Bulan di Bukit

Rafael Yanuar
Chapter #4

Toko Buku Kecil dan Kenangan (2)

Ia mendapati Peri duduk di halaman depan tokonya seraya membaca sebuah buku yang luar biasa tebal, bersampul keras, dan berwarna merah menyala dengan gambar karikatur pada kovernya. Ia mengenali buku itu—The Complete Short Stories of Ernest Hemingway. Ia mempunyai satu ekslempar di rumah, tetapi menyerah membacanya. Tetap saja, ia menaruh buku itu di tempat yang mudah dilihat, agar setiap kali ia menjenguk rak bukunya, ia terprovokasi untuk membacanya, atau paling tidak mencicil satu cerpen setiap ada kesempatan (atau, lebih tepatnya, kemauan). Ia sangat ingin menikmati Ernest Hemingway sebab buku-bukunya cukup mudah ditemukan dan terjemahannya pun berlimpah—dari penerbit yang terpercaya hingga yang ia masukkan daftar hitam. Ia jadi ragu untuk meluluskan niatnya mengunjungi rumah Peri. Ia tidak ingin mengganggu Peri yang asyik masyuk dalam bacaannya. Ia sendiri tidak suka diganggu jika tengah mengalir bersama buku yang direnanginya—dan terkadang, jika sudah begitu, butuh waktu yang tidak sekejap untuk menemukan kembali pijakannya di daratan. Itulah pula yang membuatnya tidak khawatir ketika toko yang dikelolanya memasuki masa paceklik dan sepi pembeli—biasanya saat musim nandur atau panen, sebab para konsumen yang sebagian besar berprofesi sebagai petani tengah hibuk di sawahnya masing-masing—dan jika masa itu datang, adakalanya dalam sehari hanya satu dua pembeli yang berkunjung. Untuk mempersiapkan masa paceklik, ia akan melunasi sebagian besar utang piutang toko dan menikmati masa damai yang tidak setiap hari ada. Ia benar-benar menjadi sangat santai—membaca buku, meditasi, dan melamun. Ia seketika saja menemukan waktu yang begitu luang untuk tidak melakukan apa-apa, lepas dari jerat angka dan kesibukan. Saat ia hendak pergi diam-diam, rupanya Peri melihatnya dan menutup buku itu, kemudian memanggilnya—setengah berseru kepadanya.

Tata!

Peri langsung mendekatinya dan menyuruhnya memasuki halaman toko yang dalam sekilas pandang tidak terlihat seperti toko sama sekali, tapi rumah yang sekalipun besar, terlihat bersahaja—seperti bangunan yang mungkin akan ditinggali seorang penyair desa—dan memang cocok untuk Peri, yang selalu mengenakan busana seperti poncho—apa pun cuaca hari itu—yang saat ini berlari riang dengan sedikit melompat—sepertinya hendak mengambil sesuatu di dapur untuk menjamu temannya. Peri dan Theia senasib, hidup sebatang kara, tapi apa yang menimpa Peri jauh lebih rumit, sebab orang tuanya masih hidup, dan berusaha merebut satu-satunya peninggalan neneknya yang tersisa—toko buku dan segala yang ada di dalamnya. Itu bangunan yang cukup besar dan terdiri dari tiga lantai yang setiap lantai dipenuhi buku—kecuali lantai tiga yang hanya berisi ruang kosong.

Ia selalu suka dipanggil Tata. Biasanya orang-orang memanggilnya Ncik Tei—pembeli di toko dan karyawan-karyawannya—atau Teya. Ia berkali-kali memberengut dan memperingatkan orang-orang untuk tidak memanggilnya Tete. Hanya Peri yang masih memanggilnya Tata, seperti teman-teman sekolahnya dulu, dan setiap kali ada seseorang yang memanggilnya begitu, ia merasa semingrah—seolah-olah kemudaannya kembali. Bahkan dalam surat-suratnya, Rion memanggilnya Theia, dengan pelafalan yang benar, yang tidak menjadi Teya, yang ada H-nya. Akan tetapi, ia sudah tidak terlalu gelisah lagi menyandang nama yang dahulu ia anggap berat itu.

Barulah setelah ia sampai di rumah Peri, Theia menyadari bahwa sekarang masih pukul 08.00—pantas saja Misa belum selesai. Tetapi saat ia memasuki halaman, ia dapat melihat para jemaat sudah selesai beribadat, dan Peri bersiap-siap menyambut beberapa yang mendatangi tokonya. Ia mendapat beberapa pembeli yang memborong banyak sekali buku, barangkali ada beberapa yang membeli karena welas asih sematau, tetapi beberapa di antaranya memang sangat menyukai kurasi yang dilakukan Peri. Ia meletakkan buku-buku yang direkomendasikannya dalam satu rak besar—sisanya, yang kurang ia kenal atau sukai, di rak lainnya. Ia juga membagi buku-buku itu berdasarkan genre (fiksi atau nonfiksi) dan subgenre (filsafat, fantasi, pengembangan diri, puisi, dan lain sebagainya), sehingga mempermudah pembeli untuk mencari. Ia merawat setiap buku; mengelapnya dari debu-debu; menjilid ulang sampul yang rusak. Karena ia pembaca juga—dan, menurut Theia, Peri pembaca yang rakus—setiap kali buku-buku yang disukainya berpindah tangan, ia jadi ikut terenyuh.

Kalau kamu memang menyukainya, bukankah lebih baik disimpan sendiri saja?

Kalau begitu, hanya ada sedikit sekali buku yang bisa aku jual, tetapi tidak apa-apa, kok, aku hanya sedikit terenyuh, seperti berpisah dengan sahabat baik. Bagaimanapun, aku dapat berjumpa dengannya lagi. Lagi pula, buku-buku bagus tidak pernah berhenti terbit. Tetapi memang adakalanya aku menyimpan buku-buku itu untuk diriku sendiri—buku-buku yang terlalu aku sukai hingga rasanya seperti kelekatan. Jumlahnya tidak sampai satu lemari—dan tidak harus buku langka. Sebagian di antaranya murah dan mudah didapat. Semuanya ada di kamarku.

Peri menyukai buku-buku tebal, semakin tebal semakin baik, katanya. Ada kalanya ia berpergian seorang diri untuk berburu buku-buku bekas, dan di tas ranselnya ada dua hingga tiga buku tebal yang mengisi terlalu banyak ruang. Ia tidak membaca semuanya, bahkan satu pun sebenarnya lebih dari cukup, sebab ia tidak pergi terlalu lama, paling lama hanya tiga hari, tetapi buku-buku itu membuatnya merasa aman.

Karena bisa dijadikan senjata?

Peri tertawa. Ya—tetapi tidak juga. Aku tidak akan kuat mengayunkan buku-buku berat itu, dan mungkin ayunanku yang lemah tidak berdampak apa-apa terhadap seseorang yang berniat tidak baik kepadaku—itu pun jika ada, tapi semoga tidak ada. Aku hanya seperti membawa banyak teman, dan karena itu tidak lagi kesepian.

Banyak pengunjung yang mengenal Theia dan menyalaminya. Theia mengobrol sebentar dengan beberapa di antaranya. Ia tidak begitu suka menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kabar—Apa kabar?—sebab itu mengharuskannya untuk berbohong. Terlebih lagi, penanya mengharapkan hanya satu jawaban. Kabar baik. Padahal ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia tidak tahu sejauh apa baik dapat dikatakan baik. Ia tidak benar-benar mengerti, tetapi juga takut menyelidiki jantungnya sendiri dan menemukan bahwa katupnya menutup, sehingga ia menjawab kabar baik dan mendapati orang-orang tahu ia berdusta. Kemudian, ia harus pula bertanya balik, Apa kabar? Ia lebih suka pertanyaan yang berhubungan dengan bahan bangunan. Berapa harga dolken sekarang? Ada besi ulir? Atau mendiskusikan mana yang lebih baik; bata merah atau hebel; usuk atau holo? Padahal berdagang bukan hal yang benar-benar ingin ia lakukan—bahkan awalnya ia membencinya, sebab teringat pada novel Dan Damai di Bumi karya Karl May, yang menganggap pekerjaan ini tidak sesuai dengan intelektualitas—tetapi kebiasaan membuatnya lincah, dan ia juga tidak dapat memungkiri bahwa berdagang membutuhkan ilmu juga. Ia harus memahami psikologi pembeli, melihat apa yang benar-benar mereka inginkan, dan apa yang mereka butuhkan, seperti apa mereka ingin dilayani, dan dengan mencari tahu siapa pembelinya, ia dapat bermain-main dengan harga. Jika dalam penilaiannya si pembeli tidak terlalu rewel, ia bisa memberikan harga yang murah, tetapi jika ia pembeli yang lihai menawar, Theia akan menaikkan harganya sedikit. Berdagang bukan sekadar proses jual beli, tetapi juga melibatkan tarian—seni. Ia menjawab setiap pertanyaan dengan panjang lebar tetapi tetap jelas. Karena sudah terbiasa membaca dan menulis, ia mampu menyusun kata-kata yang sistematis—mudah didengar dan dipahami.

Di meja depan sudah tersaji sepiring kue kukis buatan sendiri yang masih mengepul dan secangkir kapucino yang harumnya semerbak, tetapi belum sempat dimakan ataupun diminum. Ada dua untuk masing-masing Theia dan Peri. Barulah setengah jam kemudian, toko kembali sepi dan mereka dapat duduk berhadap-hadapan. Peri selalu begini setiap kali Theia datang, menjamunya dengan makanan kecil dan minuman hangat, meneruskan tradisi yang sudah dilakukan Nenek Hora. Beberapa bulan lalu, Theia berkata untuk tidak usah repot-repot, ia toh hanya mampir sejenak untuk membeli buku—siapa tahu ada buku-buku yang menarik minatnya. Peri yang sudah paham betul selera Theia, selalu menyimpan buku-buku yang sekiranya disukai sahabatnya itu, tetapi tidak terang-terangan mengatakannya. Ia hanya mengaku belum sempat memilahnya. Namun, tentu Theia sudah curiga, sebab buku-buku yang belum dikurasi Peri sangat cocok dengan seleranya. Theia memang hemat dan cenderung sederhana, tetapi soal buku, ia tidak menahan diri—terlebih buku bekas, yang tidak selalu ada, apalagi kalau langka, yang, menurut otak ekonomis-nya, dapat dijual lagi dengan harga lebih tinggi. Hingga sekarang belum ada kondisi yang mengharuskannya menjual buku-buku koleksinya—dan ia bersyukur karenanya—tetapi suatu saat nanti, barangkali ia harus. Meski sudah ditentang Theia, Peri berkeras untuk tetap menyajikan hidangan bersahaja untuk sahabatnya itu—Bukan untukmu, melainkan lebih untuk diriku, katanya—sebab, hanya dengan begini saja ia dapat merasakan kehadiran Nenek Hora ataupun Eyang Mika—kakekda Theia.

Peri menganggap Eyang Mika eyangnya sendiri. Theia menyayangi Nenek Hora seperti neneknya juga—nenek keduanya setelah Nenek Mika, yang meninggal saat ia berusia sepuluh tahun. Hanya Peri yang memanggil Eyang Mika eyang, Theia tidak. Theia memanggilnya Akong—tetapi dalam tulisan-tulisannya, ia mengubah panggilannya menjadi Kakek dan Nenek saja—ia juga mengubah panggilan Mami dan Papi yang tidak dikenalnya menjadi Ibu dan Ayah. Sepertinya ia terpengaruh saat membaca buku Kenang-kenangan Orang Bandel—autobiografi H. Misbach Yusa Biran—yang malu menggunakan istilah Mami dan Papi yang menurutnya adalah panggilan anak Belanda kepada orang tuanya. Setelah Kakek dan Nenek meninggal, selama beberapa waktu, hubungan Theia dan Peri menjadi sedikit renggang, seolah ada dinding yang diciptakan entah oleh dan untuk siapa, yang menghalangi mereka untuk berjumpa—dan kalaupun pada akhirnya mereka berjumpa, entah bersitatap di Gereja atau toko buku, mereka tidak lagi seakrab dulu. Mungkin karena hubungan itu begitu dekat, hampir seperti saudara—mereka sudah saling mengenal sejak masih kanak-kanak, bahkan sejak Theia dapat mengingat, hanya ada sedikit masa di mana ia belum mengenal Peri—adakalanya mereka merasa perlu menarik diri. Begitupun sekarang, saat Peri ada di hadapannya dan menyajikan kue-kue seperti yang dilakukan Nenek Hora bertahun-tahun lalu, ia hanya diam saja menyantapnya, sambil sesekali berkata enak, padahal Peri sepertinya sudah kembali seperti sediakala, seperti yang dulu ia kenal, yang ceria dan gampang tersenyum, yang berkata dengan jemawa, Tentu saja!, untuk membalas pujian Theia. Theia menyantap kue-kue kukis yang masih hangat itu. Matanya menerawang, tapi tidak sepenuhnya kosong. Pujian yang dilontarkannya bukan basa basi belaka, kukisnya memang enak—sangat enak malah—terlebih karena masih hangat, sehingga teksturnya lembut dan rasanya tidak—atau belum—terlalu tajam. Tanpa sadar air matanya membasahi pipi. Ia tidak tahu bahwa dirinya menyukai kue-kue yang masih hangat, yang masih lembut saat dikunyah. Ia berkata maaf berkali-kali ketika tak sanggup membendung air matanya. Ia menangis tersedu-sedu—sedunya pun bukan rintik-rintik, melainkan gerimis yang semakin lama semakin deras. Peri bingung harus melakukan apa, dan hanya berkata eh ah, sambil menggerak-gerakkan tangannya. Ia berlari ke dalam ruangan untuk mengambil selembar tisu. Peri seperti seorang ibu yang terkejut mendapati anaknya terluka, ia mencari tahu mana yang sakit, tetapi Theia malah tertawa kecil. Tidak apa, katanya. Aku malah lega bisa menangis. Terima kasih.

Ka-kamu butuh pelukan?

Theia mengangguk. Ya. Peluk aku.

Lihat selengkapnya