Bulan Bersedih Di Jakarta

Herman Sim
Chapter #2

Tidak Jelas

"Nasib-nasib. Kenapa jadi begini bangat ya. Hidup udah susah, krisis ekonomi jadi nambah bikin susah. Punya anak dua pada bikin pusing! Satu anak paling tua, bukannya benar hidupnya. Ini keluar-masuk penjara aja hobinya. Satunya lagi? Haduww! Ngak tahu dehh. Duit udah habis banyak buat berobat. Tapi sakitnya ngak sembuh-sembuh. Kata Dokter, Fadli stres defresi kehilangan ingatan karena di tinggal kawin sama pacarnya,"

Lelaki tua itu cuman menggerutu saja sejak tadi, tapi dua tangannya cekatan menata dan menanam tanaman. Memang terlihat indah, yang tadinya lahan kosong itu tempat pembakaran sampah, sekarang sudah jadi taman yang indah sekali di pandang mata. Hampir setiap hari lelaki tua itu menyibukan dirinya untuk menata lahan kosong menjadi taman, pastinya dengan modal sendiri dan tanpa di bayar oleh siapapun. Lokasi itu memang tidak jauh dari rumahnya, rumahnya saja tidak terlalu besar, tepatnya di kelilingi gedung-gedung betingkat yang terlihat angkuh.

"Gua sampai kapanpun ngak mau ngejual rumah sama tanah gua! Biar kata nih rumah sama tanah gua cuman tempat bakar sampah. Tetap gua ngak bakalan mau ngejual! Lagian nawarnya ngak kira-kira. Loe pikir nih tanah punya nenek moyang loe. Nih tanah punya nenek moyang gua!" tidak capek-capeknya itu mulut lelaki tua menggerutu walau dua tangannya sudah kotor dengan tanah, dua kakinya saja tidak beralas sandal dan seperti tidak takut dengan beling pecahan kaca. 

"Ngak jelas emang tuh!" masih saja menggerutu. 

Terduduk sendirin depan teras rumah, kadang tertawa, kadang bersedih lelaki berwajah tampan, wajahnya tirus, kumisnya tebal memayungi bibir tipisnya. Perawakan lelaki itu sungguh sangat kurus sekali, mungkin ia tidak doyan makan, atau benar lelaki berwajah tampan itu patah hati jadi stres defresi di tinggal kawin pacarnya.

"Tuhkan, Fadli kambuh lagi. Emang ngak jelas!" 

Sepintas pandangan lelaki tua melihat lelaki berwajah tampan itu tersenyum tertawa sendirian berdiri depan rumah. 

Dua tangan lelaki tua itu kemudian mencabut ramput kecil dan di lemparnya, kemudian dua tangannya mencangkul tanah. Seraya hatinya sudah terlalu capek memikirkan dua anaknya yang selalu membuat hatinya kesal, dengan ia menata lahan kosong bekas pembakaran sampah menjadi taman indah setiap harinya, hanya untuk mengurangi beban rasa kegusarannya saja.

***

"Sejak bulan Juli 1997, krisis keuangan yang melanda hampir seluruh Asia Timur. Terjadinya krisis keuangan tahun 1997 juga dipicu oleh anjloknya nilai mata uang rupiah dan membengkaknya angka hutang luar negeri oleh swasta. Krisis keuangan iitu lantas menimbulkan kekacauan dan kepanikan yang turut di rasakan oleh negara-negara ASEAN, salah satunya Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena dampak krisis ekonomi paling parah. Di Indonesia, rupiah menurun drastis yang kemudian mengakibatkan berbagai perusahaan meminjam dollar harus membayar biaya yang lebih besar. Selain itu, para pemberi pinjaman juga menarik kredit secara besar-besaran sehingga terjadi penyusutan kredit dan kebangkrutan. Kepanikan masyarakat jadi kian memperparah dan bertambah saat terjadi kenaikan harga bahan makanan. Tentunya rencana damai mahasiswa untuk melakukan aksi demontrasi besar-besaran harus kita dukung, hanya demi untuk menyuarakan hatinya pada pemimpin dan pejabat di negara ini karena telah gagal mengatasi krisis ekonomi. Tidak hanya krisis ekonomi yang akan di demo mahasisiwa,"

"Tidak jelas!" di tekan kesal tombol kecil tv tabung berukuran besar, tidak lagi ada tayangan berita pagi dari pembaca pemberita. 

Gusar raut wajah duda yang memiliki anak satu itu. Duda itu terduduk sejenak, kerutan dahinya berkerut, jemarinya kanannya padahal ingin sudah meraih gagang cangkir berisi kopi hangat, tapi tidak jadi. Raut wajah gusarnya terlihat jelas dalam layar tv tabung besar, sekali pandangannya menoleh menatap foto dirinya, anak gadis cantiknya dan almarhumah istrinya terpampang pada dinding tembok ruangan tamu. Berkelas, harganya tentu pasti mahal setiap furniture yang tertata rapi di ruangan itu.

Jemari kanannya melonggorkan lilitan dasi warna biru tua agar tidak terlalu mencekek lehernya sampai melorot kebawah, setelan jas warna hitamnya rapi sekali setriakaannya, lihat saja sepasang sepatu hitamnya mengkilap sekali seperti habis di semir.

"Bi Dirah!"

Lihat selengkapnya