budi selama ia hidup, sebuah pengalaman yang terangkum jadi satu ruang, penggambaran yang menurut Budi justru tepat dan realistis, namun tetap saja ia tak bisa menebak untuk apa ia berada di situ, apa setelah ini? Apa yang harus ia lakukan? Ia membenci perasaan menunggu, Budi pikir ia tak lagi perlu merasakannya di akhirat jika ini memang akhirat atau dunia atas seperti yang pernah Nadia ucap.
“Bukan…” Budi kaget, sebuah suara menggema—memantul, “ini bukan akhirat.”
“Hallo!” teriak Budi, mendengar suaranya sendiri, ia merasakan ruang gelap itu pelan-pelan berubah.
“Kau tak layak berada di akhirat, sekalipun di neraka,” suara itu terdengar berat, makin dekat, Budi menduga—menebak-nebak siapa seseorang atau makhluk dibalik suara itu. Ada suara berbisik di langit-langit ruang gelap itu, namun Budi tak bisa menyusun kalimat dari bisikan yang ia dengar. Makin lama, makin kencang dan cepat. Budi cemas—ia tak suka situasi yang tak bisa ia kontrol.
“Siapa kamu!” Budi menantang. Ruang gelap itu pelan-pelan berubah, menyala, pudar menjadi putih, warna putih tak terhingga, Budi tak bisa melihat ujungnya. Namun kini, ia bisa merasakan dirinya, mampu melihat ke segala arah, Budi mencoba melihat tubuhnya, tapi ia hanya bisa melihat area di kepalanya, tak ada tubuh. Hanya kepala kucing.
“Kau salah memilih cara mati…” suara itu mendekat, Budi bisa melihat sosok itu muncul perlahan bagai bayangan. Sosok yang mengepalkan tangannya di depan dada, lalu sekejap membuka tangan membacakan sebuah mantra yang tak Budi ketahui. Seketika Budi merasakan lagi tubuh kucingnya, pelan-pelan leher itu muncul, menyambung ke tubuh, kaki, hingga ekor. Suara meong Budi diubah sekali lagi dengan mantra yang lebih singkat. Budi bisa bicara selayaknya manusia.
“Aku harus menebus kesalahanku… Tolong,” Budi sadar bukan suara meong yang keluar dari mulutnya. Ia berpikir untuk kembali menjadi kucing di dunia, di mana ia bisa meminta maaf pada Nadia dan kembali hidup bersama.
“Kesalahan kau terlalu banyak…”
“Lahirkan lagi aku sebagai kucing, tapi tolong jangan kucing oren, sepertinya keberadaanku di sini karena aku kerasukan roh kucing oren… Kembalikan aku jadi kucing item saja, seperti adikku.”
“Kau tak bisa terlahir kembali menjadi kucing,” ucap sosok hitam itu, suara sinis mendengar kebodohan seekor kucing yang tak ada hentinya.
“Kalau ketemu bapak-ibuku di surga?”
“Kucing tak masuk surga,” sosok itu menggenggam tangan di depan dada.
“Bud, ini mereka semua muslim ya?” suara Bimo pelan—ia masih fokus membaca.
“Kenapa nanya gitu?”
“Soalnya di mitologi mesir kucing itu kan dianggap keramat, bahkan dibilang setengah dewa. Banyak patung-patung dewa yang wajahnya serupa sama kucing… Nah di sini mereka bahkan enggak masuk surga.”
“Aku enggak mikir sampai sana…”
“Bahkan katanya kucing itu bisa melihat dimensi lain, itu kenapa mereka sering lihat ke langit-langit rumah, terus ke sudut-sudut ruangan.”
“Aduh terlalu mengawang, Bim…”
Bimo hanya mengangguk, melanjutkan membaca.
Budi tak bisa lagi mendekat, seolah ada dinding yang membatasinya. Rumor itu benar—ia tak akan masuk surga, tak mungkin bertemu bapak dan ibu. Ia mengingat kalimat Nadia; tak banyak yang bisa dilakukan seekor kucing. Tubuh Budi melemah, benar-benar tak ada yang bisa ia pikirkan lagi, kemungkinan apapun di kepalanya selalu buntu. Ia rindu Nadia. Rindu atau merasa bersalah, entah yang mana, kebodohannya bertubi-tubi merugikan—bukan hanya pada dirinya. Ia menyesal baru menyadari itu sekarang.
Satu hal pasti; Budi tak ingin masuk neraka, ia belum siap—bahkan jika pun ia pernah, ia tak lagi mau berada di sana. Budi tahu sosok di depannya bisa membaca pikiran, ia sengaja mengulang kalimat ‘tak ingin masuk neraka’ di kepalanya. Budi ingin kembali entah sebagai apapun, kelinci boleh, kambing boleh, bahkan siput. Tapi kucing tak berteman dengan itu semua, jangan siput, pikirnya, lebih baik kambing. Atau sekalian anjing? Tapi anjing haram. Babi? Apalagi. Meskipun enak. Budi bingung. Ia pasrah, ini pertama kalinya ia kehilangan motivasi, tak ada lagi strategi.
“Ada satu hal,” sosok itu memecah keheningan. Apapun itu Budi ingin mendengar, ia memasang telinga lekat-lekat. Matanya berkaca-kaca, melihat kemungkinan harapan, Jantungnya berdebar menunggu kalimat yang muncul selanjutnya, “Kau bisa terlahir kembali jadi manusia.”
“Nah itu aja! Gas!” ucap Budi, memang apa yang membahayakan dari menjadi manusia, pikirnya.
“Tapi jika kau mati, kau akan reinkarnasi kembali sebagai manusia, terus seperti itu, menjadi siklus, tak ada ujungnya. Kau tak akan menyentuh dunia atas sama sekali, kau tak akan masuk surga. Akhirat tak menerimamu, sampai kami menganggap kau layak.”
“Kami?” Budi penasaran. Sosok itu tak menjawab, “selain pilihan itu?”
“Kau akan ke neraka.”’
“Bukannya semua orang memang akan masuk neraka? Dibakar dosa-dosanya?”