Bulan di Bukit

Rafael Yanuar
Chapter #2

Bulan di Bukit

Sehabis menutup tokonya, Theia mengambil sepeda yang diparkir di depan rak paku. Tidak lupa, ia juga meletakkan sekantung buku di dalam keranjang. Ia sudah mandi dan menyimpan apa pun yang diperlukannya di dalam tas ransel kecil—sebenarnya hanya sehelai baju ganti dan peralatan gambar yang bersahaja saja. Jalan desa pada senja hari mulai berkabut, tetapi itu tidak menghalanginya bertualang. Sebenarnya tidak tepat juga kalau disebut bertualang. Sesuatu baru layak diberi predikat petualangan jika kita tidak benar-benar tahu ke mana kita harus menuju, bukan?—atau, kapaupun tahu, kita belum sekali pun mengunjunginya. Namun, ia tahu ke mana ia akan pergi, dan selalu mendatanginya hampir setiap akhir pekan. Hanya saja, karena ia selalu mendapatkan sesuatu yang baru setiap kali mengunjunginya, tak apalah jika ia menyebut kebiasaan kecil ini petualangan.

Sesuatu yang baru yang ia maksud pun sebenarnya tidak dalam arti eksternal, tetapi internal—apa yang ia rasakan, pikirkan, atau alami. Di mata Theia, segala sesuatunya baru. Bahkan langit senja yang sudah ribuan kali dilihatnya itu—juga kabut yang perlahan tumbuh dari dalam tanah—atau sapa ramah setiap kali ia berpaspasan dengan orang-orang yang dikenalnya. Ia selalu ada dalam mode petualangan.

Sejak lahir hingga sekarang, rasanya ia selalu tinggal di desa Kalayangan—ia menganggapnya semacam semesta. Semenjak kakeknya meninggal dua tahun lalu, ia tidak memiliki siapa pun lagi yang dapat disebutnya keluarga. Ia hidup sebatang kara, dan sebenarnya cukup kaya. Kakek mewariskannya tabungan yang jumlahnya cukup besar—ditambah toko bahan bangunan yang umurnya sudah dua puluh tahun lebih—dan dibangun di atas tanah sendiri. Theia pandai mengelola keuangan. Kebiasaan hemat kakeknya juga melekat kepadanya. Ia hampir tidak pernah memanjakan diri dengan sesuatu yang mewah, kecuali buku—jangan salah, ia menganggap tidak ada yang lebih mewah daripada buku. Liburan hanya bisa membawamu ke tempat-tempat yang fancy dan mahal, tetapi buku juga bisa mengajakmu ke ranah misteri yang hanya mungkin dijangkau pikiran—angkasa luar, surga dan tempat satunya, masa lalu, masa depan, masa yang tak pernah ada—segalanya. Ia juga memilih bersepeda daripada mengenakan kendaraan bermotor. Ia hidup sederhana bukan karena harus, melainkan karena itu memang gaya hidupnya.

Hobinya, selain membaca, adalah mencari tempat-tempat tergelap di dunia—yang kebetulan semuanya ada di Kalayangan. Salah satunya adalah bukit yang saat ini akan dikunjunginya. Ia menyebutnya bukit Walden, seperti Kakek dulu menamainya—terinspirasi buku karangan Thoreau. Di dekat bukit itu, ada pondok kecil yang sepertinya milik seorang pertapa, atau biksu hutan, tetapi sudah lama ditinggalkan. Ketika Kakek menemukannya, tidak ada apa pun di dalamnya, kecuali buku Dhammapada yang tergeletak begitu saja di pojok ruangan. Dan setelah yakin tidak ada yang menghuni, ia menambahkan gerendel—agar aman. Pondok itu lumayan lega, dengan satu jendela kecil dan matras yang ia gunakan untuk tidur. Kakek menambahkan satu ruang lagi untuk meletakkan jenset.

Theia mengendarai sepedanya di jalan tanjakan yang berbatu. Ia terengah-engah, tetapi tidak capai. Ia tersenyum. Padahal senja telah berubah menjadi malam dan sebentar lagi rembulan akan terbit dan meninggi. Ia terus saja memasuki hutan dan mendengar rusa, kelinci, dan tikus sawah bergerak di kedalaman hutan. Ia memelankan sepeda dan memandang langit, tapi tidak ada apa pun selain daun-daun. Satu-satunya penerang hanya cahaya purnama yang menyelinap di antara rimbun—dan membuat semuanya jadi seperti di film-film tua. Jalan pun makin lama makin curam. Tetapi Theia sudah mengenal jalan ini sebaik ia mengenal halaman belakang rumahnya sendiri. Ia tidak boleh gentar—atau pikirannya akan kacau dan tak lagi dapat mengingat apa pun. Ia bernyanyi pelan-pelan, sebab tak ingin mengganggu malam yang mulai gemetar.

Theia memandang bunga-bunga liar yang tumbuh di sisi setapak dan karena ia menyukai bunga-bunga, ia tersenyum. Ia memiliki bunga-bunga yang ia sendiri tidak tahu nama-namanya. Ia membelinya hanya karena tertarik pada keindahan dan warnanya. Setiap sudut belakang rumahnya penuh dengan bunga, termasuk di ayunan besi yang dulu dibelikan kakeknya ketika ia masih sangat kecil—sekitar umur satu tahun, beberapa hari setelah orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil dan Kakek mengadopsinya. Ia hampir tidak mengenal orang tuanya dan tidak memiliki kenangan apa pun terhadap mereka, tetapi hampir setiap hari, setelah Theia sanggup berkata-kata, kakeknya menceritakan betapa cantik mamanya dan betapa bijak papanya. Ia tidak yakin semua yang diceritakan Kakek benar adanya. Kakek adalah seorang pendongeng—dan pemimpi. Terkadang ia sendiri tidak tahu mana cerita yang nyata, dan mana yang rekaan belaka—dan baginya itu tidak penting lagi. 

Tetapi, daripada cerita tentang orang tuanya, Theia justru lebih senang mendengar curahan hati kakeknya.

Kakek tidak benar-benar ingin menjadi seorang pedagang. Ia ingin menjadi musisi dan sudah menciptakan begitu banyak lagu. Ia sangat ingin merekam lagu-lagunya dalam album—dan sudah menciptakan dua puluh album. Ia sangat produktif—andai saja dunia mengetahuinya. Tujuan semula ia berdagang pun karena ingin mengumpulkan uang untuk menyewa studio rekaman, tetapi hingga ia menjadi pedagang sukses—bukan karena bakat, murni ketekunan belaka, Tapi mungkin itu pun adalah bakat, kata kakeknya—ia tak kunjung meluluskan niatnya. Selalu ada hari esok, katanya, dan tahu-tahu hari itu menjadi bulan, kemudian tahun, kemudian dekade. Tahun-tahun berlalu dan tahu-tahu, tanpa kita sadari, tidak ada yang tersisa. Jadi, kalau ada yang mau kaulakukan, lakukan sekarang juga. Hari esok tidak selalu ada. Kakeknya juga tekun menulis. Apa saja ditulisnya. Puisi, cerpen, novel, buku harian. Selain buku harian, semua tulisannya fiksi, dan berlatar di desa Kalayangan, dan hampir semuanya bergenre potongan kehidupan—atau slice of life. Karena tidak ada penerbit yang berkenan menerbitkan, ia mencetak buku-bukunya dan menyimpannya di lemari. Ia sudah cukup senang saat memandanginya. Theia merasa, sifat santai dan nrimo kakeknya menurun juga kepadanya. Ia begitu mudah dipuaskan dan tidak ngoyo mengejar pengakuan.

Tapi, berbeda dengan kakeknya, Theia tidak tahu apa yang sebenarnya ingin ia lakukan. Ia sudah nyaman dengan hidupnya, dan meski ribuan buku pengembangan diri menyarankannya untuk keluar dari zona nyaman, ia tidak merasa perlu melakukannya. Ia juga tidak tahu apa manfaatnya mengejar zona nyaman lain hingga harus merelakan zona nyaman yang sudah diakrabinya. Ia selalu merasa cukup—bahkan berlebih—ia mencintai rumahnya, pekerjaannya, tetangga dan teman-temannya. Ia mencintai kotanya, dan di atas semuanya ia mencintai saat ini. Ia juga tidak tahu apa perlunya jalan-jalan, terlebih ketika ia tahu, kepunahan sebagian besar amfibi disebabkan kebiasaan manusia berpindah-pindah tempat. Ketenangannya sempat terganggu ketika Kakek meninggal. Ia menangis berhari-hari, ia menangis sembunyi-sembunyi, tetapi pesan-pesan yang ditinggalkan Kakek juga dengan cepat menyembuhkannya.

Theia berhenti membaca buku-buku pengembangan diri semenjak berjumpa dengan The Secret karya Rhonda Bryne—dan, setelah selesai membacanya, ia mulai tertarik pada Hukum Tarik-menarik yang menurutnya masuk akal, tetapi seharusnya tidak hanya berlaku untuk hal-hal yang bersifat material. Ia menganggap dapat memanfaatkan hukum itu untuk hal-hal yang lebih bersifat spiritual. Ia tidak tahu dari mana harus memulai, tapi—seperti kata Rumi—saat ia melangkah, jalan terbuka dengan sendirinya. Jalan itu mengantar Theia untuk mengganderungi buku-buku New Age seperti Manuskrip Celestine karya James Redfield dan Conversation with God karya Neale Donald Walsh—hingga akhirnya terjebak—dalam jebakan yang indah—pada Tradisi Timur—Buddhisme, Vedanta, Zen, Konfusian, Lao Zi, dan Yi Jing. Ia mempercayai jiwa—atau sesuatu yang bertahan ketika tubuh akhirnya menyerah; apa pun namanya itu; Buddha menyebutnya arus kesadaran, agama lain menyebutnya Jiwa—tapi bukan karena bacaannya berhubungan dengan itu, melainkan karena ia mengalaminya sendiri. Ia sering melihat arwah-arwah yang bergentayangan saat malam mulai menjelang, tapi ia sendiri tidak tahu apakah tepat menyebut mereka arwah gentayangan, sebab mereka tidak terlihat gentayangan—seringkali sama wajarnya dengan semua orang lain—hanya saha tubuh mereka terlihat tembus pandang. Beberapa arwah tidak terlihat seperti manusia—dan ia tahu (bukan hanya yakin) arwah-arwah yang bukan manusia berusia jauh lebih tua. Ada yang berbentuk abstrak seperti benang-benang yang merenangi angkasa. Ada yang seperti layang-layang. Ada pula yang seperti serangga. Ketika ia menceritakannya kepada Kakek, ia berkata ada kemungkinan yang Theia lihat adalah Roh-Asali sebelum memasuki tubuh.

Apakah itu jiwa, Kek?

Bukan. Mereka sahabat dari jiwa. Tetapi bukan jiwa. Jiwa sendiri jauh lebih tua daripada Roh-Roh Awali—atau segala yang ada. Jiwa adalah sesuatu yang tetap, yang tidak berubah, tercipta, ataupun musnah, tetapi Roh hanya mempunyai satu wadah dan identitas. Ketika seseorang meninggal, jiwanya akan pergi menempati wadah lain yang baru dan menjadi sesuatu yang baru dan dengan ditemani roh yang baru juga, sementara roh yang lama tetap melayang-layang di dunia ini dalam identitas lamanya—tentu hingga batas waktu tertentu, tergantung seberapa kuat keterikatannya terhadap dunia ini—tetapi biasanya tidak lebih daripada seratus tahun—dan itulah sebabnya, kita tidak pernah melihat hantu manusia purba atau sesuatu yang berasal dari zaman yang telah lampau jauh. Kamu mengerti? Kakek agak susah menjelaskannya.

Theia berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Jadi, singkatnya, setelah Theia meninggal, roh Theia akan tetap sebagai Theia, sementara jiwa Theia akan menjadi sesuatu yang lain—yang bukan Theia?

Lihat selengkapnya