Kematian punya aroma. Setiap jiwa yang meninggalkan tubuhnya meninggalkan jejak yang lebih dari sekadar kenangan—ia meninggalkan aroma. Setiap orang di kota itu, bahkan yang belum mati sekalipun, tahu persis bagaimana aroma kematian itu. Bagi sebagian orang, itu adalah kutukan; bagi sebagian yang lain, itu adalah takdir yang bisa dibaca. Dan bagi Bima, aroma itu adalah pekerjaan.
Bima, seorang pemburu aroma kematian, adalah orang yang diberi keistimewaan—atau kutukan—untuk mencium aroma yang hanya bisa terdeteksi oleh mereka yang memiliki indra terlatih. Sejak kecil, ia sudah terbiasa hidup di antara aroma yang tak bisa dijelaskan: aroma tanah basah di kuburan, aroma kayu yang terbakar, bahkan aroma busuk dari tubuh yang terpendam lama di balik puing-puing sebuah rumah runtuh. Di kota ini, kematian tak bisa disembunyikan. Di balik setiap peristiwa, di balik setiap tarikan napas, selalu ada aroma yang tersembunyi, menunggu untuk terendus.
Namun, hari itu adalah hari yang berbeda.
"Aroma itu… berbeda," kata Bima kepada dirinya sendiri, dengan suara serak yang nyaris tak terdengar. Ia berdiri di tengah pasar yang penuh hiruk-pikuk, namun ada sesuatu yang mengusik indera penciumannya. Aroma yang ia cium bukanlah aroma biasa—ini adalah aroma yang pernah ia temui sebelumnya, tetapi kini terasa lebih menyengat, lebih meresap. Aroma itu menggelitik tenggorokannya, membuatnya ingin muntah, dan di saat yang sama, membuatnya ingin berlari menuju sumbernya.
Seorang wanita tua yang tengah menawar harga cabai menatap Bima dengan tatapan kosong. Matanya yang buram tidak bisa melihat perubahan pada raut wajahnya, tetapi Bima tahu—aroma itu sudah mulai mengarah ke tempat yang tak terduga. Ada sesuatu yang sedang terjadi. Di tengah hiruk-pikuk pasar, di tengah hidup yang terus berdenyut, Bima merasakan sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada aroma bangkai. Aroma ini tidak hanya berasal dari kematian orang lain. Aroma ini adalah aroma kematian yang sedang mendekat—dan aroma itu berasal dari tubuhnya sendiri.
Kematian, di kota ini, bukan sekadar peristiwa yang datang dengan diam-diam. Ia datang dengan aroma yang menyengat, dan Bima adalah satu-satunya yang bisa mencium aroma itu sebelum semua terlambat.
"Apakah ini saatnya?" gumam Bima, meremas ujung jaketnya. Di matanya, berkedip bayangan dari kehidupan yang telah meninggalkan dirinya—sebuah dunia yang selalu tampak bersih dan teratur, namun penuh dengan aroma busuk yang tak terungkapkan.
Dan hari itu, aroma itu mulai mengejar.
***
Bima melangkah keluar dari pasar yang riuh, seolah-olah dunia di sekitarnya berputar lebih lambat dari biasanya. Langkahnya lebih berat, lebih hati-hati, seolah menghindari setiap inci tanah yang mengandung aroma kematian itu. Namun, meskipun ia mencoba menepisnya, aroma itu mengikuti—menyusup ke dalam pori-pori kulitnya, menyusuri urat sarafnya, sampai ke dasar hatinya yang paling gelap. Bima tahu, tak ada tempat yang cukup jauh untuk melarikan diri.
Di depan kantor polisi, Bima berdiri sejenak, menatap gedung tua yang sudah pudar catnya. Gedung yang dulu berdiri kokoh, kini terasa rapuh, sama seperti masyarakat yang dipertahankan oleh sistem yang tak lagi berfungsi. Pintu kayu yang berderit dibuka oleh seorang petugas muda, yang hanya memberikan senyum kikuk saat melihat Bima.
"Pak Bima, ada kasus baru. Seperti yang lain... Aroma itu," ujar petugas itu tanpa banyak basa-basi. Ia tidak perlu menjelaskan lebih lanjut—sebab sudah terlalu banyak kasus seperti ini yang datang bertumpuk-tumpuk di meja polisi, dan semuanya berakhir dengan satu jejak: aroma kematian.
Bima mengangguk, berjalan masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Di dalam ruangan, meja yang penuh dengan dokumen tak teratur mencerminkan keadaan kota yang berantakan. Di ujung meja, seorang lelaki dengan wajah keras, Seno, duduk sambil memeriksa catatan. Tidak ada sapaan hangat, hanya tatapan dingin yang langsung mengarah pada Bima. Di balik kaca matanya, ada bayangan tajam yang sulit ditafsirkan. Seno adalah pemburu aroma yang sudah berpengalaman, tapi dia bukanlah orang yang Bima ingin temui hari itu. Meskipun mereka bekerja di bawah atap yang sama, Bima tahu bahwa Seno adalah orang yang jauh lebih sinis, lebih gelap, dan lebih siap menghadapi kenyataan yang paling buruk.
"Bima," Seno membuka percakapan dengan suara serak, "kasus ini... berbeda. Korban yang kita temui kali ini bukan hanya orang biasa. Mereka… mereka ini lebih dari sekadar mati."
Bima mengernyit. "Apa maksudmu?"
Seno menghela napas, lalu menatap Bima dengan serius. "Mereka yang tewas kali ini punya aroma yang lebih tajam, lebih sulit diidentifikasi. Seperti... seolah-olah mereka tidak hanya meninggalkan tubuh, tapi juga jejak-jejak sejarah mereka. Ini bukan hanya tentang kematian biasa, Bima. Ini tentang sesuatu yang lebih besar."
Bima menatap file yang ada di depan Seno. Di dalamnya, ada foto-foto korban yang ditemukan dalam keadaan mengenaskan—terluka parah, wajah mereka terdistorsi dalam kesakitan yang tak bisa dibayangkan. Tapi aroma mereka, Bima tahu, adalah aroma yang lebih dari sekadar luka. Aroma itu memancar dari dalam tubuh mereka, seperti janji yang telah lama dipenuhi.
"aroma itu... bisa kau cium?" tanya Seno, dengan mata tajam yang menilai.
Bima mengerutkan kening, lalu menundukkan kepalanya, mencoba meresapi udara di sekitarnya. Tak ada yang lebih menyengat selain aroma-aroma yang ia kenal—aroma darah, aroma tanah lembap, aroma kayu terbakar. Namun ada satu yang lebih asing, lebih mengganggu. Semakin ia mendalamkan penciumannya, semakin ia sadar bahwa aroma itu tak hanya berasal dari korban, tetapi juga... semakin terasa dari dirinya sendiri.
"Ada yang salah," bisik Bima, setengah kepada dirinya sendiri. "Ini... ini bukan aroma mereka. Ini aromaku."
Seno menatapnya tajam. "Kau mulai merasakannya, bukan? Itu aroma yang tidak bisa kita hindari. Aroma kematian. Aroma yang menempel di tubuh kita sebelum kita menyadarinya."
Bima menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan diri. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang merayapi setiap serat tubuhnya. Mungkin saja, kata-kata Seno itu hanyalah permainan psikologis, tak lebih dari sekadar trik untuk menggoyahkan pikirannya. Namun, perasaan yang menggerayangi tubuhnya sudah mulai merayap lebih dalam.
"Dimana tubuh terakhir ditemukan?" tanya Bima, berusaha mengganti arah percakapan.
Seno menutup file itu dengan kasar dan menatap Bima sejenak. "Di tepi sungai. Di tempat yang biasa orang membuang sampah. Tidak ada yang mau melihat ke sana. Tempat yang paling mudah dibuang. Tapi aroma itu, Bima... Aroma itu membuatku yakin, ini bukan pekerjaan sembarangan."
Bima merasakan angin yang kencang bertiup, seperti sebuah pertanda. Sungai itu, kata Seno, adalah tempat di mana semua yang tak terungkapkan akan terbenam. Namun, justru aroma yang tersembunyi di balik tumpukan sampah itulah yang paling membekas. Ia tahu, inilah petunjuk pertama yang membawanya pada kenyataan yang lebih mengerikan.
"Ini bukan pembunuh biasa," lanjut Seno dengan nada datar. "Ini adalah pembunuh yang tahu bagaimana menutupi jejak, dan dia tahu bahwa aroma itu tidak bisa hilang."
Bima berdiri tegak, merasa hatinya semakin berat. Aroma itu mengikutinya. Ia tak bisa menepisnya. Seperti kabut tebal yang menyelimuti setiap jalan, setiap napasnya. Aroma kematian itu sudah berada di tubuhnya. Ini bukan hanya tentang menemukan pembunuh berantai, ini tentang melacak aroma yang mengarah pada dirinya sendiri.
"Kita harus pergi ke sana," kata Bima pelan. "Ke tepi sungai."
Seno mengangkat alisnya, seolah menilai apa yang baru saja dikatakan Bima. Tapi sebelum Seno bisa menjawab, Bima sudah berbalik, melangkah keluar tanpa menunggu persetujuan. Langkah-langkahnya terdengar di lorong kantor yang sunyi, dan semakin jauh ia melangkah, semakin kuat aroma itu mengiringi. Kini, Bima tahu, ia tidak hanya berburu pembunuh—ia sedang berburu dirinya sendiri.
***
Sungai itu, seperti yang diharapkan, terletak jauh dari pusat kota. Semakin Bima mendekat, udara semakin aroma. Bukan aroma sampah atau limbah yang biasa ditemukan di sepanjang tepian sungai, tetapi sesuatu yang lebih menyengat, lebih berat—aroma kematian yang terus menggerayangi. Ia tidak perlu mencium lebih lama untuk tahu bahwa ini adalah petunjuk yang sudah menunggu sejak lama. Langkahnya semakin cepat, dan jantungnya berdetak lebih kencang, tidak hanya karena pencariannya, tetapi juga karena ia merasakan aroma itu semakin mendekat, semakin menyatu dengan dirinya.
Di pinggir sungai, di bawah jembatan yang sudah retak, Bima berhenti. Sebuah tubuh tergeletak di sana, setengah tenggelam dalam air yang keruh, matanya terpejam, dan mulutnya terbuka lebar seolah berteriak tanpa suara. Aroma yang muncul dari tubuh itu sangat kuat, tetapi yang paling mengganggu adalah aroma yang juga datang dari tubuh Bima sendiri. Tak bisa dipungkiri lagi—aroma itu adalah tanda bahwa ia juga berada di ujung jalan.