Ketika ia membuka mata, langit masih berwarna nila, dan tidak seperti di rumahnya, tidak ada suara ayam yang berkotek-kotek atau kukuruyuk seperti yang biasanya ia dengar kali pertama terjaga. Ia tidak langsung menyadari di mana tempatnya berada. Ketika kesadarannya berhasil membuatnya ingat, ia kembali merebahkan kepalanya ke atas bantal dan memejamkan mata. Ia menenangkan jantungnya yang berdegup kencang, akibat mimpinya semalam. Ia yakin masa-masa sekolah—terutama SMA—adalah salah satu masa terindah yang ia alami, tetapi, bahkan setelah bertahun-tahun lulus, ia selalu mengalami mimpi buruk yang berlatarkan dinding-dinding kelam di kelas yang bukan kelasnya dan di gedung sekolah yang bukan sekolahnya—dan tempatnya selalu sama, di ruang ujian yang hampir tanpa jendela, tanpa pohon mangga besar yang biasanya ia pandangi saat masih mengenakan seragam putih abu-abu, yang membuatnya tidak fokus mendengar perkataan guru. Ia ingat Ibu Lestari, guru bahasa Indonesianya, yang membuatnya jatuh cinta kepada bahasa, yang salah satu wejangannya masih Theia ingat dan pegang—kita berpikir dengan menggunakan bahasa—pernah menyelipkan selembar kertas yang berisi tanya, Apa yang kaulihat di sebarang sana? Tapi dalam mimpinya, tidak ada guru atau teman yang dikenalnya. Ia berhadapan dengan selembar kertas ujian, tapi tidak tahu apa pertanyaannya—dan tidak tahu apa jawabannya. Namun, jauh di lubuk hati, ia tahu ia seharusnya tahu, dan itu membuatnya merasa kewalahan dan tidak berdaya, dan perasaan itu terbawa hingga ia terjaga. Ini sudah sering dialaminya, dan ia enggan mencatatnya lagi. Ia biarkan saja buku mimpi yang ia simpan di bawah bantal tidak tersentuh. Hujan masih merenjis di jendela, tetapi hanya menyisakan gerimis yang ritmis, dan di balik suara hujan ia dapat mendengar kicau burung-burung yang masih terkantuk-kantuk di dahan, dan ia bertanya-tanya apakah burung-burung juga bermimpi? Ia meneteskan air mata dan menangis, dan membiarkan saja air matanya berjatuhan di pipi dan bantal. Di dalam pondok hanya ada materas yoga yang cukup tebal yang beberapa bulan lalu ia bawa dari rumah. Kasur besar yang dulu diletakkan di dalam pondok sudah lapuk dan tidak dapat dipakai lagi—dan dengan hanya materas yang mengisi pondok, ruangan di dalam menjadi terasa sangat lega.
Ia menyalakan lampu dan seketika saja cahaya jingga yang memancar lembut melalui bohlam mengisi seluruh ruang. Ia membaca buku mimpinya—dan menemukan mimpi terakhirnya—ia berayun-ayun begitu tinggi di ayunan dengan latar belakang mendung yang pekat, dan ia sangat ketakutan, tetapi ia tidak dapat berhenti, dan tidak dapat mengendalikan ayunan, ia berusaha melihat siapa yang mengayunkannya, tetapi tidak dapat melihat siapa-siapa. Ayunan itu mengayun sendiri. Ia membolak-balik halamannya, sudah beberapa minggu berselang, mimpinya selalu buruk dan menggelisahkan, ia ingin bertanya kenapa, tetapi kepada siapa, tapi ia juga enggan mengadukannya kepada terapis, sebab harus berkendara jauh ke kota. Barangkali hanya buah pikiran, barangkali ia hanya terlalu banyak menimbang-nimbang dan membandingkan. Ia memutuskan untuk berpuasa, siapa tahu perut yang bersih dan sedikit kosong dapat meredam pikiran. Ia juga berubah pikiran dan memutuskan untuk menulis mimpinya semalam, tetapi hanya satu paragraf sederhana.
11 Desember
Pondok Walden
Sekitar pukul 4.00
Aku berada di ruang kelas, mengerjakan soal ujian, tetapi aku tidak tahu pertanyaan ataupun jawabannya. Aku gelisah. Sepanjang ujian, aku hanya mengerjakan satu soal, yakni esai nomor satu—Sebutkan tragedi dalam dunia seni!—yang jawabannya ada di pilihan ganda. Tetapi saat aku terjaga, barulah aku menyadari, jawabanku tidak ada hubungannya dengan seni, tapi olahraga. Aku menulis nama-nama atlet yang meninggal saat tampil—perenang, pesepakbola, dan petinju. Tidak ada hubungannya dengan seni sama sekali. Perasaan yang aku alami sepanjang mimpi adalah gelisah.
Theia membuka pintu pondok dan berjalan di antara rerumputan. Di dekat pondok ada pohon bisbul dan dewandalu; buah-buahnya yang berwarna kemerahan berjatuhan di rerumputan. Sebagian sudah rusak, sebagian lagi dimamah ulat, tetapi ada beberapa yang masih bagus, dan ia memungut tiga bisbul untuk dijadikannya menu sarapan sekadarnya, dengan secangkir kopi. Karena termos yang dibawanya sudah mendingin, ia memanaskan isinya dengan kompor minyak, di dalam wajan yang sudah penyok di sana-sini, tetapi bagian dalamnya belum berkarat. Ia menuangkan air yang sudah mengepul itu ke tutup termos dan menambahkan Kapal Api Mix tanpa mengaduknya, kemudian membuka buah bisbul. Daging buahnya berwarna putih-kekuningan dan teksturnya seperti keju. Manis seperti apel, tetapi lebih ringan. Kulit buahnya berbulu seperti kesemek.