Langit di atas kota berwarna kelabu. Hujan turun dengan malas, seperti enggan mencuci noda-noda yang melekat pada jalanan. Kota ini adalah labirin kehidupan yang menyembunyikan berbagai wajah; yang tampak, dan yang tak terungkap. Di atap sebuah gedung markas intelijen yang terletak di jantung kota, rintik-rintik hujan menciptakan simfoni monoton—sebuah irama yang merayap ke dalam lorong-lorong sempit, menggema di antara dinding-dinding tua yang catnya mengelupas.
Di dalam ruangan yang penuh aroma asap rokok basi, seorang pria duduk dengan mata kosong menatap secangkir kopi dingin. Namanya Darma. Seorang agen rahasia dengan tatapan yang tajam dan tubuh yang menyimpan luka dari masa lalu yang kelam. Hidupnya telah menjadi serangkaian perintah dan misi berdarah, seperti roda yang terus berputar tanpa henti. Hari ini, dia tahu, hidupnya mungkin akan berubah—entah ke arah yang lebih gelap atau mungkin tak lagi ada arah.
“Darma, dengarkan baik-baik.” Suara berat itu pecah dalam keheningan. Jenderal Wiratno, pria dengan aura kepemimpinan yang memancarkan keangkuhan, berdiri di depan peta besar penuh dengan tanda-tanda merah. Dia menunjuk pada sebuah foto yang menampilkan pria tua dengan senyum licik—sang Presiden. Pria yang memimpin negara ini dengan janji-janji manis yang membusuk dalam kenyataan.
“Dia adalah akar dari semua kebusukan ini. Dia merusak negeri ini, Darma. Korupsi ada di setiap napasnya. Ini bukan sekadar perintah. Ini adalah panggilan moral.” Kata-kata itu terdengar penuh semangat, seolah Wiratno percaya pada kebohongan yang keluar dari mulutnya. Tapi Darma tahu lebih baik. Pria di depannya tidak lebih baik dari yang akan menjadi targetnya; hanya bidak yang lebih licik dalam permainan kekuasaan ini.
Darma mengangguk pelan, menerima berkas yang diserahkan kepadanya. Di dalam berkas itu ada detail tentang rutinitas sang Presiden, titik-titik lemahnya, dan segala sesuatu yang diperlukan untuk mengakhiri hidup seorang pemimpin negara. Untuk sejenak, Darma merasa seperti bidak kecil dalam permainan catur raksasa, ditentukan oleh tangan-tangan yang tak pernah ia lihat.
Hujan masih berderai ketika Darma melangkah keluar dari markas. Jalanan kota tampak seperti nadi yang membawa kehidupan, meski sesekali tersendat oleh lumpur dan sampah yang menggenang. Ia berjalan melewati kerumunan orang yang berlarian mencari perlindungan dari hujan—orang-orang yang mungkin tidak sadar bahwa nyawa mereka berkelindan dengan kepentingan para pemimpin yang memanipulasi segala sesuatu dari balik layar.
“Penyelamat negara, katanya,” gumam Darma lirih, nyaris tenggelam dalam suara hujan. Ironi terasa pekat. Darma tahu ia bukanlah pahlawan. Ia hanya alat yang dipakai, dilempar, dan mungkin dihancurkan setelah selesai menjalankan misi ini.
Seekor burung kecil hinggap di tiang lampu di dekatnya. Mata kecil burung itu menatap Darma, seolah ingin mengingatkan bahwa ada kehidupan di luar semua ini—kehidupan yang lebih murni, bebas dari permainan kekuasaan. Darma tersenyum miris. Mungkin, di lain hidup, ia akan memilih menjadi burung, terbang jauh dari kerumitan yang selalu menggulung dirinya.
Namun malam ini, ia hanya bisa terus melangkah. Hujan masih turun, dan kota ini terus mengubur rahasianya di bawah derasnya.
***
Darma bergerak di antara bayang-bayang gedung-gedung tinggi yang berdiri bak raksasa tak berjiwa, melintasi lorong-lorong sempit yang penuh coretan dinding dan poster kampanye yang sudah kusam. Aroma sampah yang tertimbun bercampur dengan asap kendaraan, menciptakan perpaduan khas kota yang tak pernah tidur. Di antara keramaian yang terus berjalan, Darma hanyalah sosok tanpa wajah, sekadar bagian dari kerumunan.
Ia tidak bergerak sembarangan. Setiap langkah, setiap belokan, setiap hentian kecil sudah terencana rapi di kepalanya. Misinya adalah menyusup ke lingkaran terdekat Presiden, masuk tanpa terlihat, dan meninggalkan jejak darah yang tak akan terlacak. Malam ini, ia harus bertemu dengan seorang informan yang dikenal hanya sebagai "Bayang."
Bayang adalah orang misterius yang bekerja di balik layar, sosok dengan seribu wajah yang memiliki akses ke informasi rahasia para petinggi. Ia bekerja untuk siapa saja yang mau membayar, dan malam ini, ia berjanji akan memberikan informasi penting tentang rutinitas malam Presiden. Informasi yang menjadi kunci bagi Darma untuk mendekatkan dirinya pada target.
Darma melangkah ke sebuah gang sempit di belakang gedung tua yang dipenuhi coretan-coretan mural berisi protes dan satire. Di sana, di bawah temaram lampu kuning yang berkedip, sosok berjaket hitam tampak berdiri membelakangi. Bayang menunggu, dengan postur tubuh yang terlihat santai, namun matanya waspada.
“Bayang?” Darma membuka pembicaraan, dengan suara rendah yang nyaris tak terdengar di antara suara derak hujan yang mulai reda.
Sosok itu menoleh, wajahnya sebagian tertutup bayangan topi yang dikenakannya. Ia menatap Darma, lalu tersenyum tipis.
“Kau datang tepat waktu, seperti biasanya. Kau memang profesional,” ucap Bayang, sambil menyodorkan amplop cokelat yang kusut. “Di dalamnya ada jadwal Presiden malam ini. Detail sampai ke titik koma. Waktu makan malam, tempat, orang yang akan hadir, semuanya.”
Darma menerima amplop itu, membuka sedikit isinya, memeriksa kertas-kertas di dalamnya. Jadwal itu sangat rinci, bahkan mencakup menu makan malam Presiden yang malam ini rupanya menginginkan steak daging sapi impor—ironi yang pedih bagi rakyat yang kini kesulitan membeli sekadar beras.
“Jadi, setelah ini kau akan mengakhiri riwayatnya?” tanya Bayang dengan nada santai, seolah yang mereka bicarakan adalah hal biasa.
Darma hanya mengangguk. Ia sudah terbiasa dengan pertanyaan semacam ini, sudah terbiasa menerima pandangan yang penuh campuran rasa takut dan hormat dari orang-orang seperti Bayang. Mereka tahu apa yang dilakukan Darma, tapi mereka tak pernah ingin terlibat lebih jauh. Bagaimanapun, menjaga jarak adalah harga yang harus dibayar untuk selamat dalam permainan kotor ini.
“Kau tahu, mungkin aku tak peduli siapa yang duduk di kursi kekuasaan itu,” lanjut Bayang dengan suara yang nyaris berbisik, “Tapi kurasa, kau juga tahu, siapapun penggantinya, siklus ini tidak akan berubah. Akan ada Presiden baru, atasan baru, dan orang seperti kita tetap akan bekerja di bawah bayang-bayang mereka.”
Darma menatap Bayang tanpa ekspresi. Ia tahu ucapan itu benar. Malam ini, ia mungkin akan membunuh seorang Presiden, tapi ia tak pernah bisa membunuh sistem yang membuat Presiden itu bisa berkuasa. Siklus kekuasaan yang sama akan berlanjut, dan ia hanyalah bagian kecil dari mesin raksasa yang berputar tanpa henti.
“Kita hanya alat,” kata Darma akhirnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bayang.
Bayang tertawa pendek. “Dan alat yang baik tidak pernah mempertanyakan tujuan pemiliknya.”
Darma merasakan perih yang tajam di dalam dadanya. Teringat pada keluarganya yang dulu terhimpit kebijakan tak adil, pada masa kecil yang hilang karena keputusan-keputusan yang tak bisa ia lawan. Ironis, ia sekarang berada di sisi kekuasaan yang dulu ia benci, menjadi tangan kotor yang justru menindas rakyat yang dulu ia perjuangkan. Namun, sudah terlalu jauh ia melangkah; pilihan yang tersisa hanyalah bertahan, atau menjadi tumbal berikutnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Darma memasukkan amplop itu ke dalam jaketnya, mengangguk singkat kepada Bayang, lalu berbalik meninggalkan gang sempit itu. Di kejauhan, bunyi azan Isya berkumandang, menembus tirai hujan yang mulai mereda. Darma berhenti sejenak, mendengarkan dengan seksama, seolah suara itu memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar panggilan ibadah.
“Selamat tinggal, Bayang,” ucapnya pelan, namun penuh makna.
Ia melangkah lagi, kali ini menuju titik tanpa kembali. Hujan perlahan berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang menguar di udara. Di atas sana, langit mulai menunjukkan celah kecil di antara awan-awan gelap, seolah memberikan isyarat tentang fajar yang akan datang, meski malam baru saja dimulai.
Namun Darma tahu, bagi mereka yang terjebak dalam permainan ini, tidak ada fajar yang benar-benar murni. Hanya malam yang terus memanjang, dan ia hanya bisa melangkah di dalamnya, meninggalkan jejak bayang-bayang yang tak pernah akan terhapus.
***
Langit malam mulai bersih dari awan kelabu, namun angin dingin tetap berembus menusuk. Darma berdiri di sebuah lorong gelap yang membentang di belakang bangunan besar tempat sang Presiden akan mengadakan jamuan makan malam. Gedung itu, megah dengan pilar-pilar besar dan lampu-lampu kristal, tampak seperti istana kecil di tengah hiruk pikuk rakyat yang kelaparan. Ironi yang mencolok, namun sering kali terlupakan.
Di dalam, aroma masakan mewah mulai menguar, mengalir keluar melewati celah-celah jendela yang terbuka sedikit. Steak sapi impor yang disebutkan dalam catatan Bayang terhidang di meja panjang, berdampingan dengan anggur merah yang mahal. Para tamu, para pejabat tinggi yang semuanya sudah kenyang dengan kuasa dan uang, duduk tertawa-tawa dengan angkuh. Mereka berbincang seolah negeri ini adalah mainan yang bisa dipecah dan diperebutkan.
Darma menyusup masuk melalui pintu belakang, langkah kakinya nyaris tak bersuara. Penjagaan yang tampak ketat sebenarnya penuh celah; ia hanya perlu satu kata kode dari Bayang untuk menembus semua lapisan keamanan ini. Di balik jas hitam yang ia kenakan malam itu, ada pistol berperedam yang sudah siap. Ia tahu jalannya menuju target, tetapi ada hal lain yang ia rasakan—beban berat yang mengikat di dadanya.
Di dalam ruangan besar tempat jamuan berlangsung, sang Presiden berdiri dengan penuh wibawa, mengangkat gelas anggur dan mulai berbicara panjang lebar tentang “pembangunan dan kejayaan bangsa”. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah kebohongan yang telah disulap menjadi kisah pahlawan. Para tamu mengangguk, bertepuk tangan, dan tertawa pada jeda-jeda dramatis. Darma hanya menatap dengan dingin dari sudut ruangan, sementara pandangannya menembus manusia yang sedang berdiri di hadapannya.
“Ayo, kita rayakan ini!” seru Presiden, lalu mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, seolah-olah ada yang layak dirayakan.
Darma melangkah maju, mendekat tanpa ada seorang pun yang curiga. Wajahnya, tak dikenal oleh para tamu, hanya salah satu wajah pelayan yang lalu-lalang di antara mereka. Ia menggenggam pistolnya erat di balik jas, merasakan dinginnya logam yang seakan menyalurkan gelombang listrik ke seluruh tubuhnya.