Nur tertawa terbahak-bahak, tapi air matanya membanjiri pipi. Sebatang rokok terselip di bibirnya yang retak, menghembuskan asap ke udara, membentuk kabut tipis di ruang tamu yang sunyi. Di hadapannya, tubuh Asep tergeletak seperti boneka rusak, tak lagi bergerak, kepala bersimbah darah, wajahnya tertutup bayang-bayang yang jatuh dari lampu gantung kusam.
“Tidurlah, Sep. Akhirnya kamu juga bisa istirahat.” Nur menekan puntung rokoknya ke lantai, menggoreskan abu hitam seperti tanda kemenangan.
Malam terasa begitu tenang. Anehnya, sunyi ini membuat Nur merasa segar, seakan baru saja membuang beban berton-ton yang menghimpit dada. Tangannya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena lega—mungkin juga karena sejenis kekuatan yang tiba-tiba muncul, memberinya keberanian yang selama ini hanya berputar-putar dalam khayalan.
Beberapa tahun yang lalu, ketika pertama kali Asep melayangkan tangan ke pipinya dengan alasan yang tak jelas, Nur sudah mulai mengkhayal. Ia berandai-andai, suatu hari, di pagi yang sunyi, ia bisa duduk dengan tenang, merokok sambil menikmati pemandangan suaminya terbaring tak berdaya di lantai.
Kini, khayalan itu menjadi nyata.
Nur tertawa lagi, pelan, getir, seakan ada lelucon yang hanya ia dan nasib pahitnya yang mengerti. Di ujung ruang tamu yang gelap, bayangannya sendiri menatapnya dengan senyum yang sama—senyum dari seorang perempuan yang akhirnya menguasai dirinya, menolak untuk terus diperintah.
Di luar, embun dini hari masih menggantung di udara. Di dalam, darah Asep terus mengalir pelan, membentuk sungai kecil di lantai.
Nur melihat aliran darah itu, lalu menyalakan sebatang rokok lagi. Ia tahu apa yang akan orang lain katakan, tapi ia tak peduli. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nur merasa damai.
***
Asap rokok berpilin dari ujung bibir Nur, bergabung dengan aroma darah yang mulai mengering, menciptakan bau aneh yang hampir membuatnya tertawa lagi. Nur menatap tubuh tak bernyawa Asep sambil menyandarkan kepala ke kursi, membiarkan pikirannya melayang ke masa-masa yang entah kenapa terasa seperti mimpi buruk yang berulang.
Seakan bisa mendengar Nur mengingat masa lalu, suara-suara Asep terdengar samar di dalam kepalanya. Nada sinis yang penuh racun, suara serak yang sering kali membangunkannya dari tidur dalam ketakutan.
“Kamu tuh nggak becus jadi istri!” Asep pernah berteriak begitu keras, suatu malam saat ia pulang dalam keadaan mabuk berat. Malam itu, tanpa alasan jelas, Asep menghardiknya hanya karena ia lupa menghangatkan makanan.
Nur hanya diam malam itu, menunduk seperti patung, menunggu amarah itu reda. Lalu tangan Asep terangkat dan mendarat tepat di pipinya, keras. Rasa sakitnya masih bisa Nur ingat dengan jelas, tapi lebih dari itu, rasa dingin di dadanya—rasa takut dan marah yang membeku tanpa tahu harus dilampiaskan ke mana.
Malam-malam berikutnya, tamparan itu seperti menjadi tradisi. Nur ingat, di pagi-pagi setelahnya, ia bangun dengan wajah memar dan hati yang kian beku. Pernah tebersit pikiran untuk lari, tetapi entah kenapa, ia tak pernah benar-benar melakukannya. “Istri itu harus taat,” begitu kata tetangganya, kata ibunya, kata semua orang di sekelilingnya. Setiap kali ia melihat bayangan wajahnya yang lebam di cermin, suara-suara mereka menggema di benaknya, menyuruhnya untuk bertahan, menyuruhnya untuk “sabar.”
Namun, pada satu titik, kesabaran itu meletus dalam dirinya seperti api liar.
Nur menatap tubuh suaminya yang sekarang tak lagi bisa bicara, tak lagi bisa menyakiti. Asep terkapar di lantai, wajahnya terbungkus bayang-bayang malam yang sepi. Ironisnya, melihat Asep dalam keadaan itu, Nur merasa justru dialah yang sedang terbangun dari tidur panjang. Tidur yang ia kira adalah takdir, tapi sebenarnya adalah penjara.
Tanpa sadar, Nur bergumam, setengah berbisik, “Akhirnya, Sep… akhirnya aku bebas dari kamu.”
Dan entah kenapa, ada perasaan getir yang muncul. Ia tahu bahwa sekarang, di pagi yang asing ini, ia telah membuat keputusan yang tak lagi bisa diubah. Ada kebebasan dalam rasa puas itu, tapi juga kekosongan yang samar.
Ia menghisap rokoknya sekali lagi, lalu mulai bicara seakan Asep masih bisa mendengarnya, seakan tubuh tak bernyawa itu bisa memahami semua lelucon pahit yang ia simpan bertahun-tahun.
“Sep,” ia berkata, “dulu kamu bilang aku nggak becus jadi istri. Kalau saja kamu tahu, aku juga nggak becus jadi korban terus.”
Ia tersenyum sinis.
***