Ia memandang hutan di dekat rumah Peri yang terasa purba dan tua—lebih purba dan tua daripada hutan mana pun di Kalayangan—dan baunya pun, bahkan dari jarak sejauh ini, terasa pekat. Tetapi bukan bau yang memuakkan, yang membuatmu menutup hidung rapat-rapat hingga pengap, melainkan wangi yang merebak dari humus yang terkumpul selama ratusan tahun di seantero hutan. Ada banyak rimba dan belantara yang mengelilingi desa—dan itu membuat tempat ini seperti terisolasi dari dunia—seperti Bhutan, kata Theia. Tapi hanya ada satu jalan besar yang menghubungkannya dengan kota Terawang. Jalan itu juga dilewati bus-bus, hanya saja untuk mencapainya, butuh tiga kali berganti angkutan kota, yang jumlahnya pun jarang-jarang. Theia kembali memandang hutan tua itu. Ia sudah agak jauh dari rumah Peri, dan sebenarnya ingin kembali mengunjunginya, sekadar berbincang singkat. Ia hanya punya waktu pada akhir pekan, ketika tokonya tutup. Tetapi pada akhirnya ia memutuskan pulang. Ia berencana mengunjungi toko buku itu lagi saat sore menjelang, sehabis Misa. Tapi bukan sebagai pelanggan, melainkan tamu atau teman—tapi mungkin juga ia akan membeli buku. Ia dulu lumayan sering menginap di rumah Peri. Peri pun sering menginap di rumah Theia, dan tidak jarang juga jalan-jalan bersama, pun dengan Rion dan keluarga Kokoh Rafa. Sebagai anak gunung yang sepanjang hari, bulan, dan tahun melihat pepohonan dan menghidu wangi dedaunan, tentu saja wisata favorit mereka adalah pantai yang hangat dan berpasir. Jarak yang harus ditempuh untuk menuju pantai itu cukup jauh—sekitar lima jam—dan harus pula terpotong mampir membeli makan. Mereka menggunakan dua mobil. Mobil Kokoh Rafa dan Kakek.
Pohon-pohon raksasa yang tinggi besar merindangi seluruh hutan itu. Di balik pohon-pohon, ada pohon-pohon lain, dan di balik pohon-pohon itu, ada pohon-pohon lainnya lagi. Sejauh apa pun—dan selama apa pun—kau berjalan, hanya pohon-pohonlah yang bisa kautemukan, lengkap dengan segala penghuninya—ribuan jamur, lumut, kumbang kayu, tempayak, cerpelai, musang pinus, rakun, luak, lingsang, rubah, kucing liar, serigala, menjangan, rusa, dan burung elang. Tidak ada rumah atau jalan. Kata Peri, kalau malam menjelang, dapat kaudengar lolong serigala yang semakin lama semakin dekat. Dulu, ia selalu takut mendengarnya, seolah-olah serigala itu akan menghampiri rumahnya dan masuk lewat jendela, dan ia hanya si kecil bertudung merah, tetapi Nenek menenangkannya. Meski jarak hutan hanya selemparan batu dari rumahnya, Peri tidak berani memasukinya. Theia pun begitu, tetapi ia penasaran, apakah ada tempat tergelap di hutan itu. Kalau ada, itu pasti akan menjadi yang tergelap di desa ini. Peri selalu menanggap hobi Theia mencari kegelapan sebagai sesuatu yang ganjil—ia terlalu sopan untuk menyebutnya aneh—ia sendiri takut gelap, dan selalu menyalakan setidaknya sebuah lampu sebagai penerang saat udara mulai kehilangan cahaya—dan di tepi hutan seperti ini, itu bukan sesuatu yang mustahil terjadi.
Hanya ada sedikit rumah di jalan Gereja, selain Stasi Santo Ignatius yang sudah berdiri sejak lama sekali—konon sejak zaman Belanda—hanya ada sekitar enam rumah lain yang jaraknya berjauhan, salah satunya rumah Peri yang terlihat tua dan dindingnya sudah sedikit kecokelatan sebab menyerap unsur hara dari tanah tempatnya berpijak. Namun, meski terlihat rengkah dihisap cuaca, rumah itu masih anggun berdiri, dan justru karena warnanya yang tua itu, bangunan itu jadi tidak terasa terpisah dari lingkungan di sekitarnya—seperti bagian dari hutan saja. Karena pasar ataupun toko kelontong jaraknya cukup jauh, Peri dan rumah-rumah lain menanam sendiri sayur-mayur yang dapat ditanam, dan saling berbagi hidangan setiap harinya. Dan karena posisi Peri sebagai anak yatim piatu, tumbuhlah perasaan kasihan dan kewelasasihan di antara tetangganya—apalagi yang anak-anaknya sudah merantau ataupun menikah—bahkan ada pula yang menjodohkannya dengan putera mereka—tetapi Peri agaknya masih menunggu, entah apa—atau siapa. Ia mendapatkan banyak sekali makanan, tak jarang malah lebih daripada yang sanggup ditampung perutnya, tetapi untuk menolak ia merasa tidak enak. Akhirnya para tetangga itu tahu sendiri, dan dengan berat hati memberikan secukupnya saja. Sekadarnya saja.
Namun, adakalanya Theia menemukan Peri di pasar, biasanya ia datang pagi-pagi benar, memilah-milah jeruk atau apel dan memilihnya dengan sangat telaten, satu per satu, di kios buah langganannya. Ia terlihat memperhatikan setiap sisi buah seolah ingin segalanya sempurna—simetris. Ketika Theia menanyakan alasannya, katanya buah-buahan itu akan dijadikannya objek untuk belajar menggambar. Aku mempunyai banyak waktu luang, jadi sesekali aku mencoba menggambar juga. Jika aku menemukan buku tutorial menggambar, aku menyimpannya untukku sendiri—dan mencoba mempraktikkannya perlahan-lahan. Siapa tahu lama-lama jadi pandai. Theia ingat, semasa muda Peri bercita-cita menjadi penyanyi dan sudah lihai memainkan gitar saat ia masih kelas lima Sekolah Dasar. Ia mulai mencipta lagu-lagunya sendiri untuk direkamnya dengan walkman—dalam kaset pita kosong—yang sampul depannya ia gambar, tetapi ia tidak pandai menggambar, jadi apa yang dimaksudkan sebagai bulan malah terlihat seperti balon. Mungkin itu sebabnya ia berusaha belajar melukis juga, sekalipun secara autodidak. Sekarang sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu sejak ia belajar menggambar, tentu buah tangannya berkembang dibanding saat ia masih kecil—dan dugaan Theia tidak keliru, saat ia melihat lukisan Peri, mau tak mau ia merasa bangga.
Ketika Theia kembali mengendarai sepedanya, langit yang sejak tadi dipenuhi awan, mulai berwarna gelap, seperti malam akan tiba, padahal pagi saja belum benar-benar berlalu, kelabunya menua, dan siap menumpahkan hujan kapan pun ia mau, dan ketika Theia melihat sambaran petir, secara otomatis ia menghitung dalam hati—satu dua tiga—dan ketika gemuruh akhirnya terdengar, ia mengira-ngira kapan hujan akan sampai di sini. Ia mendengar suara cengkeret dan jangkrik yang hinggap di pepohonan sepanjang jalan, semakin lama semakin riuh, disusul suara katak yang seharusnya masih tidur di rawa-rawa. Theia mempercepat kayuhannya, tetapi setelah jalan menurun yang cukup panjang dan tidak terlalu curam, akan datang jalan menanjak yang mengharuskan ia memperlambat laju roda agar tidak cepat lelah. Satu-satunya olahraga yang dilakukannya hanya bersepeda, itu pun jarang-jarang, jadi ia harus sangat hati-hati menjaga napas. Dulu ia sangat takut kepada petir, dan setiap kali petir menyambar-nyambar—dan di desa Kalayangan, itu bukan hal yang jarang terjadi—ia selalu meringkuk di dalam selimut. Ketika orang tuanya meningga, petir menyambar mobil mereka dan menciptakan kilatan yang seribu kali blitz kamera, dan itu membuat pandangan ayahnya merabun. Ia menekan rem, tetapi terlambat, mobil itu menyeruduk truk di depannya dengan kencang. Setelah itu, mereka dilarikan ke rumah sakit terdekat—di pelabuhan—dan mendapatkan penanganan seadanya. Satu-satunya yang selamat tanpa kurang suatu apa, adalah Theia yang duduk di bangku belakang. Semenjak bersentuhan dengan Maut, Theia dapat melihat arwah, tapi melupakan apa pun yang terjadi sebelum itu, termasuk kedua orang tuanya. Kakeklah yang banyak bercerita seperti apa ayah dan ibunya, tetapi ia tidak benar-benar percaya—atau kalaupun ia percaya, ada benih ketidakpercayaan dalam kepercayaan itu, dan meskipun benih itu kecil, mungkin hanya sebesar biji sesawi, bukan tidak mungkin akan tumbuh menjadi pohon raksasa, yang daun-daunnya menjilati langit. Di jalan menurun itu, Theia mendengar rantai sepedanya yang tidak dikayuh, juga angin mengembus daun-daun di pepohonan. Rambutnya yang berwarna kecokelatan sebahu berantakan tertiup angin. Keranjang sepedanya penuh dengan barang—sebenarnya hanya sekantung buku yang baru saja dibelinya. Ia mengenakan tas ranselnya yang juga berisi laptop kecil.
Ia tersenyum.