Setiap hujan membawa musiknya sendiri; tak semua telinga mendengarnya.
Sesampainya di rumah, Theia duduk di beranda. Ia menyalakan obat nyamuk bakar dan meletakkannya di bawah kaki. Karena tidak ada lampu satu pun, kecuali yang menyala di langit-langit teras—itu pun hanya bohlam berwarna kekuningan yang telah lama sekali ada di tokonya, tetapi tidak laku, sebab sudah bukan zamannya—kebunnya gelap. Ia membayangkan andai kunang-kunang sudi datang. Di pondok Walden, ada banyak sekali kunang-kunang, di rumah Peri pun tidak sedikit jumlahnya, tetapi rumah Theia termasuk bagian kota. Meskipun masih dikepung hutan, tentulah udaranya berbeda. Apalagi jika dibandingkan rumah Peri yang bersebelahan dengan hutan yang senantiasa mengantar wangi pohon ek berusia ratusan tahun. Tetapi ia tersenyum dan berbisik dalam hati. Ia berusaha mengubah angan-angannya menjadi rasa syukur. Pegal setelah berjalan jauh masih terasa dan ia juga teringat pada kuota menulis hariannya yang belum dientaskannya. Ia mengambil laptop dan menulis. Ia sebenarnya tidak tahu mau menulis apa, tetapi perlahan-lahan tangannya bergerak menuangkan apa yang ada di kepala. Ia menulis sebebas-bebasnya. Pikirannya selalu mengatakan sesuatu, ia hanya perlu mencatat apa yang ia diktekan, tanpa memeriksa lagi, tetapi kadang-kadang dorongan kreatifnya membuatnya kembali kepada apa yang telah ditulisnya, sekadar memeriksa apakah ada yang salah ketik atau kalimat yang kurang efektif, tetapi sebisa mungkin ia menahannya. Dan sementara ia menulis, udara kembali terasa dingin, dan sepertinya gerimis kembali turun, ia agak mundur sedikit untuk menghindar dari sudut teras, tidak lupa mengambil obat nyamuk bakar yang tadi ia letakka di atas tanah. Hampir tidak ada nyamuk yang berterbangan, kalaupun ada hanya sedikit dan biasanya tidak menggigit. Ada banyak bunga di kebunnya, terutama di atas ayunan besi yang usianya hampir sama dengannya, yang dipesan Kakek ketika ia masih berumur dua tahun, katanya Ko Ahong-lah yang membuatnya. Ia tidak selalu tahu nama-nama bunga yang dipeliharanya, tetapi para serangga—termasuk nyamuk—sudah cukup puas menyantapi nektarnya. Ia berhasil mengumpulkan lima ratus kata yang dijanjikannya kepada dirinya sendiri. Ia melihat beberapa arwah melintas melewati ladangnya dan karena tubuh mereka memancarkan sedikit cahaya—entah perak entah putih—ia dapat melihatnya. Ia memandangi mereka tanpa berkata-kata, tanpa menunjukkan bahwa ia dapat melihat. Tetapi ketika ada arwah yang tidak sengaja bersitatap dengannya, Theia tidak menolaknya, ia hanya tersenyum. Biasanya para arwah langsung pergi, seperti tidak peduli, tetapi arwah-arwah yang terlihat tua—seperti arwah seorang lelaki atau perempuan paruh baya—akan membalas senyumnya. Ia tidak dapat melihat Kakek atau Nenek, atau orang tuanya. Seperti kata Peri, mungkin mereka sudah pergi ke tempat yang lebih baik, atau mungkin ada alasan yang membuat mereka tidak mau menampakkan diri di hadapan Theia.
Untuk menghalau sunyi, Theia mengambil alat musik kalimba yang ia simpan di dalam kamar dan memainkan salah satu lagu Ghibli—Inochi no Namae yang baru saja ia pelajari di Youtube. Ia membeli kalimba sebab menyukai suaranya yang lembut dan menurutnya cocok dengan keheningan di rumah ini. Ia pun berusaha menguasainya, tetapi rupanya tidak semudah dugaan. Padahal sebelumnya, saat melihat videonya di Youtube, ia menganggapnya mudah saja memainkannya—anggap saja seperti piano kecil Akhirnya ia memainkannya secara asal, dan entah bagaimana terbentuk pula sebuah lagu yang galib, tetapi sesaat kemudian, ia mengambil gitar Kakek yang bersandingan dengan gitarnya sendiri, yang ia taruh di ruang tamu. Ketika hujan kembali turun, tetapi tidak terlalu deras, ia pun menjatuhkan nada pertama dan menyanyikan sebuah lagu.
Sebelum Kakek menyulapnya menjadi rumah, dan Theia menyelesaikannya, tanah ini hanyalah kebun kosong yang sebagian besar lahan ditumbuhi pohon pisang, mangga, trembesi, ketapang kencana, dan pepaya yang letaknya tepat di depan pintu kamar mandi di dekat tembok yang membatasi tanah milik Kakek dengan milik desa, serta satu lagi yang menyerupai pohon beringin, tetapi memiliki daun yang lebar. Theia tidak tahu pohon apa itu, dan ia menyayangkannya—sebab tidak dapat memastikannya dengan bertanya kepada Kakek, tetapi Kakek sendiri pun tidak terlalu pandai mengenali nama-nama pohon. Ia kerap berkata, ia iri kepada orang-orang yang langsung mengetahui nama sebuah pohon—atau bunga—ketika ia melihatnya. Ia sangat ingin dapat dengan pasti menulis pohon-pohon apa saja yang ditemuinya di sepanjang jalan, tetapi ia hanya dapat menuliskan—atau menggambarkan—bentuknya, seperti apa daun-daunnya, seberapa tebal pepagannya, dan seberapa tinggi ia tumbuh. Tentu semua dalam kira-kira belaka. Kakek juga menanami lahan kecil yang tersisa dengan kangkung, tetapi hanya sementara, sebab kalau setiap hari berhadapan dengan kangkung, sekalipun itu adalah salah satu makanan favoritnya, ia jenuh jua. Kakek terpaksa menggunduli perkebunan pisang untuk digantikan dengan rumah. Memang, saat ia merintis tokonya, Kakek tidak sempat membangun rumah yang layak—hanya kamar-kamar yang terhubung langsung dengan toko, yang tujuannya hanya sebagai tempat tetirah kalau lelah duduk di belakang kasir—tempat ia dan keluarganya sekadar menyelonjorkan kaki dan beristirahat sejenak. Kakek dan Nenek terlalu perhitungan untuk memanjakan diri dengan membeli atau membangun rumah yang diidam-idamkan—dengan jendela dan teras yang terhubung dengan hijau kebun, kalau bisa ada kolam ikan juga—tetapi kolam ikan itu tidak jadi dibangun sebab Theia terlalu malas memelihara apa pun. Perlahan-lahan, setelah uangnya terkumpul, Kakek membangun dapur dan ruang tengah, juga menambah kamar dan perabotan, tetapi karena dibangun tanpa perencanaan, dan terletak di dalam toko, malahan di samping dinding ada wadah besi dan keni (knee), Kakek tidak dapat menambah jendela. Akibatnya, rumah itu jadi rumah yang bergantung total pada mesin pendingin, dan menurut Theia, di kota gunung seperti Kalayangan, yang setiap sisinya dikepung hutan belantara, itu agak disayangkan.