Aira meneruskan ceritanya.
"Karena ketertarikanku kepada Maut membuat Ibu khawatir—dan bagaimanapun ia tetap seorang ibu yang tidak ingin gadis kecilnya menyakiti dirinya sendiri terus-menerus—ia menghubungi salah satu sahabatnya yang bekerja sebagai malaikat penjaga di Bumi, tetapi wujud malaikat asli—bukan berarti ada yang palsu—tidak seperti dugaanku sama sekali, ia benar-benar tidak mirip apa pun, tidak pula berbentuk seperti manusia rupawan yang punggungnya bersayap. Sayapnya tidak seperti sayap burung atau serangga—malah tidak menyerupai sayap sama sekali, lebih mirip cabang-cabang pohon atau sisik ikan. Bentuknya sedikit mengerikan, tetapi bukan mengerikan dalam arti buruk. Ia sama sekali tidak buruk rupa. Ia justru indah dalam keliyanannya—andai kau tahu maksudku.
"Kulitnya yang bersisik berwarna biru bulan. Ia memiliki enam buah sayap yang kecil-kecil—masing-masing di belakang kepala, kaki, dan punggungnya, dan di belakang keenam sayap itu, ada sepasang sayap yang besar sekali, melingkupi langit, dengan jutaan mata yang memandang kepada kami, dan meski ia mempunyai wajah yang dilengkapi mata dan mulut, ia tidak menggerakkan mulut atau matanya ketika bicara, seolah-olah mata dan mulut itu sengaja ditambahkan agar kami tidak ketakutan—agar ia semakin mirip dengan manusia. Ia juga memiliki tubuh seorang perempuan yang terbuat dari kayu.
"Kata Ibu, untuk datang ke dunia kita—manusia—seorang malaikat harus mengecilkan dirinya hingga lebih kecil daripada sebutir atom, padahal ia jauh lebih besar daripada seluruh semesta yang mungkin, dan menanggalkan segala yang tidak dapat ada dalam semesta kita—bayangkan kau harus meninggalkan konsep atas dan bawah ketika kau memasuki dimensi kedua—dan ketika ia berhasil melewatinya, ia harus meminjam wujud yang dipahami oleh kita, tetapi tetap saja ia tidak terlalu mirip dengan kita.
"Malaikat itu memandangku dan berkata, Jangan takut! Tetapi bukan dengan telinga aku mendengarnya, melainkan jantung—seolah kata-kata itu dikeluarkan olehku sendiri, tetapi juga tidak seperti kata hati, sebab aku tidak dapat mengendalikannya. Kata-katanya seperti mantera. Padahal ia hanya menyampaikan sepatah perintah untuk tidak takut, tapi itu cukup untuk membuatku berhenti takut.
"Aku melihat kepada ibuku, dan ia tidak terlihat takut sama sekali. Ia lebih tua daripada segala yang ada, dan sekalipun ia bernama Ibu Bumi, ia bahkan lebih tua daripada Bumi itu sendiri. Ia sebenarnya adalah Ibu dari Segala yang Hidup, bahkan termasuk beberapa malaikat—hanya beberapa, sayangnya, sebab ada malaikat-malaikat yang melampaui hidup dan mati.
"Ibuku juga adalah ibumu.
"Ketika kami berhadapan dengannya, seluruh ruang meleleh dan segala yang ada di sekitar kami menjadi tidak tentu rupa. Sawah-sawah menjadi sureal, langit menjadi sureal—kamu tahu lukisan-lukisan Salvador Dali? Begitulah, kurang lebih. Segala sesuatu yang dapat disentuh menjadi tidak dapat disentuh, segala sesuatu yang tidak dapat disentuh—seperti ruang dan waktu—menjadi dapat disentuh, dan aku melihat lengkungan-lengkungan yang hanya dapat dibayangkan Einstein, bahwa alam semesta ini hanya kain elastis yang dibentangkan ke segala arah.
"Jangan takut! ulangnya, dan aku berhenti takut.
"Setelah itu, tidak ada satu pun dari kami yang berbicara, keheningan serasa abadi, dan mungkin sudah melampaui jutaan tahun yang lebih singkat daripada sedetik, dan kemudian, aku pun menjadi Malaikat Maut magang dan ditempatkan di kota kecil ini—kota yang mudah, kata malaikat itu, dan ibu menyetujuinya.
"Tapi aku bukanlah satu-satunya malaikat yang bekerja di tempat ini, ada malaikat lain, dan jumlahnya tidak terhingga. Sebenarnya hanya satu. Setiap detik ia harus menjemput banyak sekali nyawa, jumlahnya bisa ratusan atau ribuan, tetapi ia tidak seperti kita sama sekali. Ia senantiasa berkeliling dan menjemput satu per satu dengan sangat cermat dan hati-hati seolah-olah semua itu adalah buah hatinya sendiri, tetapi, meski ia menghabiskan banyak waktu untuk meladeni masing-masing orang—ada yang rela, ada pula yang tidak, dan ada yang semula takut, tetapi justru merasa lega begitu berjumpa dengannya—tidak sekali pun ia kehabisan waktu—atau terlambat—atau datang terlalu cepat. Ia selalu tepat waktu, lebih tepat daripada Matahari atau Bulan, lebih tepat daripada saat ini. Aku malah hampir-hampir tidak bekerja, hanya sesekali saja aku mendapat tugas istimewa seperti malam ini. Setelah itu, tidak ada lagi orang lain yang harus kujemput—mungkin selama bertahun-tahun lamanya—hingga malaikat pimpinan teringat kepadaku dan memberiku tugas lain."
Setelah mendengar pemaparan Aira, Theia ingin pula berjumpa dengan Ibu Bumi, tetapi tidak ingin bertemu malaikat mana pun, terutama yang asli. Ia mungkin mati jika harus bersitatap dengan sesosok makhluk yang wujudnya bahkan sanggup melelehkan realitas, tetapi ia juga dapat membayangkan keindahannya. Barangkali bukan keindahan yang membawa ketenteraman, melainkan sesuatu yang menciptakan ketakjuban di dalam dada, seperti hewan-hewan di laut dalam yang tidak tentu bentuknya, misterius, dan aneh, tetapi setiap kali memandangnya, Theia tidak dapat tidak mengaguminya. Para penulis film sci-fi harusnya tidak perlu jauh-jauh mencari inspirasi. ebagian film sains fiksi masih menggambarkan alien sebagai sosok yang lebih kurang menyerupai manusia—dengan dua tangan dan dua kaki, bahkan dengan lima jari di masing-masing tangan dan kakinya, serta bentuk yang berbeda sedikit dengan manusia tetapi pada dasarnya masih terkesan humanoid.
Lalu, seperti apa wujud Ibu? Apakah ia sama seperti gambaran Gaia di buku-buku mitologi? Theia berharap Ibu Bumi sama sekali berbeda dengan manusia, barangkali lebih mirip hewan-hewan yang tidak terjelaskan. Tetapi ketika ia menanyakannya kepada Aira, ia mendapat jawaban yang tidak terlalu mengesankan. Anehnya, ia tidak kecewa sama sekali.
Menurut Aira, sang Ibu sering mengenakan gaun panjang berwarna gading. Rambutnya sebahu dan berwarna kecokelatan—seperti rambutmu, tambahnya sambil melirik Theia. Ia tinggal di sebuah gua di ujung dunia yang selalu tertutup salju, satu-satunya ranah yang belum dinodai jejak kaki manusia. Tetapi bukan gua stalaktit miliknya—gambaran itu, kata Aira, terlalu romantis.
“Ia mirip dengan semua perempuan di dunia,” lanjut Aira. “Ia seperti pantulan wajah yang kita lihat di permukaan sungai nan tenang. Setiap kali kita bercermin, kita sebenarnya sedang bersitatap dengannya. Ia serupa denganmu, Theia. Juga denganku. Pun dengan Peri.”
Theia terkejut. “Jadi kamu mengenal Peri juga?”
“O, tentu.” Aira tertawa kecil. “Aku malaikat maut. Aku kenal semua orang di desa ini. Tetapi tidak sepertimu, ia tidak bisa melihatku. Sebenarnya hanya sedikit yang bisa—selain kamu dan hantu-hantu, ada juga beberapa manusia lain. Aneh sekali, para hewan selalu mampu melihatku. Sejak aku menjadi malaikat maut, aku jadi tidak kasatmata, seperti hantu—padahal dulu tidak.”
Ia berhenti sejenak, menendang bulir padi kering yang menempel di pematang.
“Kalau aku jenuh, aku sering bermain di perpustakaan Peri. Membaca komik-komik di sudut ruangan. Tapi aku sudah jarang membaca. Dulu sekali, ada Anak Bumi yang suka sekali membaca, namanya Fhana. Ia laki-laki. Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengannya. Ia hapal bilangan Pi.”
Aira mengacak rambutnya sendiri, lalu menirukan gaya seseorang yang sedang menulis di udara.
“Suatu hari ia mencoba menuliskan angka-angka Pi yang ia ingat, sampai memenuhi seisi pantai. 3,14159 26535 89793 23846 26433 83279 50288 41971 69399 37510 58209 74944 59230 78164 06286 20899 86280 34825 34211 7067—”
Ia mengangkat bahu. “Sayangnya hanya itu yang aku ingat.”
Itu saja sudah luar biasa, pikir Theia.
“Karena ia keranjingan Pi, ia membuang nama lamanya, Fhana, dan menggantinya menjadi Pi. Ia kemudian berkelana entah ke mana. Aku tidak pernah lagi melihatnya—tapi mungkin Ibu tahu, sebab ia penguasa cermin.”