Bulan Bening di Wajah Ibu

Yosep Rustandi
Chapter #3

Airmata yang Berurai

HIDUP bertahun-tahun tanpa orang tua telah mengajarkan kepada Lia bahwa kesengsaraan dan kesedihan tidak cukup hanya ditangisi. Begitu banyak keinginan Lia yang menjadi impian belaka. Setiap Idul Fitri tiba, anak-anak tetangga bergembira dengan baju baru, Lia menangis karena rengekannya kepada Nenek tidak menghasilkan sepotong baju pun. Lia hanya berandai-andai; andai saja orang tuanya masih ada, andai saja Kakek masih ada.

Waktu yang kemudian mengajarkan kepada Lia bahwa manusia bisa bersahabat dengan kesengsaraan dan kesedihan. Tidak ada lagi rengekan untuk keduanya. Karena Lia mengerti kenapa Nenek selalu membawanya setiap hari bekerja di rumah-rumah orang kaya di kampung-kampung tetangga. Kalau tidak menumbuk padi, Nenek mengajarkan bagaimana caranya mencuci piring atau baju, menanak nasi, memasak sayuran atau ikan.

“Hanya nasi yang berasal dari keringat sendiri yang begitu nikmat,” kata Nenek suatu malam. “Tapi juga bukan dari keringat kotor yang pernah kamu lakukan.”

Lia tersenyum di lahunan Nenek. Dia ingat sewaktu mencuri singkong di kebun Mang Nanang. Lia yang merasa berhasil mencuri tanpa diketahui oleh orang lain, berteriak memanggil-manggil Nenek. Dia pikir Nenek akan senang dengan hasilnya karena sudah tiga hari mereka makan alakadarnya, sekali sehari. Tapi Nenek malah marah ketika tahu singkong itu hasil curian. Lia disuruh untuk mengembalikan singkong itu. Lia menangis. Mang Nanang memang memberikan singkong itu ketika Nenek mengembalikannya. Tapi singkong itu tidak dimasak sampai besoknya.

Lia tidak bisa mengerti waktu itu. Mengapa Nenek mesti marah dengan usaha yang telah dilakukannya? Padahal itu semua dilakukan Lia karena kasihan melihat Nenek begitu pucat karena makanan bagiannya sebagian besar diberikan kepadanya. Lia merasa sakit hati yang paling diingat dalam hidupnya adalah waktu itu. Berhari-hari dia tidak bicara dan tidak ikut bekerja dengan Nenek. Saat malam keempat Lia melihat air mata meleleh di pipi keriput Nenek, Lia ikut menangis sejadi-jadinya.

“Kita memang tidak punya apa-apa, tapi tidak mesti bertahan hidup dengan mencuri. Jangan sekali-kali lagi kamu lakukan itu,” kata Nenek sambil mendekap Lia. Lia merasa kesedihan yang begitu nikmat waktu itu. Dia bahagia masih memiliki Nenek yang menyayangi dan disayanginya. Lia bangga dan begitu beruntung punya Nenek.

Maka ketika suatu hari Nenek tiba-tiba pingsan dan dua hari kemudian meninggal saat mencuci piring di rumah kepala kampung, Lia tidak bisa menerima kenyatan yang dialaminya. Peristiwa-peristiwa yang menimpanya terasa seperti pisau yang sengaja ditusukkan. Lia menangis sejadi-jadinya. Pelajaran tentang kesalehan menerima kenyataan yang diberikan kesengsaraan dan kesedihan hilang seketika.

“Kekayaan ada saat kita merasa cukup dengan hasil yang telah kita perjuangkan,” kata Nenek, sebelum meninggal. “Tidak ada kekayaan selama kita menyesali nasib. Semua manusia punya kekayaan selama memelihara semangat untuk merubah nasib, selama tidak takut kekurangan. Itulah satu-satunya kekayaan kita. Semangat. Jangan sampai kita diperbudak harta.”

Tapi kata-kata yang pernah diyakininya itu hilang dari ingatan Lia. Berhari-hari dia merasa disakiti oleh segala peristiwa yang menimpanya. Dia tidak begitu mendengar para tetangga yang memberi wejangan dan nasihat untuk sabar dan menerima. Karena segala wejangan dan nasihat itu sudah didapatkan Lia dari pengalaman.

Lihat selengkapnya