Bulan di Bukit

Rafael Yanuar
Chapter #12

Samudra di Bukit

Theia bergembira sekaligus berdebar-debar, setelah perjalanan yang cukup jauh—menembusi dunia yang barangkali berada di antara kenyataan dan impian—ia akhirnya dapat berjumpa dengan Eyang Hora. Ia memandang Aira yang berdiri di sampingnya. Aira masih membawa lentera merahnya, dan Theia mengingat-ingat, bukankah Aira juga mempunyai sabit yang biasanya dibawa pencabut nyawa—yang sempat tersangkut di kabel listrik dan tidak ditemukan selama berhari-hari sebab semua orang—termasuk Aira sendiri—menganggapnya bulan. Tetapi Theia tidak melihat sabitnya di mana pun. Mungkin memang tidak harus sabit. Lagi pula, ia merasa lentera jauh lebih cocok—setidaknya bisa dijadikan penerang langkah. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi suara apa pun yang berasal dari mulut manusia akan terasa ganjil—entah mengapa itulah yang ia rasakan—jadi ia diam saja, dan menunggu apa yang kelak terjadi. Empat pembawa lentera sudah lama hilang, tepatnya pergi, seolah-olah hanya menunggu kedatangan Aira dan Theia.

Lamat-lamat Theia mendengar pintu dibuka, berkeriyut seolah bertahun-tahun tidak diminyaki, dan—betapa terkejutnya ia—sebab yang berada di baliknya sama sekali tidak mirip kakek-kakek, malahan hanya seorang anak kecil riang, yang menyambut kedatangan Aira seolah mereka sahabat lama—mungkin memang demikian—mereka terlihat sebaya. Hora—yang akan terasa ganjil jika ditambah sapaan Eyang—memandang Theia dengan tatapan heran, ia langsung tahu Theia belum meninggal, tetapi sejurus kemudian ia malah gembira. Kamu—kamu bisa melihat kami?

Theia mengangguk kecil, ia sudah mencurigai apa yang akan didengarnya. Barangkali Aira mengajaknya ke sini agar Eyang dapat memintanya menjadi penerus yang menghubungkan dunia hidup dan mati, tetapi sementara jantungnya berdebar-debar menantikan tanggung jawab yang kelak membebaninya, Eyang Hora hanya berkata lembut. Terima kasih sudah datang. Senang rasanya, tugasku sudah selesai. Ia tidak sekali-sekali membicarakan perihal tugas atau apa pun, dan malah berkata bahwa para hantu atau arwah-arwah itu sudah tenang dan segera bersamanya menuju dunia selanjutnya. "Kami sudah menyewa satu gerbong penuh," kata Hora sembari tertawa. Meski tubuhnya telah mengecil, cara bicaranya tetap seperti kakek-kakek. Theia sedikit tersenyum saat mendengarnya.

Theia bertanya malu-malu. Anu, tadi, saat kami mengunjungi rumah Kakek, Aira menggunakan jalan yang tidak lazim. Jalan sawah yang seharusnya terhubung dengan desa Gadelan, tapi malah membuat kami mencapai hutan yang teramat lebat dengan pohon-pohon raksasa menaungi setiap langkah. Theia ingin tahu, di manakah ini berada.

Hora tertawa.

"Maaf, aku juga tidak tahu. Meski ini rumah Kakek yang biasa, saat Kakek keluar pintu, tahu-tahu Kakek sudah berada di sini. Tetapi Aira pasti mengantarmu pulang. Tidak perlu khawatir. Ingat-ingat saja pesan si kucing yang menyeringai di novel Alice in Wonderland. Kalau kamu tidak tahu ke mana akan pergi, ke mana pun kamu melangkah, kamu tetap akan sampai."

"Tapi, aku tahu ke mana akan pergi, aku ingin pulang."

"Kalau begitu, kamu akan pulang."

"Tidak masalah. Aku pun tidak tahu jalan ini, aku hanya mengikuti cahaya bulan dan cahaya yang sama juga akan mengantarmu pulang. Aku juga sudah berdoa kepada ibu, siapa tahu dia mau datang kalau aku memanggilnya. Dia biasanya datang. Tetapi, untuk saat ini, kamu mau ikut?"

Theia teringat bahwa ini hanyalah mimpi—dan mimpi pasti berakhir. Ada di tangannyalah keputusan, apakah ini akan jadi mimpi yang indah atau tidak. Maka, ia pun mengangguk dan berkata kepada Aira, "Baiklah."

Lihat selengkapnya