Bulan di Bukit

Rafael Yanuar
Chapter #15

Kabar dari Jauh

Peri masih memainkan pianonya saat Theia menulis surat untuk Rion, tetapi sudah tidak diiringi vokal, hanya denting yang jatuh perlahan menembus senyap untuk kemudian redup dan lenyap, dan ia mengenal beberapa lagu di antaranya. Ia berhenti menggerakkan kuas—maksudnya pena—begitu mendengar bait pertama One Summer's Day, yang merupakan lagu tema Spirited Away—yang juga memiliki judul Inochi no Namae. Lagu ini selalu berhasil membuatnya menangis. Sebab, setiap kali menghayati untaian nadanya, ada hujan nostalgia di dalam jantungnya, yang merimbun dan membuatnya harus berlindung dengan membuka pintu kenangan—untuk perasaan-perasaan yang terkadang tak ia kenali namanya—tetapi ia tidak mau memberinya nama.

Dulu, ia hampir tidak pernah mendengar atau melihat Peri memainkan piano, sebab ia selalu menempel pada gitar kuningnya, yang ukurannya hampir terlalu besar untuk tubuhnya yang mungil — dan setelah mengingatnya, ia jadi merindukan sosok Peri yang itu. Tetapi Peri tetaplah Peri, ia hampir tidak berubah, selain menjadi lebih pendiam dan hangat.

Theia menulis hampir segalanya—termasuk perjumpaannya dengan Aira, si malaikat maut yang sekarang dijulukinya Peri Kunang-Kunang, juga perjalanannya menuju Negeri Senja yang pasti membuat pria malang itu ketakutan—ia, seperti Kakek, selalu mewanti-wanti Theia untuk tidak terlibat dengan hal-hal semacam itu. Tetapi tidak adalah mantra yang kuat, yang justru membuatnya tambah penasaran. Ia juga ingin menceritakan mengenai Karmayoga yang merupakan pseudonim Rendra dan karya-karyanya yang baginya sedikit menyeramkan—tetapi urung menuliskannya, sebab ia ragu—barangkali Rendra tidak ingin identitasnya diketahui terlalu banyak orang. Jadi, ia hanya menceritakan mengenai Karmayoga tanpa memberitahu siapa sosok di balik nama itu dan mengulas secara singkat buku Ikan Boddhisattva.

Ia jadi bingung kenapa susah-susah menulis surat jika Minggu depan—saat Natal—ia dapat langsung berjumpa dengan Rion. Ia sudah menyediakan hadiah Natal untuk lelaki itu, tetapi sepertinya ia harus berangkat ke kota untuk membeli buku-buku Karmayoga — barangkali Aira juga mau ikut bersamanya. Ia ingin mengajaknya membeli pizza yang dulu sering dibelinya bersama Kakek dan Nenek, tetapi dia tidak yakin kedai itu masih ada. Sejak musim Covid, mal di kota semakin lama semakin sepi saja, dan bahkan gerai-gerai yang sudah bertahan puluhan tahun, terpaksa menutup tokonya, termasuk toko buku Gunung Agung yang memang serempak gulung tikar beberapa tahun lalu. Malah, toko Gramedia yang tadinya dua lantai, menyusut jadi selantai saja

Rion selalu mendengar apa pun yang dikatakan Theia, se-absurd apa pun. Ia hampir selalu mempercayainya, tetapi mungkin itu karena prinsip hidupnya yang jika dipahami secara sekilas hampir-hampir terasa terlalu naif—untuk mempercayai sesuatu sebelum terbukti sebaliknya. Tentu, ada cara komunikasi yang lebih mudah dan singkat daripada bertukar surat, seperti dengan surel atau media sosial — yang sebenarnya juga tidak dihindarinya. Ia masih sesekali mengirim pesan melalui WhatsApp atau surel, tetapi tak lantas membuatnya berhenti menulis surat. Baginya surat menawarkan kedalaman yang tidak dapat ditemukannya dalam teknologi yang terlalu mengandalkan kecepatan. Surat jauh lebih sabar, lebih tenang.

Saat ia berhenti menulis, barulah ia sadar tidak ada suara apa pun yang terdengar, selain keheningan—dan entah bagaimana ia tahu bahwa keheningan ini berasal dari hutan—terasa begitu purba, seolah-olah ini adalah keheningan yang hadir saat kali pertama Sang Jiwa memijakkan kaki di Bumi—dan mungkin juga yang dirasakan Aira jauh sebelum peradaban perlahan-lahan menggantikan hening dengan jutaan suara dan cahaya sintetis. Tentu ia masih dapat mendengar suara daun dan angin, juga lolong anjing di kejauhan—tetapi, ia merasa begitu sendiri, dan itu tidak masalah. Ia tidak tahan dengan kesepian, tetapi kesendirian hanya membawa satu perasaan, damai. Ia pun memejamkan mata. Ia merasa tidak perlu bermeditasi untuk mencapai keadaan meditatif. Kepalanya tidak mengatakan satu pun pikiran, dan hatinya tidak membuncahkan satu pun getaran. Ia merasa begitu tenang—dan dalam ketenangannya itu, ia merasakan jantungnya sebagai laut, sebagai samudra, sebagai kedalaman yang menyimpan selaksa peristiwa. Ia melihat pulau-pulau tak berpenghuni di permukaan air yang mengambang begitu saja di dalam sunyi. Tetapi ia sepenuhnya sadar. Ia tidak larut dalam ektase. Ia melihat pulau-pulau itu dengan mata batinnya dan melihat pemandangan di seberang jendela yang terkubur dalam bayang-bayang dengan matanya yang lain—yang lebih fana—tetapi keduanya sama-sama nyata. Hutan itu. Laut itu. Kesunyian itu.

Padahal sepanjang hidup ia tinggal di daerah pergunungan yang dekat dengan hutan, dan sehari-hari diselimuti hijau dedaunan, tetapi ketika ia memeriksa hatinya, ia selalu melihat laut, dan langit di atasnya selalu malam hari, diterangi bintang yang tak terbilang jumlahnya. Meski ia tidak benar-benar tahu, ia yakin laut yang tampak adalah yang itu-itu juga, dengan jutaan ombak yang bergerak serentak tapi tidak bersamaan. Ia pun tersenyum. Tetapi laut itu juga selalu berubah—selalu ada yang baru, atau yang lalai ia lihat pada kesempatan lain—tetapi bukan berarti ia selalu mengingat-ingat atau mencatat apa pun yang ada dalam benaknya, ia hanya ingat sepatah-sepatah—bahwa pulau itu tidak ada di sana pada hari kemarin—atau ada, tetapi ia tidak memerhatikannya.

Karena tidak tahu lagi mau melakukan apa, ia pun berbaring. Tetapi berada di tempat yang tidak biasa membuatnya sulit memejamkan mata, dan ia tidak mau terlalu lama memandang layar ponsel yang sudah dipadamkannya sejak pukul enam sore. Padahal ia mengharapkan dapat menghabiskan waktu lebih lama dengan Peri, atau tidur sekamar seperti dulu—di kamar ini—tetapi rupanya untuk kembali ke sana, diperlukan sedikit penyesuaian—dan itu membuat Theia sedikit tersenyum.

Dulu, ketika ia menginap di rumah Peri, ia selalu suka menelusuri perpustakaan di lantai bawah, dan meminjam beberapa buah buku, dan ia bahkan tidak memerlukan izin, ia bisa langsung turun ke lantai bawah, dan mencari apa pun yang ingin dibacanya, hampir tidak ada tembok pembatas. Kalau malam-malam perutnya lapar, ia dapat mengambil sebuah atau dua buah pisang di meja dapur. Tetapi sekarang rasanya canggung, bahkan untuk keluar kamar, dan ia jadi agak sedih karenanya. Padahal Peri pasti tidak melarang—malahan mungkin berharap hubungan mereka bisa kembali seperti dulu. Ia tidak tahu—dan Peri pun begitu—dari mana asal kerenggangan ini—apakah kehilangan dapat membuat kita menjauhkan yang dulu dekat? pikirnya. Lalu ia ingat bagian akhir novel Dataran Tortilla karya John Steinbecck dan merasa begitu relevan.

Tetapi ia selalu punya kenangan, dan mengenang sesuatu yang indah-indah—sekalipun sudah tidak seperti dulu—adakalanya dapat pula mengobati hatinya. Ia dapat melihat dirinya yang masih kecil berbaring di sampingnya, sambil membawa komikk dengan wajah jenaka dan puas. Meski masih duduk di bangku Sekolah Dasar, mudah saja baginya menahan kantuk jika ditemani bacaan yang seru, dan ia ingat ia membaca manga-manga Dragon Ball di kamar ini. Theia tersenyum ketika mendapati, ternyata kamar ini tidak berubah selama apa pun waktu berlalu. Gadis kecil itu menghabiskan dua puluh volume semalaman, dan menyimpan sisanya saat ia menginap lagi di rumah Peri. Ia cukup banyak membaca manga ketika kecil—Dragon Ball, Doraemon, Detektif Conan, dan Cardcaptor Sakura—tetapi berhenti saat SMP, entah apa alasannya. Padahal Kakek ataupun Nenek tidak melarang.

Ia pun memutuskan untuk membaca grafik novel Ikan Boddhisattva, tetapi kali ini secara perlahan-lahan, dan mendapati frame-frame yang digambar terlalu detail itu—dengan panel-panel yang mendeskripsikan jatuhnya waktu secara perlahan—membuatnya hanyut, bahkan bagian-bagian yang awalnya ia anggap seram—yang pada impresi pertama mengingatkannya pada komik Siksa Neraka atau Neraka Dante, ternyata mengandung keindahan, dan ia juga suka memandangi kelopak-kelopak bunga sebagai satu-satunya objek yang diberi warna. Ia juga penasaran seperti apa sosok Orang Suci yang terus-menerus diharapkan para hantu dan yaksha untuk menyelamatkan mereka dari penderitaan, tetapi ia tidak dapat tidak membayangkan sosok Buddha. Tetapi karena matanya sudah sangat berat, ia memutuskan untuk memadamkan lampu dan memejamkan mata, tetapi ia berharap tidur tidak cepat-cepat datang. Uhu burung hantu yang tinggal di bawah atap sudah tidak bersuara lagi, mungkin sudah waktunya pergi berburu, dan lolong anjing terasa semakin jauh saja. Ia mendengar suara kucing – yang dekat – sepertinya berasal dari kebun, dan angin yang berembus di antara daun-daun. Ia mendengar hujan turun perlahan-lahan.

 Namun, alih-alih tidur, ia malah bangkit berdiri untuk kembali duduk di depan jendela, dan dengan sangat hati-hati, seolah tak ingin menjatuhkan sehelai pun suara, membuka pintu jendela pelan-pelan. Ia membiarkan angin malam memasuki ruangan dan membelai lembut rambutnya yang panjang sebahu. Ia memandang hutan yang terletak begitu dekat dengannya, juga stasi Santo Ignatius yang dari kejauhan memancarkan cahaya keemasan yang lembut. Ia bertanya-tanya apakah Aira datang ke rumahnya malam ini—dan mendapati tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Ia sudah meletakkan sehelai kertas di teras, bertuliskan di mana dirinya berada, tetapi ia yakin Aira tidak perlu membacanya untuk tahu di mana dirinya. Ketika ia membayangkan Aira yang senantiasa dikelilingi kunang-kunang, betapa terkejutnya ia saat mendapati gadis kecil itu ada di trotoar—berjalan dengan setengah melompat sambil menyenandungkan lagu Bintang Kecil di Langit yang Tinggi. Ia ingin memanggilnya, tetapi memutuskan untuk memperhatikannya saja. Ia sebenarnya sangat ingin ikut dengannya—dan memastikan apakah ada Tempat Tergelap lain yang dapat ia temukan di ceruk hutan itu. Rasanya sudah lama juga sejak terakhir ia mengunjungi pondok Walden. Ia yakin Aira tidak dapat melihatnya, sebab lampu di kamarnya sudah dipadamkan, dan satu-satunya cahaya yang tersisa tinggal lampu kebun di samping kolam kura-kura. Aira menghilang di balik kabut yang menebal di dekat hutan. Theia jadi bingung, ia bertanya-tanya bagaimana ia dapat mengenali Aira. Ia pun beranjak menuruni tangga – yang terhubung dengan toko buku di lantai dasar. Meski penerangannya hampir sepenuhnya gulita, karena di setiap ruang tersedia jalusi, cahaya dari luar cukup untuk membuat matanya dapat melihat dan meraba-raba. Suasana di dalam toko buku yang serba kelam membuatnya teringat pada novel The Book Thief karya Marcus Zusak, tetapi ia tidak hendak membaca. Ia hanya ingin duduk di teras—entah kenapa.

Ia ingin sekali menyeduh secangkir cokelat panas.

Lihat selengkapnya