Bulan Bening di Wajah Ibu

Yosep Rustandi
Chapter #4

Sekepal Nasi Segenggam Beras

Lia tersenyum ketika memandang anak-anak berseragam Sekolah Dasar di jalan desa. Mereka menggendong tas, bertopi merah putih, ada juga yang berdasi merah. Ada seorang anak yang berjalan sambil membaca buku. Betapa bahagianya mereka, gumam Lia.

Dari Lembah Ngahgar pun ada beberapa anak yang bersekolah. Biasanya mereka berangkat lebih pagi. Waktu Lia meninggalkan rumah, tidak melihat mereka di jalan setapak. Sepertinya mereka sudah berangkat. Lia tidak bisa seperti mereka. Dulu sewaktu masih ada Nenek, Lia pernah berniat mengatakan keinginannya bersekolah. Tapi usianya yang baru enam tahun belum waktunya bersekolah. Dan kemudian Nenek meninggal, tidak ada lagi yang bisa diminta untuk mendaftarkannya ke Sekolah Dasar.

Sayangnya, teman-temannya dari Lembah Ngahgar yang bersekolah, biasanya setelah lulus SD tidak melanjutkan lagi sekolahnya. Bahkan ada yang SD pun tidak tamat. Mereka lebih senang membantu orang tunya bekerja di kebun. Dan orang tuanya tidak menganjurkan bersekolah.

Tapi bagi Lia, itu masih lebih menyenangkan. Belajar di SD walau tidak tamat, setidaknya bisa membaca. Lia sering iri melihat teman-teman sebayanya yang membaca buku. Sekali waktu dia menemukan buku di madrasah, membuka-bukanya, suka dengan gambar-gambarnya, sayang tidak tahu isi buku itu. Ya, karena Lia memang tidak bisa membaca.

Di jalanan desa saat memandang anak-anak berseragam SD itu Lia teringat kembali keinginannya bisa sekolah. Tapi bagaimana caranya bersekolah? Ah, keinginan yang jauh sekali. Jangan dulu berpikir sekolah. Perut saja dulu yang dipikirkan. Begitu biasanya Lia menghentikan pikiran aneh yang melintas di kepalanya.

Memikirkan perut? Lia kan masih kecil, baru 9 tahun? Ya, anak kerempeng dengan wajah hitam terpanggang matahari dan rambut belah-belah ujungnya bersemu merah itu, memang dipaksa untuk memikirkan perutnya sendiri. Pagi sekitar pukul 6 dia sudah berada di jalanan desa, tidak lain maksudnya untuk mencari sesuatu yang bisa mengisi perutnya.

Jalanan desa selebar tiga meter itu berjarak lumayan jauh dari Lembah Ngahgar. Sekitar dua puluh menit melewati jalan setapak. Itu pun berangkatnya, kalau pulangnya bisa lebih karena menanjak. Di perkampungan ibu kota desa itu banyak orang kaya. Rumah-rumah permanen dengan tembok-tembok kuat itulah tujuan Lia. Sudah biasa dia menawarkan dirinya untuk membantu pekerjaan rumah apapun. Memasak, menyapu-mengepel lantai, mencuci sampai menyetrika, atau apapun pekerjaan yang disuruh pemilik rumah-rumah gedung itu.

Tadi sebelum berangkat Lia sarapan sepotong singkong sisa semalam. Singkong itu dikasih Bi Erum, tetangganya yang baik hati. Kemarin sore Bi Erum mengirim beberapa potong singkong rebus karena tahu Lia tidak mempunyai beras sedikit pun. Para tetangga itu sebenarnya baik dan perhatian. Sejak Nenek meninggal, hampir semua keluarga di Lembah Ngahgar menawari Lia untuk tinggal di rumah mereka. Termasuk Abah Surya, bapak Ketua Kampung.

Lia memang sering tidur di rumah siapa saja. Terutama di rumah teman-temannya; Enung, Irah, Asih atau Kenoh. Tapi paginya Lia suka pulang ke rumahnya. Setiap keluarga yang ditumpangi tidur oleh Lia, selalu memberinya makanan. Kadang ubi, jagung, kacang-kacangan, atau palawija lainnya hasil dari kebun. Tidak nasi karena mereka pun kadang tidak mempunyai beras.

Lembah Ngahgar memang kampung terpencil yang memprihatinkan. Penghuninya hanya beberapa belas keluarga. Bila padi di huma atau palawija di kebun didahului babi hutan, monyet atau binatang lainnya, seringkali mereka kekurangan makanan. Tapi itu sudah sesuatu yang biasa bagi mereka. Itu tidak mengurangi kecintaan mereka kepada Lembah Ngahgar. Tetap saja, bila mereka berdagang jauh atau mengembara, saat Lebaran mereka mudik dengan rasa suka-cita yang melambung tinggi.

Lia berjalan lagi menyusuri jalan desa setelah anak-anak berseragam SD itu menghilang di belokan. Sesekali motor dan mobil lewat, membunyikan klaksonnya bila Lia berjalan terlalu tengah. Banyak yang berangkat bekerja pagi itu. Ada juga pedagang keliling bersepeda menawarkan nasi kuning dan goreng-gorengan. Di pinggir jalan, pedagang kue serabi, bubur ayam, kupat tahu, ramai pembeli.

Tentu Lia ingin mencoba menikmati jajanan pagi itu. Tapi dia tidak mempunyai uang serupiah pun. Jangankan saat ini, waktu masih ada Nenek pun tidak pernah mereka jajan di pinggir jalan. Bila ada yang memberi uang, Nenek lebih suka menyimpannya. Siapa tahu besok atau lusa Nenek tidak bisa bekera, uang itu bisa untuk membeli beras. Begitu pertimbangan Nenek.

Sekali Lia pernah merasakan nikmatnya kupat tahu ketika Bi Ami, tetangganya yang bekerja di kota, pulang kampung. Pagi-pagi anak Bi Ami memberi dua bungkus kupat tahu. Lia sangat senang. Dia merasa, sarapan kupat tahu pagi itu adalah sarapan paling istimewa.

Di depan sebuah rumah berhalaman luas Lia berhenti. Dulu Nenek beberapa kali bekerja di rumah ini. Tapi Lia beberapa kali pernah menawarkan diri untuk bekerja, selalu ditolaknya. Ada rasa segan di hati Lia untuk mengetuk kembali rumah itu. Tapi rejeki hari ini bisa saja adanya di rumah itu. Kata Nenek, “Rejeki itu ajaib adanya. Kadang bisa datang dari yang tidak kita usahakan. Kadang adanya di tempat yang kita sudah tidak menduganya.”

Lia mengetuk dan mengucapkan salam di depan rumah itu. Tidak lama pintu pun dibuka. Seorang ibu berdaster, membawa piring nasi di tangan sebelah, melongokkan kepalanya. Sepertinya sedang menyuapi seorang anaknya. Sedikit nasi dan paha ayam yang baru setengahnya terkelupas masih ada di piring itu.

“Ada apa?” kata ibu itu.

“Barangkali ada yang bisa dibantu, Bu. Saya bisa mengerjakan pekerjaan dapur, mencuci-menyetrika, menyapu-mengepel,” kata Lia, lancar karena sudah terbiasa mengatakan itu.

Ibu itu memandang Lia dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Lia menjadi gugup dan berdebar dadanya. Ada rasa risih, malu dan takut. Tapi katanya sambil menunduk, “Saya dulu sering membantu di rumah Ibu....”

“Oh ya, kebetulan pembentu sedang pulang. Kamu bisa mencuci dan menyetrika,” kata ibu itu sambil melebarkan pintu.

Begitu pintu terbuka lebar, Lia melihat pemandangan tengah rumah yang menakjubkan. Seorang bapak dan seorang anak berseragam SMP sedang makan di meja makan. Dua orang anak berseragam SD duduk di karpet, sedang menonton televisi. Wow, tontonan mahal bagi Lia dan penduduk Lembah Ngahgar lainnya.

Televisi itu sedang menyiarkan film anak. Seorang gadis dengan baju panjang bertambal kain-kain bekas, sedang mencuci sambil bernyanyi. Tentu menyenangkan mencuci seperti itu, karena ditemani oleh puluhan burung, kemudian ada kelinci, kijang, kura-kura, dan hewan lainnya. Mereka menemani gadis itu mencuci. Mereka lucu-lucu. Mereka....

“Eh, di belakang saja. Kamu lewat jalan belakang. Cuciannya nanti dibawa ke belakang,” kata ibu itu sambil menutup pintu.

Lia terperanjat. Seperti dibangunkan dari mimpi yang indah. Tapi kemudian dia sadar, lalu berkeliling memutari rumah besar itu. Halaman belakang rumah itu pun sungguh luas. Seluas halaman bermain anak-anak di Lembah Ngahgar. Ada sumur pompa di bawah pohon mangga, sekaligus juga jamban untuk mencuci. Di tengah ada tali membentang yang diikat ke pancuh bambu. Tali-tali itu untuk menjemur pakaian.

Lihat selengkapnya