Buku Panduan Mati Sengsara (Kumpulan Cerpen)

Rizal Nurhadiansyah
Chapter #5

Diagnosis Post-Mortem

Hari baru hampir datang, tetapi kegelapan masih menyelimuti rumah sakit. Gedung tua itu berdiri dingin, temboknya keropos termakan usia, dan lantainya berderit pelan setiap kali seseorang melangkah di atasnya. Kabut tipis mengambang di sekitar bangunan, memberikan kesan asing yang seolah-olah menyembunyikan rahasia dalam kelamnya. Lampu di lorong-lorong berkedip samar, seperti berusaha melawan kegelapan namun tak cukup kuat.

Di sebuah ruangan kecil dengan jendela tinggi, dr. Bagas duduk di meja kerjanya. Meja itu penuh dengan tumpukan berkas dan dokumen yang tersusun acak, menandakan malam-malam panjang yang dihabiskannya dalam kesibukan tanpa henti. Baginya, tugas dokter tak pernah selesai. Setiap detik, kematian atau kehidupan orang lain bergantung pada ketepatan tangannya, pada keputusan yang harus diambil dengan segera.

Namun, pagi ini ada yang lain. Tepat di atas tumpukan dokumen yang sudah siap ditandatanganinya, terselip sebuah map merah yang seharusnya tidak ada di sana. Pandangan dr. Bagas tertarik pada map itu seolah-olah ada yang mengarahkan matanya. Penasaran, ia membuka map itu dan menemukan selembar laporan diagnostik. Nama pasien tertulis dengan tinta merah yang masih segar: Pak Ahmad bin Sardi.

Rasa familiar menusuk ingatannya. Pak Ahmad, seorang pria tua dari desa pinggiran, pasiennya beberapa minggu yang lalu. Pria itu datang dalam keadaan lemah, dengan keluhan yang samar-samar—sesak napas, nyeri dada, dan tubuh yang semakin kurus dari hari ke hari. Semua tanda-tanda itu mengarah pada penyakit jantung, dan dr. Bagas ingat betul bahwa Pak Ahmad telah meninggal saat malam yang sepi. Diagnosanya jelas: gagal jantung akut. Namun, saat membaca laporan dalam map ini, ia merasakan sesuatu yang salah.

Tulisan dalam laporan itu terasa berbeda, seperti ada sesuatu yang disembunyikan di balik kata-kata medisnya. “Penyebab kematian: kesalahan dalam dosis obat,” tertulis di sana dengan jelas, seolah-olah menuding sebuah kesalahan fatal. dr. Bagas tersentak. Tak mungkin, pikirnya. Dia ingat betul dosis yang diberikan pada Pak Ahmad, dan itu sesuai protokol. Laporan ini, dengan segala isinya, seakan menuduhnya langsung—menggoyahkan kepercayaannya pada kompetensinya sendiri.

Ia merasakan tubuhnya menggigil. Dokumen ini, kalau terbukti benar, akan menghancurkan reputasinya. Tapi dari mana datangnya? Mengapa baru muncul sekarang? Siapa yang meletakkannya di mejanya?

Pikirannya mulai berputar-putar, berusaha menemukan logika di balik misteri yang tiba-tiba ini. Ia menengok ke sekeliling ruangannya, berharap mungkin ada seseorang yang mempermainkannya. Tetapi lorong-lorong kosong, hanya dihiasi bayangan lampu redup yang memantul di dinding berdebu. Suara detik jam menggema, mengingatkan dr. Bagas bahwa waktu terus berjalan, sementara jawaban atas pertanyaannya justru menghilang semakin jauh.

Dengan tangan gemetar, ia kembali membaca setiap baris laporan itu. “Kesalahan dosis,” kalimat itu terus terngiang di kepalanya, seperti suara samar yang bergema dari lorong-lorong rumah sakit yang sunyi.

“Ini… ini pasti kesalahan,” bisiknya pada dirinya sendiri, namun tidak ada seorang pun di sana yang mendengarnya. Tidak ada yang bisa membantah atau meyakinkannya.

Langit mulai memerah ketika cahaya pagi perlahan-lahan menyelinap masuk ke jendela ruangan, menghapus sisa-sisa bayangan malam yang pekat. Namun, di meja dr. Bagas, bayangan kegelisahan justru semakin dalam.

***


Pagi berikutnya datang dengan cara yang sama seperti kemarin—tanpa ketukan, tanpa salam, hanya derit kursi dan aroma disinfektan yang menusuk. dr. Bagas melangkah ke ruangannya, berharap hari itu akan berjalan seperti biasa. Namun, rasa cemas yang kemarin muncul belum juga hilang. Laporan Pak Ahmad yang ia temukan kemarin malam masih terngiang di pikirannya, membawa serta ketidaknyamanan yang sulit ia jelaskan.

Ketika ia duduk, seakan mengulangi kejadian sebelumnya, ia menemukan sebuah map lain. Kali ini berwarna hijau tua, lebih lusuh, seperti telah lama tak tersentuh. Di sampul map itu, tertulis nama yang membuatnya tertegun sejenak: Ibu Tuti Wulandari. Seperti kejadian sebelumnya, tinta merah tebal menghiasi namanya.

Ibu Tuti. Ia ingat perempuan tua itu—sosok ibu desa yang periang, selalu membawa senyum meski menahan sakit. Hanya beberapa bulan lalu, Ibu Tuti datang dengan keluhan sakit kepala hebat dan pandangan kabur. Setelah serangkaian pemeriksaan, diagnosis stroke iskemik tak terhindarkan. Dokter Bagas mengingat betapa sulitnya saat itu, karena Ibu Tuti menolak dipindah ke rumah sakit yang lebih besar, dan akhirnya meninggal di rumah sakit kecil itu setelah beberapa hari dirawat.

Namun, saat membaca dokumen di depannya, hatinya mencelos. Laporan ini menulis penyebab kematian yang berbeda: “Keterlambatan dalam penanganan.” Ia menatap kalimat itu, merasa dada dan perutnya melilit tajam. Dokumen ini menyiratkan kesalahan dalam diagnosa, seolah-olah kematian Ibu Tuti adalah akibat langsung dari ketidakmampuannya mengambil tindakan tepat waktu.

Rasa curiga mulai menguasai pikirannya. Ini bukan kebetulan. Dua hari berturut-turut, dua laporan pasien meninggal yang muncul begitu saja di mejanya. Semua berisi tudingan-tudingan, kesalahan medis yang tak seharusnya terjadi. Siapa yang meletakkan dokumen ini? Tidak mungkin rekannya atau para suster yang ia kenal bertahun-tahun akan bermain-main dengan laporan semacam ini. Dan bahkan jika ada yang sengaja menjebaknya, dari mana mereka mendapat laporan medis yang begitu mendetail dan tepat?

Kepalanya pening. Pikiran-pikiran buruk mulai menghantui, seolah ada kekuatan gelap yang ingin menyudutkannya. Ia mulai bertanya-tanya apakah semua ini adalah bentuk peringatan, atau mungkin bahkan semacam pesan dari alam baka. Ia terkekeh dalam hati, mencoba meredakan kecemasan dengan tawa getir, namun kegelisahan itu tetap menggantung di benaknya.

Merasa tidak punya pilihan, ia memutuskan untuk menyelidiki. Ia memanggil beberapa perawat yang pernah membantu menangani Ibu Tuti, tetapi mereka semua mengaku tak tahu menahu soal laporan tersebut. Bahkan mereka mengaku tidak pernah melihat map hijau itu sebelumnya.

“Ini pasti bercanda, Dok,” kata Suster Dina, wanita yang selama ini bekerja di ruangan pasien dengan teliti dan penuh tanggung jawab. “Saya juga yang pegang berkas medisnya Ibu Tuti. Lagipula, bukankah dokter sendiri yang mengesahkan diagnosisnya? Kami semua tahu itu.”

Kata-kata Suster Dina semakin menguatkan bahwa tak ada yang keliru dengan penanganan Ibu Tuti pada saat itu. Tetapi, jika memang tak ada yang salah, dari mana asal laporan ini? Siapa yang menuliskan "keterlambatan dalam penanganan" dengan tinta merah seolah menuding dr. Bagas langsung?

Malam harinya, di ruangan yang mulai gelap, ia membuka kembali kedua map itu. Ia meraba lembar demi lembar laporan, seolah berharap menemukan petunjuk tersembunyi yang bisa memberinya penjelasan masuk akal. Tetapi semakin ia meneliti, semakin kabur kenyataan yang ia temui. Setiap kalimat, setiap angka, semuanya terasa benar dan salah sekaligus. Hanya ada satu hal yang terasa semakin nyata: setiap laporan itu semakin menuduhnya, semakin menyalahkannya untuk kematian pasien-pasien yang seharusnya ia selamatkan.

Malam semakin larut, dan rumah sakit mulai sepi. Hanya suara detik jam yang terdengar, mengiringi pikirannya yang semakin kacau. Di tengah kebingungan dan rasa bersalah yang perlahan menekan dada, sebuah perasaan dingin mulai menyelimuti ruangan. Ia merasa ada yang memperhatikannya dari sudut gelap ruangan, sesuatu yang tak terlihat namun nyata kehadirannya. 

Dokter Bagas menoleh, namun ruangan tetap kosong. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi suara-suara samar mulai muncul dari arah lorong, seperti ada yang berbisik, perlahan namun jelas memanggil namanya.


***


Esok harinya, rasa gelisah masih mencengkram dr. Bagas saat ia kembali ke rumah sakit. Hari itu terasa lebih dingin dari biasanya, seperti ada keanehan yang menggantung di udara. Bayangan laporan misterius itu terus menghantuinya, membawa rasa bersalah yang membakar, sekaligus ketakutan yang menggigilkan.

Saat ia melangkah menuju meja kerjanya, pemandangan aneh langsung menyambutnya. Di atas meja, sebuah map lain tergeletak. Kali ini berwarna biru tua, dan seperti sebelumnya, di atasnya tertulis nama yang familiar: Mbah Slamet.

Mbah Slamet adalah pria tua yang sering datang ke rumah sakit itu. Ia bukan pasien yang memiliki banyak harta, hidup sederhana sebagai petani. Dalam laporan terakhir yang tercatat di rumah sakit, Mbah Slamet meninggal karena komplikasi infeksi paru-paru, sebuah kondisi yang sulit ditangani mengingat umurnya yang sudah lanjut. Namun, ketika dr. Bagas membuka map ini, ia menemukan sebuah pernyataan yang berbeda: “Kematian akibat salah diagnosa.” Lagi-lagi, tinta merah yang sama menyiratkan tuduhan tak kasatmata.

Rasa dingin kembali merayap dari jari-jarinya menuju pundak. Ini seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Setiap lembar yang ia baca hanya mempertebal tuduhan bahwa ada sesuatu yang keliru dalam diagnosa dan perawatan pasien-pasien ini—sesuatu yang mungkin berasal dari kesalahannya sendiri.

Dokter Bagas mencoba menenangkan diri. Ini semua mungkin hanya permainan pikiran, lelucon konyol yang dipasang seseorang untuk menguji ketenangannya. Namun, makin dalam ia menyelidiki, makin jelas bahwa tak ada yang tahu apa-apa soal dokumen-dokumen ini. Catatan kematian Mbah Slamet sudah diarsipkan rapi dan tak ada indikasi apa pun tentang salah diagnosa. Tetapi bagaimana mungkin laporan ini ada di mejanya?

Dengan perasaan putus asa, dr. Bagas menemui seorang perawat tua yang telah bekerja di rumah sakit itu selama puluhan tahun, Bu Yanti. Wanita tua itu dikenal sebagai orang yang bijak dan seringkali menyimpan rahasia rumah sakit yang tak pernah diketahui orang luar.

“Bu Yanti, saya butuh bicara tentang… kejadian aneh yang belakangan ini saya alami,” ucapnya perlahan, mencoba memilih kata yang tepat.

Bu Yanti menatapnya dengan tatapan penuh pengertian, seakan ia telah menduga apa yang akan disampaikan dr. Bagas. Wanita tua itu mengangguk pelan, lalu menunduk, seolah ada beban berat yang baru saja ia angkat.

“Pak Dokter, ada hal-hal di rumah sakit ini yang tak bisa dijelaskan,” katanya dengan suara rendah, nyaris berbisik. “Rumah sakit ini sudah tua, dan ada banyak hal yang pernah terjadi di sini. Terkadang, orang-orang yang sudah pergi tak benar-benar pergi. Mereka tinggal di sini… menunggu, mungkin untuk kebenaran yang belum terungkap.”

Dokter Bagas tertegun mendengar ucapan Bu Yanti. Kata-katanya terdengar seperti dongeng, namun ada kebenaran tersirat di balik wajah serius wanita itu.

Lihat selengkapnya