Bulan di Bukit

Rafael Yanuar
Chapter #8

Jejak Basah Hujan Semalam

Sebelum tidur, Theia sudah menyetel alarm penguin yang ia letakkan di samping bantalnya—dan mengaturnya pada pukul 06.00—tetapi tetap saja sebelum pukul empat subuh, ia sudah terjaga. Padahal udara hening semata, bahkan serangga-serangga yang semalaman berderik dan bercuit-cuit masih lelap, begitupun suara kodok yang terdengar jauh. Ada beberapa ekor burung yang sudah terjaga, tetapi dekutnya seperti malas-malas, seolah belum benar-benar melek. Atau—mungkin justru keheningan itulah yang mengganggu tidurnya? Ia tidak tahu.

Ia mencoba mengingat-ingat, apakah semalam tadi ia bermimpi? Sepertinya tidak. Ia merasa segar dan tidak mengantuk. Rasanya sayang kalau tidur lagi. Ia mengambil tempat di seberang jendela dan kasurnya, lantas duduk dalam posisi teratai sempurna dan bermeditasi sejenak—sekitar 30 menit—hingga kakinya terasa kesemutan. Ia tidak mengerti bagaimana mungkin ada yang sanggup bermeditasi seharian, sementara setengah jam saja sudah membuat kakinya tersengat seribu semut metafora.

Ia berjalan menuju dapur untuk meminum segelas air dan menjerang segelas besar teh hijau, lalu duduk di hadapan laptop untuk mengerjakan proyek novelnya. Ia mengambil secara acak kartu Tarot yang biasa ia jadikan petunjuk dalam menulis novel saat ia tidak tahu benar apa yang harus ia tulis, dan mendapat kartu The High Priestess. Ia meletakkan kartu itu di bagian yang sudah digunakan agar besok—atau kapan-kapan—dia mendapat tema yang berbeda. Tetapi tiba-tiba listrik padam saat ia baru saja mencapai 300 kata—kurang 200 kata dari tenggat yang ditentukannya. Ia tidak merasa galau atau gelisah. Ya, sudahlah. Lagi pula, berbeda dengan di rumah-toko yang mengandalkan pendingin ruangan, di sini masih terasa sejuknya, terutama karena pagi belum benar-benar menyingkirkan kabutnya. Tidak terlalu tebal seperti di bukit, tetapi ada. Ia memutuskan untuk memadamkan laptopnya saja.

Laptopnya sudah tua, ketika tidak dihubungkan dengan listrik, baterainya hanya bertahan lebih kurang setengah jam—sebenarnya ia tidak pernah lagi memastikan, mungkin malah kurang dari itu. Ada beberapa tuts pada papan ketiknya yang tidak bisa digunakan, salah satunya tanda kutip—dan itu membuat seluruh dialog dalam tulisannya tidak menggunakan tanda kutip. Itu sudah bertahun-tahun dilakoninya sehingga orang-orang yang membaca ceritanya—biasanya di blog atau platform—menganggapnya selingkung, dan Theia, dengan jahil mengiakan saja dugaan-dugaan pembacanya. Ia memberi contoh Angela`s Ashes karya Frank McCourt yang juga tidak menggunakan tanda kutip dalam dialog—dan kerap menyampaikan kepada pembaca, bahwa ia tidak yakin apa yang dikatakan tokohnya memang kata-kata mereka. Ia curiga dialog itu sudah diterjemahkan menjadi bahasa tulisan.

Theia membuka pintu teras dan berjalan menuju kebun. Ia terperenyak ketika melihat guguran daun memenuhi segenap sudut—bukan hanya yang tua dan kecokelatan, tetapi yang muda juga. Hujan malam tadi ternyata lebih deras dari perkiraannya semula. Rumput-rumputnya sudah meninggi. Meski belum dapat dikatakan mengganggu, rasanya sudah waktunya dipangkas. Akhirnya ia hanya menyapu daun-daun dan menimbunnya di sudut kebun. Karena kebunnya lumayan luas, butuh banyak waktu untuk membersihkan semuanya—ditambah lagi tidak ada lampu yang dapat ia andalkan sebagai penerang. Karena takut kalau-kalau ada ular yang bersembunyi di balik semak, ia hanya menyapu bagian depan terasnya saja, itu pun yang terkena cahaya dari beranda. Ia bisa meminta tolong kepada karyawannya untuk mengerjakan sisanya, termasuk menyiangi rumput yang mulai tinggi. Langit yang semula berwarna hitam mulai berubah menjadi nila, dan kemudian ungu. Di suatu tempat, Matahari pasti sudah terbit. Ia menggantung sapu lidi di sudut dinding, kemudian membasuh diri—lalu mengenakan topeng Theia si Pedagang. 

Lihat selengkapnya