Bulan di Bukit

Rafael Yanuar
Chapter #13

Peri Kunang-Kunang

Setelah menerima tawaran Theia untuk menetap di rumahnya—dan ia sudah menyiapkan kamar di samping kamarnya yang menghadap kebun mangga—Aira tidak lantas sering-sering menginap, tetapi ia jelas sering datang, hampir setiap hari malah. Sejak kali pertama berjumpa, sudah seminggu berturut-turut ia datang, bahkan ikut bersamanya menghadiri Misa di Gereja. Meski tidak ada seorang pun yang dapat melihatnya, entah bagaimana bangku yang didudukinya tidak diduduki jemaat lain, dan jika Peri ikut bersamanya, ia akan duduk di sisi yang benar—selalu begitu—dan, karena Aira suka makan, jika Theia mengajaknya bersantap di luar—misalnya di restoran Ko Ahoang—tidak ada yang bertanya-tanya, mengapa ia memesan dua porsi, padahal biasanya ia hanya makan sedikit.Mungkin di belakang punggungnya ada kasak-kusuk, ada gosip, dan ada gunjingan, tetapi Theia tidak terlalu mempedulikannya.

Ia menyukai kehadiran Aira dan senang mengajaknya ke mana-mana.

Theia mulai terbiasa dengan Aira, sehingga ketika ia tidak datang, ia merasa sedikit kesepian. Ia tidak tahu bagaimana dulu dapat bertahan sebatang kara. Saat malam datang, dan bulan sudah di peraduannya, ia selalu duduk di teras dengan dua cangkir teh—satu manis, manissss sekali, dan satu tawar—dan menantikan Aira. Setiap kali datang, ia selalu membawa kunang-kunang. Ia memasuki pintu dinding belakang—ia memiliki kuncinya. Kunang-kunang yang ikut bersamanya tetap di teras selama berhari-hari, bahkan di siang hari. Theia takjub. Ia tidak pernah melihat seekor pun kunang-kunang yang tetap berpendar pada siang hari. Ia tidak tahu apakah itu lazim.

Karena kunang-kunanglah Theia tidak lagi menganggap Aira malaikat maut. Ia mulai memanggilnya peri kunang-kunang, dan Aira pun tidak keberatan.

Setelah berjumpa dengan Aira, Theia jadi sering mendengar Ibu Bumi berkata kepadanya—dalam jantungnya. Mungkin Ibu Bumi sudah sering berkata kepadanya, tetapi ia hanya menganggapnya suara hati belaka—atau sesuatu yang berasal dari pikiran bawah sadarnya.

Kata Aira, jika kau memiliki sesuatu yang ingin kaubicarakan, kau tinggal mengundang Ibu Bumi untuk datang kepadamu. Ia selalu sedekat jantungmu. Kemudian, bertanyalah tentang apa saja yang mengganjal hatimu. Ia selalu menjawab.

Tetapi Theia tetaplah Theia, ia hampir-hampir tidak pernah berpikir yang muluk-muluk mengenai hidupnya, apalagi setelah ia tahu bahwa kehidupan setelah kematian benar-benar ada. Baginya segala sesuatu yang saat ini ia jalani hanya persinggahan sejenak. Ia akhirnya memahami makna tidak ada yang abadi—yang timbul akan tenggelam, yang datang akan pergi.

Lihat selengkapnya