Buku Panduan Mati Sengsara (Kumpulan Cerpen)

Rizal Nurhadiansyah
Chapter #10

La Mort

Ada dua jenis kematian di negara ini: pertama, kematian biasa—di mana kamu sakit atau mati dimakan usia, lalu tubuhmu akan diurus dengan penuh kehormatan dan pengingat akan perjuanganmu bagi negara; kedua, kematian yang sunyi—di mana nama dan tubuhmu hanya menjadi deretan angka yang tak tercatat dalam sejarah. Mereka yang mati dengan cara kedua, biasanya adalah mereka yang mencoba berbicara terlalu keras tentang ketidakadilan. Mereka menghilang begitu saja, dan dalam hitungan hari, tak ada yang ingat lagi. Termasuk Naya, saudara perempuanku.

Hari itu, ketika Naya tidak pulang, aku tahu sesuatu telah terjadi. Kami semua tahu, dalam hati yang tak berbicara, bahwa ada harga yang harus dibayar oleh siapa pun yang berani memprotes kezaliman rezim ini. Naya yang penuh semangat itu, dengan matanya yang selalu menuntut penjelasan, pasti sudah menemukan jalannya menuju "kematian yang terhormat." Kata-kata itu, seolah mereka tahu cara menenangkan kita, karena pada akhirnya, siapa yang akan menentang nama besar yang sudah dimuliakan dengan kematian?

Aku bekerja sebagai jurnalis di surat kabar yang dikelola rezim. Tidak ada yang dapat kusampaikan selain kebenaran yang telah dimanipulasi. Setiap hari, di meja kerjaku, ada begitu banyak cerita yang ingin diceritakan, namun semuanya dibungkam sebelum sampai pada pembaca. Semua informasi disaring, dipilih, dan dibatasi oleh ketakutan yang lebih besar dari sekadar peraturan. Kami—semua jurnalis—adalah penjaga yang diam, menulis dengan tangan terikat. Namun, Naya... Naya yang masih muda, yang terlalu banyak bertanya tentang mengapa semuanya begitu kelam, telah membuka mata kami semua.

Aku mencoba mencari tahu lebih banyak tentang kematiannya. Dia tidak hanya mati; dia dibunuh. Dan dibunuh dengan cara yang sangat terencana. Setiap detail, setiap kata yang terdengar pada malam itu, disusun untuk membuat rakyat percaya bahwa Naya adalah "pahlawan." Seolah-olah mereka yang mati dengan tangan rezim, mati dalam kedamaian. Aku ingin tahu, lebih dari apapun, siapa yang sebenarnya bisa melihat Naya sebagai pahlawan? Siapa yang mengatur bahwa dia harus mati dengan cara itu?

Kematian yang terhormat. Kata itu menghantui pikiranku. Aku tak tahu apakah aku sedang mencari keadilan untuknya, atau hanya mencoba memahami bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang diputarbalikkan di hadapanku.

***


Penyelidikanku dimulai dengan langkah-langkah yang tampaknya tidak berbahaya. Aku berbicara dengan orang-orang yang pernah dekat dengan Naya, mengunjungi tempat-tempat yang dia sering kunjungi, dan berbicara dengan mereka yang mungkin tahu lebih banyak dari apa yang mereka biarkan terlihat. Namun, setiap jawaban yang kuterima terasa seperti serpihan-serpihan teka-teki yang tidak saling melengkapi, memaksaku untuk terus mencari lebih dalam.

Di kantor kecil tempatku bekerja, di sudut yang jarang dilihat oleh para pejabat yang datang dan pergi, aku mulai menggali arsip-arsip lama. Semua laporan yang dihasilkan dari peristiwa-peristiwa serupa yang telah terjadi. Setiap nama, setiap tanggal, setiap detail tentang kematian yang tercatat, dan semuanya tampak sama. Mereka yang hilang—entah itu tokoh oposisi, mahasiswa yang berani berdemo, atau aktivis yang berteriak lantang—mereka semua akan dihormati oleh negara sebagai "pahlawan yang gugur demi keamanan dan kedamaian." Tetapi apakah ini benar? Apakah kematian mereka benar-benar dihormati, ataukah hanya cara pemerintah untuk menumbuhkan ketakutan yang lebih dalam, meredam jiwa-jiwa pemberani agar tak ada yang berani berbicara lagi?

Aku bertemu dengan Rudi, seorang kolega yang bekerja sebagai editor di surat kabar yang sama. Dia sudah lama bekerja di bawah bayang-bayang rezim ini, dan sepertinya dia telah terbiasa dengan segala aturan yang ada—termasuk aturan untuk membungkam kebenaran. Rudi mengajakku berbicara di kafe kecil yang tersembunyi di balik gang sempit, jauh dari mata-mata yang selalu mengawasi.

"Rudi," tanyaku dengan hati-hati, "apa yang sebenarnya terjadi pada Naya?"

Rudi menundukkan kepala, menatap cangkir kopi yang telah lama dingin. Ia menghela napas panjang. "Naya sudah tahu terlalu banyak. Dia berani terlalu banyak bicara tentang hal-hal yang tidak bisa kita bicarakan. Tidak ada yang bisa mengubah itu, Ghani. Kematian Naya... itu sudah direncanakan jauh sebelum dia berteriak di depan Gedung DPR."

Aku terdiam. Hatiku terasa berat, seperti batu besar yang menghimpit dada. "Apa maksudmu dengan 'direncanakan'?"

Rudi memandang sekeliling dengan cemas sebelum akhirnya berkata pelan, "Mereka yang mati dengan cara itu... mereka bukan korban kebetulan. Kematian mereka sudah tercatat dalam daftar. Ada sistem yang mengatur semuanya. Rezim ini, Ghani, mereka tak hanya membunuh fisik kita, tapi juga membunuh semangat kita. Mereka menciptakan kematian yang terhormat sebagai cara untuk menanamkan ketakutan yang lebih dalam. Membunuh pikiran kita, bukan hanya tubuh kita."

Aku mengerutkan kening. "Kematian yang terhormat...?" Aku merasa kata-kata itu semakin membelenggu pikiranku.

Rudi mengangguk pelan. "Mereka yang mati dalam protes, dalam demonstrasi... itu semua adalah cara untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa tidak ada yang bisa melawan. Bahwa kita, rakyat, tidak punya pilihan lain selain tunduk. Sebuah sistem yang begitu terorganisir, begitu terencana, bahkan kita yang menjalani hidup di bawah bayang-bayangnya tidak menyadari ada apa di baliknya."

Aku merasa tercekik. "Tapi Naya... Naya tidak mati seperti itu. Mereka menembaknya di jalanan. Di depan orang banyak. Semua orang melihatnya. Tidak ada yang tersembunyi."

Rudi tersenyum miris. "Semua itu bagian dari rencana. Naya mati di depan orang banyak untuk memberi contoh, Ghani. Ini adalah pembunuhan yang dilakukan dengan sangat terhormat—mereka memberi penghormatan pada orang yang menentang mereka dengan membunuhnya secara terbuka, lalu menulisnya dalam sejarah sebagai tindakan berani. Semua orang akan merasa terhormat dengan kematian itu, dan di dalam hati mereka, ketakutan akan muncul. Karena siapa yang tidak akan takut setelah melihat orang yang berani mati seperti itu?"

Aku diam sejenak, mencerna semua kata-kata Rudi. Perasaan ini seperti api yang mulai menyala di dalam dada. Kebenaran ini terlalu besar untuk kutelan begitu saja. "Jadi... kematian Naya, semua ini... semuanya sudah diprogram, sudah direncanakan? Tidak ada yang kebetulan?"

"Begitulah," jawab Rudi. "Setiap orang yang dianggap membahayakan kekuasaan pemerintah akan dihilangkan. Tidak ada yang tersisa. Kematian mereka adalah cara untuk memastikan bahwa tak ada yang berani melawan, bahkan dalam pikirannya sekalipun. Karena, setelah melihat Naya, mereka yang lain akan berpikir dua kali."

Kata-kata itu menghantui pikiranku. Bagaimana bisa aku hidup di dunia yang seperti ini? Di mana kematian bukan lagi sebuah tragedi, melainkan sebuah alat untuk menundukkan orang-orang yang berani menyuarakan kebenaran?

Pikiran-pikiran itu terus berputar dalam kepalaku, mengarahkanku pada jalan yang semakin gelap. Aku mulai mencari lebih jauh, berbicara dengan orang-orang yang lebih berani, yang mungkin tahu lebih banyak. Namun, semakin dalam aku menyelidiki, semakin aku merasa bahwa aku sedang menarik tali yang menghubungkanku pada jurang yang tak terlihat. Jika aku terus maju, apakah aku akan mengalami nasib yang sama dengan Naya? Atau akankah aku menemukan cara untuk menghentikan permainan kotor ini?

Lihat selengkapnya