Buku Panduan Mati Sengsara (Kumpulan Cerpen)

Rizal Nurhadiansyah
Chapter #6

Zadra

Malam itu, Zadra berkendara menembus kabut tebal yang menyelimuti jalan hutan. Ia baru saja menuntaskan tugasnya, meninggalkan sebuah kota kecil dalam keheningan yang penuh rahasia. Hanya denting samar dari logam pisau di balik jaketnya yang menjadi saksi bisu dari malam kelam yang baru saja ia lewati. Sekali lagi, ia berhasil.

Tapi malam itu berbeda. Entah mengapa, udara terasa begitu berat, seolah dipenuhi bayangan yang tak kasatmata. Biasanya, Zadra tenang setelah sebuah misi—dingin dan dingin lagi, sama sekali tak terusik. Namun kali ini, ia merasa dadanya sesak, seperti ada sesuatu yang mengikutinya dalam senyap, meski tak ada satu pun mobil di belakangnya.

Setelah berjam-jam berkendara, akhirnya ia melihat cahaya temaram sebuah motel di tepi jalan. Motel Lestari, papan usangnya berayun perlahan di tiang besi yang hampir patah. Huruf-hurufnya sudah berkarat dan sebagian besar lampunya padam, hanya menyisakan beberapa huruf yang menyala redup, seperti berbisik di antara kabut.

“Setidaknya bisa beristirahat,” pikir Zadra sambil menghela napas panjang.

Ia memasuki area parkir motel yang kosong dan sunyi. Hanya ada deretan mobil tua yang berdebu di ujung halaman, seakan kendaraan itu tak pernah bergerak selama bertahun-tahun. Ketika ia melangkah keluar dari mobil, aroma lembab dan kayu lapuk langsung menyergap. Motel itu seperti tempat yang terperangkap dalam waktu—lupa bagaimana caranya melaju.

Zadra mengetuk pintu lobi dan menunggu. Sejenak, ia bertanya-tanya apakah motel ini benar-benar masih berfungsi. Namun, tak lama kemudian, seorang pria tua muncul dari balik pintu, mengenakan setelan lusuh dan wajah tanpa senyum. Tatapan pria itu tajam, seolah-olah bisa melihat tembus ke dalam diri Zadra, menyibak tabir yang selama ini ia simpan rapat-rapat.

“Ya, malam,” ucap Zadra singkat, mencoba mengusir perasaan ganjil yang seketika muncul.

Pria itu hanya mengangguk pelan, lalu menyerahkan kunci kamar tanpa sepatah kata pun, seakan dia sudah tahu Zadra akan datang. Kamar nomor 13, di ujung koridor.

Dengan sedikit ragu, Zadra berjalan menyusuri koridor motel yang gelap dan berdebu. Setiap langkahnya menimbulkan bunyi berderit di lantai kayu, seakan memperingatkan bahwa setiap jengkal motel ini menyimpan sesuatu yang ingin dilupakan. Ketika ia sampai di depan kamar 13, ia memasukkan kuncinya dan membuka pintu.

Di dalam, kamar itu tampak sunyi dan tak terawat. Wallpaper di dindingnya sudah memudar, dan bau apak menyengat. Ada cermin besar di dinding yang menghadap tempat tidur, penuh dengan noda-noda usang yang seperti tak pernah tersentuh. Zadra melirik bayangannya di cermin. Ia melihat sekelebat senyuman kecil di wajahnya—senyuman yang ia tahu tak seharusnya ada.

Ia memutar tubuhnya dan menutup pintu, lalu menghempaskan diri ke kasur yang keras. Baru saja ia mulai memejamkan mata, suara-suara samar mulai terdengar. Mulanya ia pikir itu hanya bunyi pipa atau angin yang menggetarkan jendela tua. Namun, suara itu semakin lama semakin jelas. Seperti langkah kaki… dan desahan samar yang menyebut namanya.

“Za-dra…”

Zadra tersentak dan bangun dari kasur. Ia memandangi sekeliling kamar yang kosong, mencoba mencari sumber suara. “Mungkin hanya lelah,” pikirnya, mencoba menenangkan diri. Namun suara itu kembali, kini lebih dekat, seolah berasal dari balik pintu kamar mandi yang tertutup rapat.

Dengan langkah perlahan, Zadra mendekati pintu kamar mandi. Tangannya gemetar, tapi ia mencoba menyembunyikannya di balik genggaman erat. Saat ia mendorong pintu kamar mandi itu, ia melihat bayangan samar di cermin wastafel. Sosok seorang perempuan dengan wajah pucat berdiri di belakangnya.

Wajah perempuan itu rusak dan lebam, matanya kosong namun penuh dendam. Ia mengenakan gaun putih kotor yang ternoda darah di bagian dadanya. Zadra mengenali wajah itu—perempuan yang pernah menjadi targetnya, seorang yang dulu ia bunuh tanpa belas kasihan dalam tugas yang tak memberi ruang bagi pertimbangan.

“Za-dra…” sosok itu menggumamkan namanya lagi, kali ini dengan suara yang lebih berat, menahan amarah.

Zadra mundur perlahan, napasnya memburu. Namun, saat ia berbalik untuk kabur, sosok itu telah menghilang. Hanya ada bayangannya sendiri di cermin, namun bayangan itu tersenyum samar, senyuman yang dingin dan penuh makna.

Malam itu, Zadra sadar bahwa motel ini bukan sekadar tempat istirahat sementara. Di sini, ia terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu yang tak akan pernah benar-benar hilang.

***


Pagi datang dengan sinar matahari yang lemah, namun Zadra belum juga bisa memejamkan mata. Jam di dinding kamar berdetak pelan, seolah waktu di motel ini berjalan lebih lambat dari biasanya, atau mungkin tak berjalan sama sekali. Setiap sudut kamar itu, mulai dari cermin besar di dinding hingga lantai yang berdebu, tampak menyimpan bayangan yang tak terlihat.

Lihat selengkapnya