Bulan di Bukit

Rafael Yanuar
Chapter #9

Iring-iringan Hantu Pembawa Lentera

Theia memutuskan untuk mengayuh sepedanya berlambat-lambat saja, sebab di rumah pun tidak ada siapa-siapa, tidak ada pula seseorang yang menunggunya, dan meski tadi langit seperti akan hujan, saat ia melewati persimpangan yang di salah satu sisinya ada restoran Ko Ahong—yang samar-samar terdengar suara osengan dan keramaiannya—bulan yang semenjak tadi disembunyikan awan, mendadak muncul dan melelehkan cahayanya yang keperakan di seantero kota, sehingga seolah-olah terasa teriknya—tapi berbeda dengan cahaya Matahari yang menyembunyikan keberadaan para hantu, pendar peraknya justru menambahnyatakannya, padahal keduanya berasal dari sumber yang sama, kenapa efek yang satu berbeda dengan yang lain? Theia pernah menanyakan hal yang sama kepada Kakek—atau paling tidak serupa—Kalau cahaya Bulan berasal dari Matahari kenapa efeknya terhadap para Vampir tidak sama dengan Matahari? Kakek hanya menjawab entahlah—ia tidak tahu. Kakek mengetahui banyak hal, tetapi tidak pernah malu mengakui ketidaktahuannya, dan itu membuat Theia menghormatinya.

Theia mendapati semakin lama jumlah hantu-hantu pembawa lentera yang berjalan di trotoar semakin banyak saja—dan semuanya menuju arah yang sama—dengan tambahan kabut yang menyelinap lewat udara, suasananya pun jadi semakin menggetarkan. Ia teringat kepada Negeri Kabut karya Seno Gumira Ajidarma, tetapi tidak ingat detail ceritanya, hanya ingat kepada judulnya--saat ini ia merasa benar-benar memasuki cerita Seno dengan segala keganjilannya—ganjil yang indah, yang seharusnya tidak terkatakan. Ia tidak tahu apakah Seno pernah singgah di desanya, tapi ia merasa penulis itu akan menyukainya. Tetapi mungkin ia akan kecewa, sebab di luarbeberapa keanehan yang melingkupi desanya, segala sesuatunya wajar dan bersahaja saja. Karena malam sudah larut—mungkin sudah lewat pukul 19.00—hantu-hantu yang berjalan di trotoar semakin jelas pula wujudnya, tidakseperti bayang-bayang ketika ia melihatnya sore tadi, dan semakin beragam pula,tidak hanya hantu dewasa, tetapi juga anak-anak, hanya saja, ia merasa bahwa yang terlihat seperti anak-anak justru lebih tua dibanding yang dewasa. Ia ingin sekali menghentikan sepedanya untuk mendekati salah satu hantu dan bertanya ke mana mereka akan pergi—apakah para hantu itu benar-benar ada atau hanya muslihat ingatan belaka? Tetapi perasaan gentar yang menyerupai takut menyelinap dalam benaknya dan ia memutuskan untuk terus mengayuh tanpa menoleh kepada para hantu itu. Siapa tahu ada kendaraan lain yang lewat. Kabut yang menebal membuatnya menyalakan lampu sepeda. Ia harus melewati jalan yang di sisi kirinya hanya ada tanah kosong yang luas sekali, dan konon akan dibangun mal—tetapi sudah bertahun-tahun dibiarkan terbengkalai. Ia agak menyesalkan jika hal itu benar terjadi, tetapi ia juga tidak dapat berharap desanya tetap sama seperti bertahun-tahun silam. Ia merasa waktu sudah berjalan cukup lambat di Kalayangan—tapi suatu saat, entah cepat entah lambat, peradaban pun akan menancapkan kuku-kukunya yang tajam ke dalam tubuh desa ini.

Ketika ia sampai di rumah, ia langsung membawa masuk sepedanya lewat pintu samping gang. Ada semacam ganjal kayu yang mempermudahnya menaikkan sepeda. Ia lalu kembali ke sangkar-nya yang hangat di kamar belakang, tetapi memutuskan untuk membuka pintu yang ada di dinding belakang, di seberang kebunnya. Pintu itu menghubungkannya secara langsung dengan jalan desa yang terhubung dengan sawah, dan ia memutuskan untuk berjalan-jalan mencari angin. Tidak jauh dari rumahnya, ada rumah seseorang yang menurut Theia cukup sulit dihadapi, ia seorang dukun perempuan yang usianya sudah sangat tua, dan selalu saja bersinggungan dengan Kakek, tetapi entah mengapa sangat menyayangi Theia, bahkan menganggapnya cucunya sendiri. Ia sering mengirim setandan pisang lumut yang ia petik dari kebunnya sendiri. Kakek selalu agak mencurigainya, sehingga melarang Theia memakan apa pun yang diberikannya, tetapi Theia menganggapnya kebaikan—dan ia berterima kasih karenanya. Ia sendiri jarang mengunjungi Nenek Dukun, tetapi selalu menyapanya jika kebetulan berpapasan dengannya. Ia melihat-lihat kebunpisang Nenek Dukun, siapa tahu ia ada di sana, tetapi karena tidak menemukan siapa pun, ia meneruskan langkah. Setelah melewati rumah-rumah, ia pun sampai di tepi sawah yang sudah kosong, sebab baru dipanen. Capung-capung pada berterbangan, tetapi selebihnya hanya desir angin yang sunyi. Berjalan di jalan setapak sawah baginya sudah seperti meditasi instan. Ia bisa berdiri di sana selama berjam-jam, dan sejak Kakek meninggal, semakin sering saja ia melakukannya. Ia sempat mendengar beberapa kabar burung yang mengatakan bahwa di sawah ini ada hantu perempuan bergaun putih yang muncul beberapa kali, dan itu membuat tempat ini agak dihindari saat malam menjelang, tetapi Theia curiga yang dimaksud adalah dirinya sendiri—mengingat ia suka mengenakan baju berwana putih, dan rambutnya pun lumayan panjang—dan ia yakin, dengan penuh percaya diri, ia cukup cantik dan anggun untuk dianggap hantu, tetapi tentu saja ia lebih senang kalau ada yang menyebutnya malaikat. Ia menyukai malaikat, dan mengoleksi pernak-pernik malaikat, seperti bola salju, lampu tidur, hingga patung-patung kecil—tetapi yang paling banyak adalah buku—ia sempat beberapa kali ingin menulis sebuah buku yang dilengkapi dengan musik untuk mengabadikan rasa cintanya terhadap malaikat. Tentu saja, konsep album–buku ia dapatkan setelah membaca Rectoverso—salah satu karya Dee Lestari yang ia hargai. Dan sampai sekarang ia masih menyimpan mimpi itu dalam hatinya, berharap suatu saat dapat ia wujudkan, mungkin bersama Peri yang sudah lebih dulu mempunyai mimpi menjadi seorang musisi, bahkan sejak ia duduk di bangku sekolah dasar.

Setiap kali berada dalam keheningan, ia mendengar jantungnya menyanyikan sebuah lagu yang terasa gaib sekaligus galib. Ia pertama kali mendengarnya, barangkali, karena tersugesti kata-kata J. Krishnamurti, "Orang tidak sadar, betapa penting bangun setiap pagi dengan nyanyian dalam jantung mereka." Tentu saja, J. Krishnamurti tidak memaksudkannya secara harfiah / literal, tetapi mewakili sukacita akan keberadaan—sukacita yang membebaskan kita dari pilihan baik atau buruk. Namun, tetap saja, Theia mencobanya. Saat terjaga pada pagi belia, ia tidak segera bangkit dari kasurnya, tetapi berusaha mendengar nyanyian dalam jantungnya sebagai hal pertama yang ia dengar, dan ia berhasil.

Theia tidak tahu sudah berapa lama berada di jalan setapak, berdiri saja dalam naungan cahaya bulan. Di sekitarnya ada Roh-Roh Asali yang cahayanya menyerupai kunang-kunang. Rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat Roh-Roh Asali, dan pendarnya pun lebih jelas daripada yang dikenangnya selama ini. Ia penasaran apa yang istimewa pada hari ini, sehingga Tuhan yang mahapengasih mengizinkannya melihat iring-iringan hantu pembawa lentera dan Roh-Roh Asali, tanpa suatu rabun yang menutupi pandangannya. Bahkan kabut yang menebal dengan cepat dan kegelapan yang melingkupi udara jadi sedemikian pekat—sehingga sawah-sawah yang ada di kiri dan kanannya jadi tidak terlihat—sama sekali tidak menutupi pandangannya terhadap para Roh Asali—malah sebaliknya, jadi semakin jelas saja. Samar-samar ia dapat mendengat suara kereta melintasi rel, lengkap dengan klaksonnya. Ia merinding, sebab di Kalayanan tidak ada perlintasan kereta api, dan seumur hidupnya, kecuali di layar ponsel dan televisi, ia belum pernah sekali pun mendengar suara kereta melintas, apalagi yang terasa tua seperti ini. Dulu, ia kerap melihat majalah kereta api hanya untuk melihat-lihat nama stasiun yang dilewatinya dan membayangkan kehidupan macam apa yang dialami penduduk tempat-tempat itu—dan imajinasinya tidak selalu relevan dengan kenyataan, ia bisa saja membayangkan suatu fantasi yang melibatkan naga, peri, dan elf. Apa boleh buat, Theia-kecil sangat mengganderungi novel-novel Tolkien—tapi ketika ia membaca The Silmarillion, ia seperti tersesat di antara nama-nama. Seorang gadis kecil pembawa lentera mendekati dan menyapanya. Ia mempunyai rambut cokelat sepertinya—yang seringkali disangka dicat, padahal tidak—dan mengenakan pita berwarna merah muda di rambutnya. Ia mengenakan gaun berwarna hitam, dan usianya seperti sekitar enam atau tujuh tahun. Tetapi ketika bertanya ia siapa, Theia mendapatkan jawaban yang mengejutkan—sekaligus membuatnya terperenyak, Aku—ah, orang-orang memanggil kami Malaikat Maut, tapi kamu boleh memanggilku Aira. Jarang sekali ada manusia yang bisa melihatku. Aku bekerja di kota ini.

Theia hampir-hampir tidak mempercayai pendengarannya—lebih-lebih pengelihatannya—sebab yang saat ini berdiri di hadapannya bagaimanapun hanya gadis kecil biasa, bahkan hampir terlalu biasa untuk disebut Malaikat Maut, tetapi tetap saja Theia tidak berani menganggapnya berbohong. Ia terbiasa mempercayai sesuatu hingga terbukti sebaliknya, dan ia cukup lega, sebab kalau benar gadis kecil di hadapannya adalah Malaikat Maut—yang kebetulan bekerja di Kalayangan—tetapi sudah berapa lama ia bekerja di sini?—ia merasa Maut jadi tidak terlalu menakutkan lagi. Ia tidak dapat membayangkan, betapa mengerikannya kematian jika yang terakhir kali dilihatnya adalah sosok Death dalam kartu Tarot nomor XIII. Namun, karena sekarang Maut ada di hadapannya, mau tak mau ia memberanikan diri bertanya, A–Apa itu berarti waktuku telah tiba? Ia tidak mempunyai siapa-siapa lagi, bahkan tidak memiliki hal khusus yang ia ingin kerjakan, tapi tetap saja ia belum ingin mati. Syukurlah Maut menjawab dengan lembut—bagi Theia, nada bicadanya terlalu dewasa untuk seseorang yang terlihat seperti gadis kecil, sampai ia ingat bahwa yang ada di hadapannya bukan gadis kecil biasa—tapi Theia juga senang saat mendengar bahwa hari ini bukan hari kematiannya.

Aku menjemput seseorang yang lain—seorang Kakek yang tinggal di pinggir hutan, dekat dengan kuburan tua yang sudah lama terlupakan, konon kuburan sejak zaman Jepang. Banyak di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Eyang Hora, namanya. Kau mengenalnya? Ia sudah lama hidup menyendiri, tetapi sebenarnya tidak sendirian. Ia menjadi penghubung para arwah yang masih punya ganjalan terhadap dunia—dan yang dilakukannya hanya mendengar. Ia menuliskan apa yang ia dengar, kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku—berharap ada keluarga para arwah yang membacanya. Itulah sebabnya, ada banyak sekali iring-iringan arwah pembawa lentera yang mengantar kepergiannya. Lentera-lentera itu akan dihanyutkan ke permukaan laut.

Tapi, para arwah itu berjalan ke gunung?

Laut itu ada di atas gunung. Eyang Hora akan pergi bersamaku ke Negeri Senja dengan kereta yang berangkat nanti malam—tepatnya pukul 00.47 menurut waktumu. Kereta kami melintas di atas genangan ombak.

Negeri Senja?

Kau boleh menyebutnya surga—dengan s kecil.

Lihat selengkapnya