Bulan Bening di Wajah Ibu

Yosep Rustandi
Chapter #2

DUA: Bulan yang Sendiri

SETIAP bulan bersinar penuh, seperti biasa, anak-anak bermain di halaman. Berlari-larian, saling kejar, tertawa-tawa. Ada juga orang tua yang menyaksikan mereka sambil ngobrol di tepas, beranda rumah. Ibu-ibu membuat makanan sederhana. Kalau tidak urab jagung atau pisang goreng, rebus singkong atau ubi pun jadilah. Sesekali, kalau lagi ada baterainya, kaset kecapi suling diputar keras-keras. Begitulah hiburan terindah di kampung terpencil Lembah Ngahgar tahun 1990.

Kegembiraan di Lembah Ngahgar memang selalu ditandai dengan bulan yang bersinar penuh. Panen dari huma di lereng gunung mulai bisa dipetik. Singkong, jagung, ubi jalar, meski ditanam sekedarnya sebagai tumpang sari dari padi, tapi hasilnya bisa berlebihan untuk bulan pertama setelah panen. Merayakan kegembiraan setiap musim hujan tiba itu rasanya belum lengkap bila tidak menyertakan bulan yang bersinar penuh. Meski bagi sebagian penduduk, bulan bulat itu selalu mengingatkan akan bencana yang pernah menimpa Lembah Ngahgar.

“Lia, hayu urang oray-orayan (Lia, ayo main oray-orayan),” kata Nunung dari halaman.

“Moal ameng, nuju ngaréncangan Nini (Tidak akan main, sedang menemani Nenek), balas Lia berteriak.

Lia selalu menyaksikan semua itu dari tepas bersama Nenek. Hanya sesekali dia ikut bermain dengan anak-anak lainnya. Dia lebih senang memandang bulan atau pucuk kelapa yang melambai-lambai. Atau merasakan kesedihan yang ingin diceritakan kecapi suling atau kerisik daun-daun itu. Kalau sudah begitu, Lia merasa betapa sepinya hidup. Dan tanpa terasa, selalu ada yang mengalir di pipinya.

“Kenapa begitu lama kita bersedih dengan hal yang telah terjadi,” kata Nenek sambil mengusap pipi Lia.

Lia sebenarnya tidak ingin mengenang segala kesedihan itu. Tapi bulan yang selalu sendirian mengingatkan akan dirinya yang juga sendirian. Pucuk kelapa yang melambai-lambai itu mengingatkan akan perpisahan, selamat tinggal yang diucapkan dengan bahasa alam. Kecapi suling seperti soundtrack dari segala kesedihan.

Kalau sudah begitu, Lia akan menumpahkan segenap perhatiannya kepada teman-temannya yang sedang bermain. Lia hapal, setelah bulan tergelincir sedikit, anak-anak akan ribut menghabiskan makanan. Beristirahat sebentar sambil bercerita mengenai permainan tadi. Tapi kemudian satu-satu mengundurkan diri dan suaranya tak lagi kedengaran. Tinggal bulan sendirian. Kadang ada codot yang berkeliling mencari buah-buahan. Jerit jengkrik begitu jelas, mempertegas sunyi.

Lia baru masuk ke dalam rumah kalau sunyi sudah menguasai sekitarnya.

“Tidurlah, besok kita harus bangun pagi, agar dapat padi yang lebih banyak.” Nenek selalu mengatakan begitu bila Lia susah tidur.

Tapi Lia tidak bisa tidur sebelum lamunannya menerawang ke suatu malam, ketika bulan bersinar penuh, dua tahun yang lalu. Dia sedang bermain di halaman ketika Mang Adang datang membawa kabar bahwa telah terjadi bencana di lereng gunung tempat penduduk membuka kebun.

Anak-anak yang sedang bermain berhenti ketika mendengar suara Kang Adang. Mereka mendengarkan suara yang samar-samar.

“Tullluuuungng....! Toolllooongng...!” teriak Kang Ada.

Lihat selengkapnya