Di ujung dunia, di sebuah desa yang terlupakan oleh waktu, setiap rumah memiliki cermin besar di dindingnya. Bukan sembarang cermin. Cermin-cermin itu menggambarkan cara seseorang akan mati.
Desa Darpan—sebuah nama yang terdengar seakan takdirnya sendiri sudah tertulis—terletak di kaki bukit yang tak pernah dilalui kendaraan, diapit hutan lebat dan sawah yang berkilau hijau saat musim penghujan. Angin lembap membawa bau tanah basah, dan suara gesekan daun di hutan terdengar seperti bisikan yang mengingatkan akan rahasia yang lebih dalam dari tanah itu sendiri. Tanah yang, konon, telah lama menyimpan takdir bagi setiap jiwa yang tinggal di Darpan.
Namun, ada satu hal yang lebih aneh dari segala hal lain di desa ini: tidak ada yang berani melihat cermin mereka sendiri dengan jelas. Bukan karena mereka takut kecantikan atau ketampanan mereka hilang dalam pantulannya. Bukan juga karena debu atau goresan yang mengganggu pandangan. Mereka takut pada apa yang akan mereka lihat.
Cermin itu, katanya, tidak hanya memantulkan wajah. Ia memantulkan sebuah gambaran, sebuah keabadian yang dipenuhi dengan gelap dan cahaya, yang tidak akan bisa dihindari. Setiap orang di Darpan tahu apa yang akan terjadi saat mereka melihatnya, dan semua orang di desa itu tahu bahwa mereka akan mati sesuai apa yang tercermin di dalamnya. Namun tidak ada yang pernah mengakuinya. Itu adalah rahasia terbesar, yang lebih menakutkan dari maut itu sendiri.
Maka, setiap pagi saat mereka bangun, para penduduk akan memandang cermin dengan hati-hati. Mereka hanya memeriksa bayangan wajah mereka, tidak lebih. Cermin itu—terletak di ruang tamu, tepat di depan pintu masuk rumah mereka—adalah simbol dari takdir yang tak terelakkan, dan sama sekali tidak ada yang berani membicarakannya.
Ada seorang pemuda yang datang ke desa ini. Namanya Rimba. Seperti kebanyakan orang kota yang datang ke desa-desa terpencil, ia datang untuk mengajar. Tetapi, lebih dari itu, ia datang untuk menguak misteri yang seolah-olah mengikat setiap orang di desa itu dalam kebisuan yang aneh.
Rimba tidak percaya pada takdir atau ramalan-ramalan seperti yang diceritakan orang tua di kota. Baginya, hidup adalah sebuah kebebasan yang harus dijalani tanpa rasa takut. Namun, begitu ia melangkah memasuki Darpan, ia merasa seperti ada yang tidak beres. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata—sesuatu yang mengintai di balik setiap tatapan yang ia terima dari warga desa. Warga desa itu hanya meliriknya sekilas, dengan mata penuh kecemasan, seolah-olah mereka tahu sesuatu yang tak ingin mereka ungkapkan.
Seorang wanita tua yang tinggal di dekat sekolah tempat Rimba mengajar, Mbah Karyo, pernah memberinya sebuah nasihat aneh. Suatu sore, setelah Rimba mengajarinya membaca, Mbah Karyo menatapnya dengan tatapan kosong dan berkata, "Jangan pernah melihat cermin, anak muda. Kau tidak tahu apa yang akan kau temui."
Rimba tertawa saat itu, berpikir bahwa Mbah Karyo hanya berbicara soal kepercayaan kuno yang tak beralasan. Namun, beberapa hari setelahnya, Rimba mulai merasa bahwa segala sesuatu di desa ini benar-benar terhubung dengan cermin itu. Semuanya—dari cara orang-orang berbicara, hingga cara mereka menghindari percakapan tentang kematian—berpusat pada objek yang seolah-olah menjadi pengingat bahwa hidup ini tidak pernah benar-benar bebas. Mereka tahu kapan mereka akan mati, dan yang paling menakutkan adalah—mereka tidak pernah bisa menghindarinya.
Suatu hari, ketika hujan turun deras, Rimba memutuskan untuk mengunjungi rumah Mbah Karyo. Ia merasa ada sesuatu yang belum ia mengerti, dan ia ingin menggali lebih dalam. Namun, ia tidak menyadari bahwa langkah kecilnya itu akan mengubah segalanya.
Mbah Karyo duduk di depan cerminnya, yang sudah retak di beberapa bagian. Cermin itu, seperti rumahnya, tampak sudah sangat tua. Saat Rimba masuk, cermin itu menyambutnya dengan kilatan cahaya yang aneh. Dalam sekejap, bayangan Mbah Karyo dan dirinya sendiri berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa ia pahami.
Dan di situlah, tanpa sengaja, Rimba menjatuhkan cermin itu.
Pecahannya menyebar, memantulkan cahaya yang seolah-olah mengungkapkan seluruh kegelapan desa ini. Pada saat itu, Rimba merasa seperti ia telah membuka sebuah pintu yang tidak bisa ia tutup kembali. Desa itu tiba-tiba menjadi sangat sunyi. Sebuah ketakutan menyelimuti udara, dan untuk pertama kalinya, Rimba menyadari bahwa takdir mungkin sudah menunggunya di balik kaca cermin yang pecah itu.
***
Sejak cermin itu pecah, Darpan seolah-olah terbungkus dalam sebuah kabut tak kasat mata. Suasana di desa yang semula tenang dan sepi kini dipenuhi ketegangan yang sulit diungkapkan. Warga desa—yang biasanya melanjutkan rutinitas mereka dengan wajah tenang—sekarang saling melirik dengan penuh kecurigaan. Tidak ada yang berani berbicara terlalu lantang, tidak ada yang bisa mengabaikan kenyataan bahwa sesuatu telah terganggu.
Rimba berjalan kembali ke rumahnya di pinggir desa, setiap langkahnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ketika cermin Mbah Karyo pecah, bukan hanya kaca yang hancur. Sesuatu yang lebih dalam, yang tak tampak oleh mata biasa, turut retak. Sesuatu yang telah tertanam dalam jiwa desa ini sejak dulu.
Saat Rimba melewati jalan setapak yang basah, matanya menangkap bayangan samar di balik jendela-jendela rumah yang tertutup rapat. Di antara celah-celah tirai, ia melihat mata yang memantulkan rasa takut. Ada bisik-bisik yang tak bisa ditangkap, ada udara yang mendekat dengan penuh pertanyaan.
"Apa yang sudah kau lakukan, Rimba?" suara itu datang dari belakang, terengah-engah seperti seseorang yang telah lama menahan rasa cemas. Kakang Suta, pria berumur dengan tubuh kekar, yang selama ini menjadi teman percakapan ringan Rimba, berdiri di dekat sebuah pohon besar di sisi jalan. Wajahnya tampak tegang, dan matanya memancarkan ketegangan yang tidak bisa disembunyikan.
"Memecahkan cermin...?" Rimba berkata dengan sedikit kebingungannya. "Aku tidak tahu kalau itu akan jadi masalah sebesar ini."
Kakang Suta menarik napas panjang. "Bukan hanya cermin, Rimba. Itu adalah takdir. Takdir yang telah dilihat oleh Mbah Karyo... dan mungkin juga takdir kita semua. Dan sekarang, kau... kau telah mengubahnya."
Rimba mengerutkan kening, bingung. "Maksudmu, cermin itu benar-benar—"
"Jangan bodoh," Kakang Suta memotong. "Setiap cermin di desa ini, ia tidak hanya memantulkan wajah. Itu adalah bayangan akhir hidup kita. Apa yang akan terjadi pada kita nanti. Kita semua sudah tahu bagaimana kita akan mati. Dan kita berusaha untuk tidak melihat lebih jauh dari itu. Tapi ketika cermin itu pecah—" Kakang Suta menatap Rimba dengan tatapan yang tak bisa dibaca. "Kau sudah mengganggu sesuatu yang seharusnya tak terjamah."
Rimba merasa seolah-olah ada berat yang menimpa dirinya, seberat batu besar yang tiba-tiba ditumpahkan ke pundaknya. Dia tahu apa yang diucapkan Kakang Suta bukanlah omong kosong. Warga desa ini, dengan segala ketakutan dan ketegaran mereka, tampaknya memang percaya pada takdir yang tercermin dalam kaca itu. Dan, tanpa sadar, Rimba telah menghancurkan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar benda mati.
“Aku tidak tahu,” Rimba berujar, suaranya lebih pelan sekarang. “Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan sekarang. Aku tidak tahu bagaimana menghadapinya.”
Kakang Suta menghela napas panjang, menatap ke arah hutan yang gelap di kejauhan. “Takdir tidak bisa diubah, Rimba,” katanya dengan nada yang berat. “Apa yang tercermin itu sudah tertulis. Kau hanya bisa menunggu untuk melihat apakah kau akan menghadapinya dengan cara yang sama seperti orang-orang lainnya.”
Di malam yang sama, ketegangan semakin merayap ke seluruh penjuru desa. Rumah-rumah tampak lebih gelap dari biasanya, bahkan di antara tirai-tirai yang tertutup rapat itu, Rimba bisa merasakan mata yang mengawasi. Setiap langkahnya seakan mengusik ketenangan yang rapuh. Warga desa yang biasanya ramah kini menjauh darinya. Di pasar, di jalan setapak, di warung kopi—semua mata tertuju padanya, penuh dengan kecurigaan. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun aura ketakutan itu menggantung di udara, begitu kental sehingga hampir bisa dirasakan.
"Apa yang akan terjadi sekarang?" Rimba bertanya pada dirinya sendiri. Hanya angin malam yang menjawab, dengan desiran yang seolah menyembunyikan jawabannya sendiri. Suara-suara yang menembus malam terasa semakin menyesakkan. Dan di tengah keheningan itu, Rimba merasa ada yang mengintainya—sebuah hal yang lebih gelap dan lebih tak terduga daripada takdir yang terpantul dalam cermin itu.
Keesokan harinya, Rimba memutuskan untuk pergi mengunjungi Mbah Karyo. Ia perlu menjelaskan semuanya, perlu memastikan bahwa Mbah Karyo tidak merasa lebih terganggu daripada yang sudah terjadi. Tetapi begitu ia sampai di rumah Mbah Karyo, pintu rumah itu terbuka sedikit, dan ada bau harum yang aneh menguar dari dalam, seakan ada sesuatu yang tidak beres.
Ia mengetuk pintu dengan perlahan, berharap tidak mengganggu. Namun tidak ada jawaban. Mbah Karyo tidak ada di sana.
Hati Rimba mulai berdebar lebih cepat. Suasana di dalam rumah itu terasa semakin menekan. Ada sesuatu yang mengintai di balik pintu itu. Rimba merasakan sebuah dorongan kuat untuk masuk. Pintu yang terbuka sedikit itu membuatnya merasa seperti sebuah pengingat—sebuah celah ke dalam dunia yang tak sepenuhnya ia pahami.
Ketika ia melangkah masuk, matanya menangkap sosok Mbah Karyo yang sedang duduk di sudut ruangannya, memandang cermin yang telah pecah di lantai. Wajahnya sangat pucat, dan matanya tampak kosong—seakan dunia ini sudah jauh meninggalkannya. Sesaat, Rimba merasa ada sesuatu yang sangat salah di sini. Ia mendekat, dan mendengar suara lirih dari mulut Mbah Karyo.
“Aku tidak ingin melihatnya lagi,” bisiknya. “Tapi kau sudah menghancurkannya. Kini, takdir kita semua... sudah terpecah.”
Mbah Karyo tidak pernah melanjutkan kalimatnya. Karena pada saat itu, Rimba merasa seluruh desa, seluruh takdir yang telah digariskan dalam cermin-cermin mereka, mulai merayap keluar dari bayang-bayang yang selama ini tersembunyi. Dan ia tahu, saat cermin itu pecah, tak ada yang bisa kembali seperti semula.
***
Hari demi hari, suasana di Darpan semakin mencekam. Warga desa yang dulu dikenal dengan keramahan mereka kini berubah menjadi bayangan yang tertutup kabut ketakutan. Rimba bisa merasakannya dalam setiap tatapan yang ia terima. Setiap kali ia melangkah melewati rumah-rumah yang rapat, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengikutinya, sesuatu yang mencurigainya, meskipun tidak ada yang pernah mengatakannya secara langsung.
Sore itu, ia bertemu dengan Pak Dul, petani tua yang sering duduk di warung kopi depan pasar. Pak Dul biasanya berbicara banyak tentang cuaca, tanaman, dan hasil bumi. Tetapi kali ini, tatapan matanya kosong dan suaranya serak, seolah terbungkus dalam ketakutan yang mendalam.
“Rimba...” Pak Dul memanggilnya dengan suara bergetar. “Kau sudah memecahkan cermin itu, bukan?”
Rimba mengangguk pelan, tidak tahu apa yang harus dijawab. Ia merasa terpojok oleh pertanyaan yang begitu langsung, seolah-olah jawabannya sudah diputuskan sejak awal.
“Tahu apa yang itu artinya?” Pak Dul bertanya, matanya memandang ke arah jendela warung dengan pandangan kosong. “Itu bukan hanya soal cermin. Itu soal nasib kita semua. Semua orang di sini punya cermin yang memberi tahu bagaimana mereka akan mati. Dan kau...” ia berhenti, menarik napas dalam-dalam. “Kau sudah merusaknya. Kau sudah merusak takdir kita semua.”
Rimba menelan ludah, tak bisa berkata apa-apa. Kalimat Pak Dul seakan menusuk jantungnya. Ia tidak tahu harus merasa bersalah atau bingung. Apa yang sudah terjadi padanya? Ia tidak pernah percaya pada hal-hal seperti ini—takdir yang tercermin dalam cermin, kematian yang sudah ditentukan, semua itu terdengar seperti dongeng orang tua. Tapi kenapa semua orang di sini begitu ketakutan? Kenapa mereka merasa seperti dunia mereka runtuh hanya karena satu cermin pecah?
“Kau harus pergi, Rimba,” Pak Dul melanjutkan, suaranya serak. “Kau harus pergi dari sini sebelum semuanya terlambat.”
Namun, sebelum Rimba sempat menjawab, Pak Dul bangkit dari kursinya dengan langkah goyah dan pergi tanpa menoleh lagi. Rimba berdiri terdiam, merasakan dingin yang meresap hingga ke tulang.
Keputusan Pak Dul itu adalah sebuah peringatan. Rimba tahu bahwa ia tidak bisa meninggalkan desa begitu saja. Ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia temui, sesuatu yang mengancam lebih dari sekadar takdir. Tetapi apa itu? Dan mengapa orang-orang begitu takut?
Setelah kejadian di warung kopi itu, suasana di desa semakin tegang. Rimba merasakan ketegangan yang semakin meningkat setiap hari. Rumah-rumah yang dulu penuh dengan kehidupan kini tampak terkunci rapat. Warga desa menghindari jalan-jalan besar, bersembunyi di balik dinding dan pintu, seolah-olah mereka sedang menunggu sesuatu yang tak bisa mereka hindari. Ada bisik-bisik di antara mereka, ucapan yang tidak bisa dipahami dengan jelas, hanya kata-kata yang terpotong dan terhenti di tengah jalan.
“Kau tahu apa yang harus dilakukan, kan?” suara itu terdengar dari balik pintu rumah seorang perempuan muda yang sering membantu di pasar. “Mereka tidak akan pernah memaafkanmu.”