Ia tidak ingat betapa nyamannya berada di rumah Peri. Tidak seperti di rumahnya sendiri, yang terletak di bagian yang padat, meski tak lantas menjadi ramai, suasana di rumah Peri begitu hening, tetapi bukan hening yang mengandung senyap, alih-alih malah menawarkan banyak sekali suara, dan semua suara berasal dari sumber yang sama—hutan purba yang letaknya tidak begitu jauh dari sini, juga segala makhluk yang hidup di dalamnya, dan Peri benar ketika mengatakan bahwa lolong anjing di sini berbeda dengan di kota—apalagi dengan anjing-anjing liar peliharaan Ko Ahong—lebih menakutkan, lebih dalam dan mengandung duka, tetapi juga terasa jauh di ceruk hutan, seperti di liyan dunia, hampir-hampir menyerupai lolong serigala—hanya saja tidak ada yang tahu apakah itu benar serigala.
Ketika malam bertambah larut, suara-suara pun bertambah pula riuhnya. Theia dapat mendengar dan mengalami sajak Chairil Anwar, Derai-Derai Cemara—cemara menderai sampai jauh / terasa hari akan jadi malam / ada beberapa dahan di tingkap merapuh / dipukul angin yang terpendam. Namun, yang membuatnya tertegun justru uhu burung hantu yang terasa begitu dekat, seolah berasal dari atas kepalanya—atau di sebelah telinganya—dan sedikit membuat bulu romanya meremang. Ia bertanya kepada Peri, tapi Peri hanya menjawab dengan santai dan hampir tidak peduli, padahal biasanya ia selalu antusias, sepertinya ia sudah mulai mengantuk—sejak dulu, Peri memang cepat sekali tidur.
"Di atas plafon lantai tiga—yang kosong—ada burung hantu yang bersarang, tapi aku tidak tahu jenisnya." Untuk melihatnya, Peri berkata ia memanjat menggunakan tangga lipat yang dipinjam dari Gereja, dan setelah mengetahui sumber suara—apalagi menyadari betapa imutnya mereka—ia jadi tidak takut lagi, dan suara itu pun jadi tidak mengganggu.
Theia teringat pengalamannya ketika merasa gelisah saat mendengar suara katak yang menurutnya sangat menyebalkan, tetapi setelah ia mengakrabi dan memberinya nada, seketika saja kesunyian jadi tidak tertahankan tanpa suara-suara itu.
Theia membaca tiga jilid buku Ikan Boddhisattva, dan menyelesaikannya hanya dalam satu jam saja. Hanya ada sedikit teks di dalamnya, selebihnya adalah gambar, dan gambar itu berjalan dengan sangat perlahan, seperti hendak merekam segenap gerak yang mungkin dalam frame-frame, bahkan yang di matanya tidak begitu berarti, sehingga satu peristiwa kecil—seperti daun jatuh, atau goyangan pohon—dapat mengambil beberapa halaman. Tetapi Theia tidak terlalu terbiasa membaca komik—apalagi grafik novel yang gambarnya hampir-hampir terlalu realistis tetapi mempunyai banyak sekali bayang-bayang, sehingga kesannya selalu remang-remang.
Ikan yang tidak diketahui namanya itu kerap kali berjumpa dengan berbagai hantu dan yaksha yang sepertinya diambil dari Petavatthu—setidaknya begitulah kata Peri. Ada banyak adegan yang terlalu mengerikan sehingga rasanya seperti membaca komik Siksa Neraka.
Ada seorang hantu perempuan yang saban siang menderita akibat melahirkan sepuluh anak kembar, yang pada malam harinya terpaksa ia makan kembali hanya untuk mengulangi siklus yang sama keesokan harinya—begitu terus selama bertahun-tahun, malahan ratusan tahun, tidak ada belas kasihan, dan konon hal itu terjadi karena ia harus menebus karma yang ia lakukan semasa hidup.
Ada hantu laki-laki yang setiap siang menghabiskan waktunya dengan makan sekenyang-kenyangnya, lalu saat malam datang menjadi santapan bagi seekor monster yang sangat besar dan rakus, yang memakan satu per satu bagian tubuhnya—dan dia harus mengulangi siklus itu setiap hari, selama tak terhitung waktu.
Ada yang sedikit ringan hukumannya—tidak punya ranjang atau alas tidur, atau apa pun, tak bisa pergi atau beranjak, maju ataupun mundur, tanpa makanan, minuman, dan pakaian. Tidak memiliki seorang pun yang dapat disebutnya sahabat atau kekasih.