Buku Panduan Mati Sengsara (Kumpulan Cerpen)

Rizal Nurhadiansyah
Chapter #1

Daur Hidup

Raka membuka matanya perlahan. Pukul 5:15 pagi. Lagi-lagi alarm ponselnya terlambat berdering, tapi tidak ada gunanya memperbaiki kebiasaan itu. Hari ini sama saja dengan kemarin. Langit di luar jendela apartemennya abu-abu pucat, seperti bercak kopi basi di dinding cangkir. Jakarta masih terlalu pagi untuk hiruk-pikuk, namun bising sudah mulai terdengar samar-samar dari kejauhan, memudar dan muncul lagi seperti suara nyamuk yang enggan mati.

Raka beranjak dari tempat tidur dengan langkah malas, menyeret kakinya ke kamar mandi tanpa memikirkan apapun. Di cermin, ia melihat wajahnya yang biasa-biasa saja. Mata panda yang semakin pekat, rambut kusut yang mulai menipis di bagian depan. Usianya 35, tapi rasanya sudah seperti 50—letih, terbiasa kecewa, dan bosan.

Pekerjaannya sebagai manajer menengah di perusahaan logistik tak memberi kebahagiaan, tapi juga tak memberi kesedihan. Pekerjaan itu netral—tidak menyiksa, tapi juga tidak memuaskan. Sama seperti hidupnya. Orang-orang di sekitarnya menganggap Raka sukses: punya apartemen sendiri, gaji lumayan, punya mobil. Namun, ia merasa hidupnya terjebak di tengah-tengah; di antara orang-orang yang benar-benar menderita dan mereka yang benar-benar bahagia. Dan yang paling sial, hidup di tengah-tengah ini, di zona abu-abu, terasa lebih kosong daripada dua kutub lainnya.

Jam menunjukkan 7:30 pagi. Ia melangkah keluar dari apartemennya yang beraroma kopi basi dan buku-buku yang sudah lama tak dibaca. Di luar, kota sudah mulai terjaga sepenuhnya—polusi udara, deru kendaraan, klakson yang bersahut-sahutan seperti lagu tanpa nada. Orang-orang bergegas ke arah yang sama, berjalan cepat tanpa menatap wajah siapa pun. Seolah-olah mereka bukan manusia, melainkan sekelompok domba yang mengikuti arus, terikat oleh rutinitas yang membosankan.

Jalanan yang terlalu padat membuatnya malas mengendarai mobil. Dia pun berjalan ke arah halte sembari menunggu bus. Di sini, Raka melihat seorang pria tua berdiri di sudut, mencoba menjual koran. Koran. Siapa yang masih beli koran di zaman ini? Raka memperhatikan dari jauh, dengan sedikit rasa iba bercampur kebosanan. Si pria tua memegang setumpuk koran seperti menggenggam masa lalu yang tak lagi relevan.

"Pak, mau koran pagi?" tanyanya dengan suara serak. Raka tersenyum kecut, menggeleng, dan kembali tenggelam dalam layar ponselnya. 

Hidup ini, pikirnya, terasa seperti lingkaran yang tak ada ujungnya. Sebuah rutinitas yang terus-menerus berulang tanpa kejutan, tanpa sesuatu yang bisa dinanti. Ia sudah tak ingat kapan terakhir kali ia merasa benar-benar hidup—misalnya ada sesuatu yang layak diperjuangkan. Satu-satunya hal yang menandai waktu adalah sore hari, saat hari terasa lebih lambat, menyeret dirinya menuju jam 5 sore yang tak pernah menarik.

"Untuk apa semua ini?" gumamnya pelan, tapi tak ada jawaban. Hanya suara angin yang membawa debu dan asap.

Siang hari berlalu begitu saja. Kantor masih seperti biasanya: orang-orang mondar-mandir dengan kemeja rapi tapi wajah muram. Printer berdecit di pojokan, rapat tanpa tujuan berlangsung dengan ekspresi wajah kosong. Semuanya otomatis. Seperti mesin. Seperti dirinya.

***

Pukul 4:45 sore, Raka keluar dari gedung kantornya. Jalanan sudah mulai penuh lagi dengan kendaraan. Ia berjalan pelan ke arah halte bus, melewati trotoar yang retak, dan lampu-lampu jalan yang mulai menyala satu persatu. Di kepalanya, tak ada apa-apa selain keinginan untuk segera sampai di rumah, minum bir dingin, dan tenggelam di sofa, memandang langit-langit tanpa arti.  

Namun, semua itu tak terjadi. Sebuah suara keras memecah kesunyian. Sebuah truk besar melaju kencang di sudut jalan, bannya berdecit, dan sebelum Raka bisa memproses apa yang terjadi, tubuhnya terpental ke udara, menghantam aspal dengan suara keras. Darah mengalir. Dunia menjadi gelap.

Saat itu pukul 5:00 sore. Dan Raka tewas seketika.

Orang-orang yang lewat hanya berhenti sejenak, sebagian memotret, sebagian menonton dan merekam dengan ponsel, sedangkan sebagian lainnya berjalan seperti tak ada yang terjadi. Kematian di kota ini bukan sesuatu yang istimewa. 

Besok, mereka akan melupakannya. 

Namun, Tuhan berkata lain. Raka yang sudah divonis mati tiba-tiba menunjukkan tanda-tanda kehidupan, membuat seisi rumah sakit geger. 

***

Raka membuka matanya perlahan. Pukul 5:00 pagi. Cahaya pagi yang samar-samar menembus jendela apartemennya. Sesuatu terasa aneh. Badannya ringan, seperti baru bangun dari tidur siang yang panjang. Kepalanya sedikit pusing, tapi tidak ada rasa sakit. Perlahan ia bangkit, duduk di tepi tempat tidur, memandang sekeliling. Kamar ini—apartemennya—persis seperti kemarin. Sama berantakannya. Sepatu yang tergeletak sembarangan di dekat pintu. Cangkir kopi setengah penuh yang mulai mengering di meja samping tempat tidur.

"Ini... mimpi?" gumamnya sambil memijat pelipisnya yang berdenyut.

Ia ingat betul. Truk itu. Benturan keras. Darah yang menggenang di jalanan. Rasa sakit yang tiba-tiba, lalu semuanya gelap. Tapi sekarang, dia di sini, di kamarnya, seperti tak pernah terjadi apa-apa.

"Apa mungkin... aku belum mati?" Pikirnya sambil mencoba mengingat lebih jelas.

Dengan kebingungan yang terus menghantui pikirannya, Raka beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Di depan cermin, wajahnya terlihat biasa saja—tidak ada luka, tidak ada memar. Kulitnya tetap pucat seperti sebelumnya. Ia merasakan denyut nadi di pergelangan tangannya. Masih berdetak. Normal. Tapi ada yang tidak beres. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Dia ingat mati, dan seharusnya, dia tidak berada di sini sekarang.

Waktu berlalu, dan hari berjalan seperti biasa. Raka mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin dia hanya mengalami delusi akibat kelelahan. Hari sebelumnya mungkin hanyalah mimpi buruk yang terlalu nyata. Ia kembali ke rutinitasnya yang membosankan: sarapan ala kadarnya, berjalan ke halte bus, dan menuju kantor. 

Namun, sepanjang hari, perasaan aneh itu terus menghantui. Ia merasa tidak benar-benar ada. Seperti sedang menjalani hidup di luar tubuhnya, seolah-olah setiap langkahnya adalah pengulangan dari sesuatu yang sudah pernah terjadi. Bahkan percakapan rekan-rekannya di kantor terasa tak lebih dari bunyi latar belakang yang monoton dan tidak penting. Semua tampak seperti replika dari hari-hari sebelumnya, namun dengan sebuah kesadaran baru: sesuatu yang tak dapat dipahami sedang terjadi padanya.

***

Jam menunjukkan pukul 4:45 sore. Raka melirik jam tangannya dengan gelisah. Entah kenapa, detik-detik menuju pukul 5:00 sore terasa berat. Ada rasa takut yang perlahan merayap ke dalam dirinya. Pukul 5 sore—waktu di mana semuanya terjadi kemarin. Truk itu. Darah. Kematian.

"Tak mungkin ini terjadi lagi," gumamnya. Namun, perasaan cemas itu terus membebani pikirannya.

Ia mempercepat langkah menuju apartemennya, menghindari jalur yang sama seperti kemarin. Ketika jam hampir menunjukkan pukul 5, ia berhenti di sebuah minimarket. Mungkin, pikirnya, jika ia berada di dalam ruangan tertutup, tak ada hal buruk yang akan terjadi.

Jam di dinding minimarket menunjukkan 4:59 sore. Jantungnya berdetak kencang. Ia mengalihkan pandangannya dari jam dan mencoba mengalihkan perhatian dengan memeriksa rak-rak makanan ringan.

5:00 sore.

Ia merasa lega. Tidak ada yang terjadi. Tidak ada truk, tidak ada kecelakaan. Hanya suara pintu minimarket yang terbuka dan tertutup ketika pelanggan masuk dan keluar. Raka tertawa kecil, merasa konyol karena terlalu paranoid.

Tapi sesaat setelah dia merasa aman, sebuah nyeri tajam muncul di dadanya. Seolah-olah ada sesuatu yang menghimpit jantungnya. Napasnya tersendat. Raka terjatuh, dan pandangannya mulai kabur. Ia tersungkur di lantai minimarket, menggenggam dadanya yang terasa seperti terbakar. Lalu semuanya menjadi gelap lagi.

***

Pukul 5:00 pagi. Raka membuka matanya.

Kebingungan berubah menjadi ketakutan. Ini bukan lagi kebetulan. Dua kali, ia mati tepat pada jam 5 sore, dan dua kali pula ia bangun di jam 5 pagi, seolah tidak ada yang terjadi. Ini bukan mimpi buruk yang berulang. Ini nyata. Dan entah bagaimana, ia terjebak dalam siklus aneh ini.

Hari-hari selanjutnya menjadi lebih buruk. Setiap jam 5 sore, Raka selalu mati. Kadang dengan cara yang brutal, seperti tertabrak truk atau jatuh dari tangga, tapi kadang kematiannya lebih aneh—tertusuk payung yang terjatuh dari jendela, tersandung dan jatuh ke dalam got, atau bahkan mati tersedak kacang goreng di kantor. Setiap kematian terasa nyata, dan rasa sakitnya menghantui, meski keesokan paginya tubuhnya selalu kembali utuh, seperti tidak pernah terluka.

Ia mencoba mencari bantuan. Datang ke rumah sakit, memeriksakan diri ke dokter, bahkan menemui psikolog, tapi tak satu pun dari mereka bisa menemukan keanehan pada tubuhnya. Setiap orang yang ia temui menganggapnya sehat. "Mungkin Anda hanya mengalami stres berat," kata salah satu psikolog dengan senyum yang terlalu ramah.

"Tapi saya mati setiap hari!" seru Raka. Namun siapa yang akan percaya?

Yang paling menyakitkan, bukanlah kematian itu sendiri, melainkan kebosanan yang tak tertahankan dari siklus ini. Bangun setiap pagi di jam yang sama. Menjalani hari yang sama. Dan, pada pukul 5 sore, tewas. Lalu mengulang semuanya lagi. Tak peduli apa yang ia lakukan, tak ada yang bisa mengubahnya.

Setiap hari semakin menguji kewarasannya. Kematian yang datang berulang-ulang, kebangkitan yang tak ada habisnya, dan ketidakmampuan untuk menjelaskan semua ini membuat Raka semakin frustrasi. Namun yang lebih mengherankan, tidak ada seorang pun yang benar-benar memperhatikan.

Sampai suatu hari, salah satu rekan kantornya, seorang pria tambun bernama Fadli, secara tidak sengaja melihatnya mati di tempat kerja. Raka terjatuh dari tangga kantor, lehernya terpelintir dengan suara yang begitu jelas. Semua orang panik. Fadli berteriak-teriak, dan ambulans pun dipanggil.

Namun, keesokan harinya, Raka muncul di kantor. Segar bugar.

Kabar itu menyebar dengan cepat.

***

Raka tidak pernah menyangka bahwa hidupnya yang biasa-biasa saja akan berubah menjadi tontonan publik. Kabar tentang kebangkitannya dari kematian menyebar seperti api yang menjilat ilalang kering. Rekan-rekannya yang dulu tak peduli kini menatapnya dengan rasa penasaran yang aneh, seolah-olah ia bukan lagi manusia, melainkan sebuah fenomena. Awalnya, hanya Fadli yang menyebarkan cerita itu kepada beberapa orang di kantor, tapi dalam hitungan hari, kisah kematian dan kebangkitan Raka sudah masuk ke telinga semua orang di perusahaan. Bahkan, seorang jurnalis lokal mendengar kabar itu dan mulai meliput ceritanya.

Lihat selengkapnya