Bulan di Bukit

Rafael Yanuar
Chapter #11

Bersepeda ke Bulan

Saat Theia hendak mengambil sepedanya, ia mengundang Aira memasuki pintu belakang yang terhubung langsung dengan kamar belakang yang—betapa mengejutkan—sudah dipenuhi kunang-kunang. Theia gembira sekali. Sudah lama ia ingin kunang-kunang singgah di rumahnya, dan barangkali juga berkenan menetap, jadi ketika ia memandang ribuan cahaya berpendaran menghias kebunnya, mau tidak mau ia tertegun. Ketika tersadar kembali, ia menoleh kepada Aira dan berkata maaf, tetapi Aira hanya tersenyum. "Tidak apa, kita tidak terburu-buru, tidak perlu terburu-buru."

Kunang-kunang itu mungkin bahkan lebih banyak daripada yang ia lihat di pondok Walden, dan cahayanya pun jauh, jauuuuh, lebih terang, tidak pucat-kehijauan seperti yang biasa ia lihat. Ia buru-buru memadamkan lampu teras dan membiarkan bintang-bintang itu mempertunjukkan kebolehannya menari. Tetapi, tidak ingin terlalu hanyut dalam euforia, ia mengajak Aira memasuki ruangan dan menyeduhkannya secangkir teh. Gula? Aira mengangguk—yang banyak!—jawabnya sembari melonjak gembira. Rupanya ia sudah lama tidak minum yang manis-manis. Theia juga mengecek lemari pendingin, berharap ada sesuatu yang bisa disuguhhkannya, tetapi hanya menemukan beberapa mangkuk puding yang tiga hari lalu diborongnya dari toko kelontong Koh Rafa—Theia memang menyukai puding, dan ia bisa membeli bermangkuk-mangkuk untuk disimpan dalam kulkas. Saat ia menyuguhkan tiga buah puding, Aira menyantapnya lahap, dalam tiga kali suap, padahal menurut Theia sama sekali tidak cocok dimakan dengan teh—apalagi dua-duanya manis. Tetapi, karena ia malaikat maut dan hidup selamanya, ia tidak perlu takut pada penyakit apa pun. "Barangkali suatu waktu kamu mau tinggal bersamaku, ada satu kamar kosong di pondok kecilku, yang semestinya menjadi kamar Kakek—tetapi ia tidak sempat menggunakannya. Saat engkau berkata, kita memiliki ibu yang sama, aku sedikit lega. Aku seperti memiliki saudara—atau seorang adik setua jagat raya. Kau tahu, bukan, aku sebatangkara?"

Aira mengangguk. "Bolehkah? Sudah lama sekali aku tidak mempunyai rumah, sementara gua ibuku teramat jauh, jauuuuh sekali, dan butuh bertahun-tahun berjalan kaki untuk sampai, belum lagi kalau terhalang lautan luas, dan tidak ada yang berkenan memberiku tumpangan—dan rasanya sudah ratusan tahun aku tidak pulang mengunjunginya. Aku jadi kangen kepadanya."

Kalau kau benar-benar kangen aku, kau bisa menengok hatimu sendiri, anakku. Aku selalu ada di sana.

"Lalu, di mana selama ini kamu tidur?"

"Di mana pun, tetapi aku biasa tinggal di kuil tua—di selatan desa—dekat dengan jalan masuk hutan. Biasanya ada gadis kecil dan ibunya yang rutin menyapu daun-daun di halaman dan lantai terasnya, juga menyalakan hio di altarnya. Aku tidur di salah satu kamar, tidak terlalu besar, tetapi benar-benar kosong, hanya ada satu jendela yang menghadap kuburan tua yang nisan-nisannya sudah tidak bernama, seolah-olah tempat itu memang khusus disediakan untukku. Tapi aku tidak selalu ada di sana, aku lebih senang berkelana, menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di tengah desa — seperti saat ini — atau menyusuri setapak hutan."

"Tidakkah kamu bosan berada di desa yang sama terus-menerus, selama bertahun-tahun?"

Aira menggeleng. "Selalu ada hal baru yang bisa aku temukan—aku malah bingung, dengan segala perubahan yang terjadi setiap detiknya, bagaimana mungkin kita bisa bosan? Warna musim berbeda senantiasa, tidak ada satu pun daun yang sama, bahkan desa ini pun berubah—seperti makhluk yang tumbuh dengan lembut. Saat ini pun, saat aku berjumpa denganmu, hidupku menjadi lebih indah."

Theia tersenyum, pipinya bersemu merah muda. "Aku mengerti maksudmu. Aku pun sudah lama tinggal di sini, bahkan semenjak bermulanya ingatan, aku selalu ada di sini. Apakah kau juga yang menjemput Kakek?"

"Sayangnya, bukan. Ada malaikat lain yang bertugas. Mungkin suatu saat nanti, kau juga akan berjumpa dengannya."

"Jika malaikat penjaga sebegitu menakutkan, aku tidak tahu apakah aku sanggup berjumpa dengan malaikat maut yang asli—ah, bukan berarti aku menganggapmu palsu, lo."

Aira tertawa. "Kau akan kecewa! Malaikat Maut tidak menakutkan sama sekali. Ia bisa menyerupai gadis kecil seperti aku, seorang Ibu, Bapa, atau saudara—bahkan kembaranmu! Ia mungkin satu, tetapi luas. Ia dapat menjadi apa saja yang membuatmu tenang. Kau tidak perlu takut."

Theia tersenyum, "Aku harap, saat aku meninggal, kau mau menjadi malaikatku."

Lihat selengkapnya