Theia duduk di samping jendela sambil memain-mainkan anak rambut di pelipisnya, hujan yang bertambah deras dan memutihkan seluruh jalan menjebaknya di sini. Karena tidak ada lagu yang diputar di audio ruangan, kipas listrik yang meraung gemetar terasa cukup sebagai pengganti. Meski hujan bertambah deru, dan bagian gerbang yang dulu terhubung dengan tempat kayu dipenuhi anjing, banyak pula yang datang berteduh, beberapa menggunakan sepeda seperti Theia, dan beberapa lainnya motor. Ada yang berteduh hanya untuk mengenakan jas ponco, ada pula yang sambil bermain dengan beberapa ekor anjing yang sudah dikenalnya. Tapi ada pula yang memasuki ruangan dan memesan makanan. Karena sepertinya sudah terlalu siang untuk memesan bubur, beberapa menu yang hilir mudik dibawa Yuk Mumun bervariasi, antara cap cay, nasi goreng, puyunghai, bihun goreng, dan kuetiaw. Tidak ada pelayan lain selain Yuk Mumun. Biasanya Taci Toko juga ikut membantu. Tetapi untuk urusan dapur, hanya Ko Ahong yang mengerjakan, sehingga untuk menyelesaikan satu menu, ia membutuhkan waktu yang cukup lama.
Entah apa alasan Ko Ahong tidak menambah bala bantuan, mungkin karena membuka restoran ini sekadar proyek isengnya. Tetapi, untuk disebut proyek iseng pun ia kelewat rajin. Jarang libur. Ia bisa buka hingga pukul 22.00, tetapi pada hari Minggu ia membatasi jam bukanya hanya sampai pukul 15.00. Ketika telur ceplok Kalimantan terkenal, ia ikut pula membuatnya—lagi pula apa susahnya membuat telur ceplok—dan selama beberapa waktu menjadi menu andalan di restoran kecil itu.
Karena Ko Ahong kembali sibuk memasak, udara panas dari dapur menyelinap ke ruang makan, dan menghangatkan seantero sudut. Aromanya pun semerbak, tetapi Theia sudah kenyang, dan ia menyesal hanya menyantap bubur. Harusnya ia memesan nasi goreng saja. Nasi goreng Ko Ahong berbeda dengan nasi goreng kakilima, lebih sedikit kecap manis dan terasa sekali minyak ikannya, juga ada beberapa ekor udang yang ditambahkan sebagai toping—jika kamu memesan nasi goreng sea food, selain udang, ada pula potongan daging cumi-cumi. Theia jarang memakan olahan daging, tetapi bukan vegetarian. Setelah Kakek meninggal, ia sempat mencoba-coba menjadi seorang vegetarian / vegan, tetapi tidak bertahan lama. Namun, usahanya mengurangi makan daging berhasil.
Theia mengambil buku-buku yang baru saja dibelinya di toko buku Peri dan membaca Lust for Life. Di sisi-sisi buku ada paku yang ditancapkan agar kertas tidak bercopotan. Ia berhasil menamatkan bab Prolog yang berjumlah 37 halaman. Saat hujan tinggal hanya menyisakan gerimis yang nyaris tidak terlihat, ia memutuskan untuk mengambil sepedanya. Rumahnya tidak seberapa jauh dari restoran Ko Ahong. Ia pun berpamitan kepada Ko Ahong dan Yuk Mumun. Hujan yang tipis-tipis membuat udara di sekitar menjadi bertambah sejuk dan ia tidak berkeberatan menerima basah yang sekadar. Ia sudah mengelap bagian dalam keranjang dengan meminjam lap kering kepada Yuk Mumun, tetapi masih sedikit lembap. Perutnya yang penuh membuatnya memutuskan untuk mengambil jalan memutar agar setidaknya dapat membakar kalori lebih banyak. Setiap kali makan olahan nasi, ia selalu mengantuk. Ia tidak tahu apa yang salah dengan tubuhnya. Tetapi kalau tidak memakan nasi, ia merasa baik-baik saja. Ia juga tidak berkeberatan menyantap olahan tepung seperti mi dan roti. Ia terbiasa sarapan hanya dengan secangkir kopi atau teh yang tidak diberi gula, dan pada pukul 09.00, biasanya ada Si Kepang yang berkeliling menjual roti buatan sendiri. Ia menamai rotinya MAULA, yang dulu selalu silap dibaca Manula oleh Theia.
Setelah setengah jam mengayuh, ia pun sampai di kompleks rumahnya. Ada mobil pikap penjual boled Cilembu yang mangkal di depan tokonya, berteduh di samping rak dolken dan usuk. Ia buka 24 jam. Pada hari-hari biasa, ia mangkal di depan toko obat Taci Lani. Meski disebut toko obat, yang dimaksud bukan obat farmasi, melainkan obat-obatan untuk menunjang tanam-tanaman di sawah, seperti pupuk—atau apa pun—Theia tidak benar-benar mengerti. Ia biasa membeli portas dan kapur di Taci Lani untuk menghalau rayap yang kerap sembunyi di antara kayu-kayu segi, memamahnya sekalian, dan mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Herannya rayap hanya menyantap kayu segi, yang mahal, bukan kayu gelondongan. Di antara tokonya dan toko obat Taci Lani, ada gang sempit dan pendek yang hanya bisa dilalui becak. Di dalam gang sempit itu, ada pintu samping yang terhubung dengan dapur di belakang kamar Kakek. Ia biasa memarkir sepedanya di dalam yang, di samping pintu. Mungkin karena sudah tua, tidak ada yang mencurinya. Tapi lama-lama ia khawatir juga, berhubung sepeda ini peninggalan neneknya. Jadi ia memasukkannya jua. Saat toko tutup, pintu inilah jalan termudah untuk keluar masuk. Repot jika harus membuka pintu harmonika atau menggeser gerbang dulu. Dapur toko tidak begitu besar, apalagi dibandingkan dengan milik Ko Ahong. Di dapurnya hanya ada bak cuci piring dan kompor, serta kitchen set tempatnya menaruh piring-piring yang baru dicuci. Kulkas ditempatkan di ruang keluarga, yang juga kecil dan seadanya. Hanya ada meja kecil, sofa berwarna krem yang lebih tua daripada Theia sendiri, televisi tabung yang tidak pernah dinyalakan lagi, dan pemutar musik—CD dan kaset. Tetapi di ruang keluarga, ada bufet yang tingginya hampir mencapai langit-langit—berisi banyak sekali buku—kecuali pada satu sisi yang dipenuhi kaset dan CD. Ruang keluarga terhubung dengan kamarnya yang lama.
Tetapi di bagian belakang toko yang tadinya masih berupa kebun, Kakek membangun rumah kecil impiannya. Ia menutupinya dengan dinding. Satu-satunya akses hanyalah pintu kecil di sudut belakang toko. Sayang ketika Kakek meninggal, rumah itu masih dalam tahap pembangunan—alias belum selesai—Theia-lah yang merampungkannya. Di sanalah Theia sehari-hari tinggal. Anehnya, meski Kakek belum sempat tinggal di sana, kehadirannya justru lebih terasa daripada di ruang mana pun yang menjadi rumahnya sepanjang hidup.
Rumah impian Kakek rupanya kecil dan bersahaja saja, tetapi dikelilingi kebun hijau yang dipenuhi pepohonan rindang, dan mirip dengan pondok Walden, hanya saja lebih lengkap fasilitasnya—dan tentu saja ada pancuran air hangat dan beranda. Kakek sempat ingin membangun sumur, tapi Theia menolaknya terang-terang. Selain pohon mangga yang mulai berbuah, ada pula pohon-pohon ketapang kencana—Kakek meletakkan tiga batu sebesar anak domba yang enak sekali diduduki. Saat musim hujan datang, rumput-rumputnya memanjang dan harus cepat-cepat dipangkas jika cuaca cerah. Ia biasanya menyewa jasa potong rumput, tapi terkadang melakukannya sendiri. Ia suka memangkas rumput malam-malam, sembari menikmati kegelapan, jika esok kebetulan tak harus membuka toko, ia bisa melakoninya hingga lewat tengah malam, dan setiap kali ia memangkas rumput malam-malam, ia teringat kepada gadis sekolah di novel Osamu Dazai saat ia mencuci pakaian di bawah sinar rembulan, rasanya tidak ada beda. Ia sempat membawa setopeles kunang-kunang untuk dibiakkan di kebunnya dan selama beberapa waktu, saat malam menjelang, kebunnya dipenuhi cahaya kehijauan yang lembut, tetapi lama-lama tidak lagi tersisa satu pun kunang-kunang dan kebunnya menjadi segelap malam-malam sebelum cahaya. Ia membiarkan kebunnya tidak dilengkapi lampu. Theia duduk di halaman kebun sembari membaca buku. Ia menggantungkan empat buah furin di susuran pintu yang berkelening-kelening setiap kali angin menyentuhnya—suaranya mengingatkannya kepada tukang bakso yang lewat sembari memukul-mukul pinggir mangkuk. Ia juga menggantungkan lonceng-lonceng kecil di balik pohon mangga yang mulai berbunga, tetapi tidak seperti di gereja, jarang sekali ia mendengar gemerincingnya—padahal angin di sini dan di sana sama saja embusnya. Ia sering pula membeli jangkrik untuk dilepaskan di kebunnya—semata agar tidak sepi malam-malamnya. Ia hidup sendiri, tapi tidak terlalu suka suara-suara gaduh, ia lebih suka suara-suara sunyi seperti yang ditawarkan serangga-serangga—cengkerik, angge-angge, cengkeret—atau ruak katak.