Buku Panduan Mati Sengsara (Kumpulan Cerpen)

Rizal Nurhadiansyah
Chapter #7

Kuil Arwah

Kuil itu berdiri sunyi di tengah hutan, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar. Hanya suara angin yang mengalun lembut di antara pepohonan dan sesekali teriakan burung hantu yang terdengar, menambah kesan kesendirian yang hampir mistis. Di sini, di ujung jalan setapak yang penuh lumut, seorang biksu muda bernama Jaya tiba dengan ransel di punggungnya dan hati yang penuh keraguan.

Jaya baru berusia dua puluh tiga tahun, meski badannya tinggi dan tegap, matanya yang hitam pekat itu selalu tampak ragu-ragu, seolah mempertanyakan setiap langkah yang diambilnya. Sebagai biksu muda yang baru saja menyelesaikan pendidikan monastiknya, Jaya masih mencari-cari kedamaian yang dijanjikan oleh jalan suci yang telah dipilihnya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia semakin merasakan bahwa kedamaian itu lebih seperti bayang-bayang, semakin ia mendekat, semakin ia tak dapat meraihnya.

Kuil ini bukan sembarang kuil. Di sini, jauh dari dunia luar, abbas yang bijak memutuskan bahwa setiap biksu yang lulus dari pendidikan monastik harus menjalani penugasan khusus—mendampingi arwah-arwah yang terjebak antara hidup dan mati. Arwah-arwah yang datang ke kuil ini adalah mereka yang tidak bisa menemukan jalan menuju akhirat karena dosa yang mengikat mereka pada dunia ini. Mereka adalah jiwa-jiwa yang tak bisa melepaskan beban yang mereka bawa, atau mungkin, mereka adalah jiwa yang tak pernah tahu apa yang benar-benar mereka inginkan.

Jaya menerima tugas ini dengan penuh tanggung jawab. Namun, dalam benaknya, tugas itu lebih terasa sebagai sebuah ujian—ujian terhadap keyakinannya, terhadap jalan hidup yang selama ini ia tempuh. Sambil membawa beban berat di punggung, ia melangkah masuk ke dalam kuil, menyapa keheningan yang begitu pekat.

Di dalam kuil, segala sesuatu terkesan tak terjamah waktu. Udara di sini lembab, dingin, dan ada bau hutan yang lembut, seolah-olah kuil ini telah menjadi bagian dari alam itu sendiri. Dinding batu yang ditumbuhi lumut itu penuh dengan simbol-simbol kuno yang entah sudah berapa lama tidak dipelihara. Di ujung ruang utama, terdapat altar besar dengan patung Buddha yang tampak diam, seakan-akan menunggu seseorang yang akan datang menghadap. Di sekitar altar, ada beberapa lilin yang berkedip redup, tak banyak, hanya cukup untuk menerangi sudut-sudut gelap kuil.

Di belakang altar, duduk seorang pria tua dengan jubah kuning pudar, abbas kuil. Wajahnya penuh keriput, matanya yang sayu tampak jauh ke dalam, seperti seseorang yang telah melihat begitu banyak dan tak lagi terkejut oleh apapun. Ketika Jaya menghampirinya, abbas hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan agar ia duduk di seberang.

“Jaya,” suara abbas serak, namun penuh kekuatan, “ini adalah tempat yang tenang. Tempat untuk mereka yang belum bisa beranjak ke akhirat. Mereka datang dengan beban, dan tugasmu adalah membantu mereka melepaskannya.”

Jaya mengangguk, meskipun hatinya kembali dipenuhi kebimbangan. Membantu arwah-arwah yang terjebak? Apakah ini tugas yang benar-benar bisa ia jalani? Tidak ada dalam ajaran monastiknya yang mengajarkan bagaimana cara menghadapinya. Arwah-arwah bukan sesuatu yang nyata, bukan?

"Tugasmu adalah memimpin mereka, Jaya. Tapi ingat, setiap arwah memiliki ceritanya sendiri. Tidak ada yang sederhana. Ketahuilah bahwa kau akan menemui mereka—bukan hanya sebagai makhluk yang terluka, tetapi juga bagian dari dirimu sendiri."

Mata Jaya terbelalak. Ia merasa seolah abbas itu baru saja mengungkapkan sebuah rahasia yang sangat pribadi. Sesuatu yang lebih dari sekadar tugas, lebih dari sekadar ritual. Sebuah beban yang lebih berat, yang tak terungkapkan.

"Tunggu di sini," lanjut abbas dengan suara pelan. "Aku akan memberimu tugas pertama."

Jaya duduk di sudut, mengatur napas, mencoba menenangkan pikirannya. Ia sudah mendengar cerita-cerita tentang kuil ini—tentang arwah-arwah yang datang dari tempat-tempat yang terlupakan. Tapi tidak pernah dalam imajinasinya ia membayangkan bahwa tugas ini akan menuntut lebih dari sekadar pengabdian spiritual. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata abbas tadi, sesuatu yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya.

Saat itu, langkah kaki terdengar mendekat. Jaya menoleh. Seorang arwah, seorang pria muda dengan wajah yang kusut dan pakaian yang compang-camping, muncul di pintu masuk kuil. Wajah pria itu tampak bingung, seolah baru saja terbangun dari mimpi buruk yang tak kunjung usai. Matanya yang kosong menatap Jaya dengan tatapan yang penuh keraguan. Ia berdiri di sana, seolah menunggu sesuatu—atau mungkin seseorang.

Jaya merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia merasa ada yang aneh dengan sosok pria itu. Ada sesuatu yang familiar, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Arwah itu menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hanya berdiri di sana, seperti menunggu untuk diberi petunjuk.

“Siapa kau?” tanya Jaya akhirnya, suaranya serak, masih mencoba mengerti situasi.

Pria itu tidak menjawab. Hanya menatap Jaya dengan tatapan kosong yang semakin dalam.

"Ikutlah aku," kata Jaya, meskipun ia merasa cemas. “Aku akan membantumu pergi.”

Namun, arwah itu tetap berdiri, tubuhnya bergerak sedikit, namun seolah ada kekuatan yang mengikatnya pada tempat itu. Saat itu, Jaya merasakan sebuah sensasi aneh menyelimuti dirinya—sebuah perasaan yang membuatnya ragu apakah ia bisa benar-benar menuntun siapa pun, bahkan dirinya sendiri.

***


Hari pertama Jaya di kuil itu berlanjut dalam keheningan yang hampir memekakkan telinga. Setelah pertemuannya yang singkat dengan arwah pertama, Jaya duduk kembali di sudut kuil, merenung. Cakrawala di luar jendela yang buram menyuguhkan langit kelabu, seolah-olah alam pun ikut membayangkan keraguannya. Kuil yang sunyi ini terasa semakin menekan. Di luar sana, dunia berjalan dengan kecepatan yang tak bisa ia ikuti lagi. Namun, di dalam kuil ini, waktu seakan berjalan dengan cara yang sangat berbeda—melambat, begitu lambat, sehingga setiap detik yang berlalu bisa terasa seperti sebuah kehidupan yang panjang dan penuh penderitaan.

Ketika senja mulai turun, langkah kaki terdengar di antara lorong-lorong sempit kuil. Abbas datang kembali, kali ini dengan wajah lebih serius. Di tangannya, ia memegang sebuah kantung kecil berisi beberapa ramuan dan dupa. Tanpa berkata banyak, abbas memberikan kantung itu kepada Jaya.

"Kau akan bertemu dengan lebih banyak arwah," ujar abbas sambil memandang Jaya dengan tatapan penuh arti. "Setiap arwah yang datang ke sini memiliki tujuan yang berbeda. Ada yang datang karena dosa besar, ada pula yang datang karena kebingungan. Tetapi mereka semua membutuhkan bantuanmu. Bantuan untuk beranjak. Bantuan untuk melepaskan diri."

Jaya mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi tanda tanya. Ia merasa seperti sedang masuk ke dalam dunia yang sangat asing, jauh dari segala yang ia pelajari. Di monastik, segala sesuatunya diajarkan dengan sangat sistematis. Tapi di sini, di tempat terpencil ini, ia mulai merasa bahwa sistem itu tidak cukup. Ia harus menghadapi sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang mungkin lebih dari sekadar tugas spiritual.

Abbas mengangguk perlahan, seakan mengerti kegelisahan di hati Jaya, meskipun ia tak pernah mengungkapkannya. "Jangan takut untuk melihat lebih dalam, Jaya. Kadang-kadang, dalam menghadapi arwah, kita justru menghadapi bagian dari diri kita yang terlupakan."

Jaya hanya mengangguk, meskipun ia tidak sepenuhnya mengerti. Tetapi kata-kata abbas itu kembali terngiang di benaknya, membuat dadanya semakin sesak. Apa maksud abbas dengan ‘bagian dari diri kita yang terlupakan’? Apakah ia sedang berbicara tentang penyesalan-penyesalan yang selama ini Jaya sembunyikan dalam-dalam?

Jaya melangkah menuju ruang utama, di mana ia biasanya bertemu dengan arwah. Kuil ini tidak terlalu besar, tetapi terasa sangat luas karena jarak antara setiap sudut yang tidak terjamah. Di tengah ruang utama, di bawah cahaya lilin yang remang, duduk seorang pria tua yang kurus, rambut putihnya menggantung di sekitar wajahnya yang penuh keriput. Pria itu menatapnya tanpa ekspresi, dengan mata yang tampak seperti telah lama kehilangan semangat hidup.

"Saya... saya datang untuk membantu Anda," ujar Jaya dengan suara hati-hati, mencoba menenangkan perasaan yang semakin cemas.

Pria itu tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia hanya menundukkan kepalanya dan menghembuskan napas panjang. Ada suatu keheningan yang memadat di udara antara mereka, seakan-akan ada sesuatu yang lebih besar dari kata-kata. Jaya merasa sangat terasing dengan sosok ini, tetapi ia tahu bahwa inilah tugasnya—untuk membantu arwah yang datang menuntut jalan keluar.

"Nama saya Budi," kata pria itu akhirnya, dengan suara serak yang sulit keluar dari tenggorokan yang sudah sangat tua. "Saya tidak tahu mengapa saya terjebak di sini. Saya rasa saya sudah mati, tapi saya juga merasa masih hidup."

Jaya mengangguk, berusaha mengendalikan napasnya yang semakin cepat. Ada sesuatu yang aneh dalam kata-kata Budi, sesuatu yang membuat dada Jaya sesak. "Apa yang terjadi pada Anda, Budi? Mengapa Anda tidak bisa pergi?"

Budi menatap Jaya dengan mata yang kosong. “Dosa saya tidak cukup besar untuk masuk neraka, tetapi saya tidak merasa layak untuk masuk surga. Saya merasa... saya tidak pantas untuk pergi ke mana pun.”

Jaya merasa bahwa jawaban Budi bukan hanya jawaban dari seorang arwah yang bingung, tetapi juga mencerminkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Apa yang membuat seseorang merasa tidak layak untuk mendapatkan kedamaian? Apa yang membuat seseorang terjebak dalam keraguan, bahkan setelah mati?

“Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan ini,” lanjut Budi, “Tapi saya merasa seolah-olah saya meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang harus saya selesaikan. Sebuah penyesalan.”

Jaya duduk lebih dekat dan mulai mencoba membaca ekspresi wajah Budi. Tidak ada jejak kebahagiaan, hanya keraguan dan penderitaan yang begitu mendalam. Jaya merasa seolah-olah ia sedang berbicara dengan bayangannya sendiri, seperti mendengar suara yang keluar dari kedalaman hatinya sendiri yang selama ini ia coba hindari.

"Apa yang harus saya lakukan?" tanya Jaya, meskipun ia merasa bingung. Ia tidak tahu bagaimana membantu seseorang yang bahkan dirinya sendiri tidak bisa dibantu.

Budi menunduk, seakan-akan ia mencari jawaban dalam pikirannya yang kabur. “Coba kau cari tahu dulu, apakah kau bisa menemukan jawaban. Sebelum kita bisa pergi, kita harus tahu apa yang kita tinggalkan.”

Tanpa sadar, Jaya menarik napas panjang. Kata-kata Budi itu seperti memantulkan suara dalam pikirannya. "Apa yang kita tinggalkan..." Ia merasa seolah sebuah pintu terbuka di dalam dirinya—pintu yang selama ini terkunci rapat.

Jaya tidak bisa menjawab. Hanya ada kesunyian yang mengelilinginya. Ia merasa bingung dan semakin terperangkap dalam tugas yang diberikan kepadanya. Tugas yang bukan hanya sekadar membantu arwah menemukan jalan keluar, tetapi juga untuk menemukan bagian dari dirinya yang selama ini tersembunyi di balik dinding ketidakpastian.

Budi berdiri dengan langkah gontai, memandang Jaya dengan tatapan yang penuh makna. “Kau akan menemukan jalanmu, Jaya. Tapi, kau juga harus siap menghadapi dirimu sendiri.”

Lihat selengkapnya