Natal tinggal seminggu lagi dan karena ada pemilihan kepala desa, toko pun tutup. Sebenarnya tidak diharuskan tutup, tetapi buka pun percuma, pasti sepi—dan memang sudah seminggu begini, hampir-hampir tidak ada kiriman—jadi setelah ia menggunakan hak suaranya di balai desa, Theia langsung pulang ke rumahnya dan mencari pohon cemara yang ia simpan di gudang. Segera saja ia langsung menemukannya. Ia membuka plastik yang melindungi pohon itu dari debu-debu, tetapi tetap saja karena plastiknya penuh dengan debu yang melekat, ia batuk-batuk ketika membukanya. Sepertinya gudang — yang terletak di belakang toko — di samping garasi, memang harus sesekali dibersihkan. Selain pohon Natal dan setumpukan kontainer, juga ada berbadeng-badeng cat yang umurnya barangkali sudah lewat satu dekade, dan pasti sudah mengeras dan tidak dapat digunakan, kecuali "diblender" dulu. Pohon Natalnya cukup besar—dan berat—mengangkatnya membuatnya terengah-engah. Ia memutuskan untuk meletakkannya di ruang tamu saja tempat Kakek biasa meletakkannya. bukan di kamar belakang. Ia masih mengingat ketika Kakek dan Nenek membelinya di toko ACE Hardware di mal Marlina di kota sebelah, dan membuat seisi mobil menjadi penuh sesak dengan pernak-pernik Natal, tapi tentu saja lampu-lampu neonnya sudah diganti dengan yang baru, dan hiasan-hiasannya sudah menguning karena usia, tetapi masih cukup bagus — dan kini terasa vintage-nya. Ada malaikat mini yang seharusnya bisa menyala dengan lampu pusparona — tetapi ketika ia mencobanya, ternyata sudah rusak — bintang-bintang yang menghias pucuk cemara, bola-bola warna-warni, bintang-bintang kecil, dan pita yang tak lagi kerlap-kerlip. Semuanya disimpan dalam satu kontainer kecil agar mudah digunakan sewaktu-waktu.
Setelah menemukan pohon Natalnya, ia tidak langsung pergi, tapi melihat-lihat isi gudang yang menyimpan segala benda terlupakan. Ia mencoba mengambil salah satu kontainer yang berada di tumpukan teratas. Ada tiga susun kontainer, yang masing-masing susun terdiri atas empat tumpukan — berarti ada dua belas — belum lagi kontainer-kontainer kecil. Isinya beraneka ragam, ada baju, baju masa kecil Theia, mainan-mainan yang sudah tidak terpakai, boneka-boneka lama, hingga buku-buku. Kakek tidak menyumbangkan beberapa di antaranya—seperti baju-baju yang sudah tidak terpakai, atau mainan-mainan tua yang sudah tidak digunakan—padahal Theia berkali-kali memintanya. Kakek menganggapnya—lagi-lagi—artefak kenangan. Tentu, ia tidak menyimpan semuanya, hanya yang "penting-penting", seperti misalnya boneka beruang dan guling kecil yang dulu dijuluki cinta oleh kakek dan neneknya—sebab, Theia tidak mau ke mana-mana tanpa membawa dua kecintaannya itu. Kakek melepas baterai pada mainan-maianan yang berbaterai. Kakek me-laundry terlebih dahulu boneka-boneka yang mau disimpannya. Untuk yang tidak memiliki nilai nostalgia—atau hanya sedikit—ia menyumbangkannya. Untuk yang rusak, ia membuangnya. Jadi, baran-barang yang masuk dalam kontainer ini — "artefak kenangan" — sudah melewati kurasi yang ketat. Tetap saja, jumlahnya mulai terlalu banyak. Terlebih lagi, Theia tidak dapat melihatnya, sebab sulit menurunkannya. Ia butuh bantuan anak lanang untuk menurunkannya. Tetapi rasanya sayang juga kalau dibongkar-bongkar.
Ia harap suatu saat mempunyai anak perempuan untuk merawat "artefak-artefak kenangan" ini, siapa tahu dapat menjadi benda bermanfaar di kemudian hari. Bukankah ketertarikan dunia terhadap benda-benda vintage mulai kembali? Tapi kemudian ia tertawa geli—juga sedikit bersedih—bisakah ia menjadi seorang ibu? Ia berharap Rion segera pulang. Rasanya ia rindu juga kepada bocah itu. Sudah lama sekali ia merantau—sebenarnya minimal setahun sekali ia pulang—dan ia kangen mencurahkan banyak hal kepadanya. Rion pendengar yang baik, dan seringkali ia hanya bertindak sebagai pendengar, tidak menanggapi, tetapi hal itu malah membuat Theia merasa utuh.
Ia masih ingat kali terakhir berjumpa dengan Rion, yakni pada bulan Februari lalu, ketika ia pulang untuk merayakan tahun baru Imlek di rumah keluarganya, dan Ko Rafa—ayah Rion—mengundangnya bersantap Imlek di restoran Ko Ahong. Tentu Peri juga diajak, tetapi ia tidak ada di rumah Peri tidak mengatakan apa pun perihal kepergiannya saat itu, tetapi Theia mafhum. Adakalanya ia memang ingin mengisolasi diri dari dunia—setidaknya satu kali setahun—dengan pergi mengunjungi tempat-tempat yang sepi dan jauh dari segala hiruk dan pikuk. Sebenannya, Theia cukup bingung, sebab desa Kalayangan sudah sepi, apalagi jika ia mengunjungo hutan-hutannya yang berkabut atau bermalam di pondok Walden — tetapi sepertinya sepi yang dimaksud Peri berbeda dengan sepi yang Theia kenali.
Di depan pintu toko, Peri sudah menggantungkan papan tanggal yang mengumumkan berapa lama ia tutup—biasanya seminggu atau sepuluh hari. Theia selalu dapat bertanya kepada Peri mengenai liburan rahasianya.
Tentu, ketika ia duduk di meja restoran bersama keluarga Ko Rafa, ada perasaan enggan di dalam benak Theia, sebab bagaimanapun ia "orang luar", tetapi sepertinya Ko Rafa sudah menganggapnya keluarga sendiri—begitupun anak-anaknya. Meski ia selalu menuliskan surat yang berlembar-lembar panjangnya kepada Rion, pada dasarnya Theia cukup pendiam, jadi ketika lelaki itu ada di hadapannya, mereka berbagi keheningan yang menenteramkan — yang barangkali hanya dimengerti oleh mereka.
Theia berhasil meletakkan pohon Natal di ruang tamu, tetapi dugaannya benar, lampu-lampunya sudah tidak menyala, jadi ia harus membeli yang baru di toko Anugerah Eletkrik. Tetapi sepertinya ia terlalu malas untuk keluar, dan hanya ingin leyeh-leyeh di rumahnya, sembari sesekali mengenang masa-masa Natal pada tahun-tahun yang lampau. Lagipula, toko Anugerah pasti tutup juga sepertinya. Di tokonya juga ada barang-barang elektronik, tetapi tidak lengkap, apalagi yang bersifat sekunder seperti lampu warna-warni yang menghias cemara Natal.
Setelah ia meletakkannya di ruang tamu dan memutar beberapa lagu Natal, ia lantas teringat kepada Aira. Ia jadi ingin memperlihatkan pohon Natal ini kepadanya dan memutuskan untuk memindahkannya ke kamar belakang — termasuk pemutar musik dan beberapa CD Natal, tetapi memutuskan hanya membawa pemutar kaset jinjing saja. Karena di kamar belakang tidak ada pelantang suara, tentu audio yang dihasilkan tidak semerdu di ruang tamu — hanya bawaan mesin pemutar — tapi entah kenapa justru selaras dengan selera Theia. Kaset-kaset yang diputarnya menciptakan suara empuk yang sedikit chorus, tetapi justru membawa efek nuansamatik, seolah-olah mengantarnya kepada masa lalu.