Bulan Madu Pengantin

Rosi Ochiemuh
Chapter #2

Ancaman dan Firasat

Tahun 2023

Bulan pucat bulat sempurna dengan awan-awan berarak kelabu di langit hitam legam seperti arang pada malam Sabtu itu. Angin dingin menari meliukkan tubuhnya di udara sembari menyentuh pohon-pohon dan dedaunan di sekitar perumahan yang sunyinya bagai makam. 

Sebuah rumah tiga tingkat yang mirip kastil berdiri kukuh diapit kanan dan kiri, dua pohon flamboyan berbunga oranye yang mekar. Di sekelilingnya beberapa pohon palem menjulang tinggi bagai penjaga rumah. Empat pohon angsana, tiga pohon trembesi, beberapa pohon kiara payung yang lebat daunnya di area halaman depan dan belakang. Rumah itu nampak perkasa dan menakutkan jika dilihat lebih lama. 

Perempuan paruh baya memakai atasan blus blouson velvet merah tua dipadukan celana palazzo hitam mondar-mandir dalam ruang tamu bercahaya redup sambil menimang-nimang handphone di tangannya menunggu deringnya berbunyi.

Suara detak jam klasik ukiran Jepara berdiri kukuh di hadapannya memancarkan ketegangan dalam sunyinya rumah besar itu. Dering dari gawainya berbunyi. Berita yang sejak dua puluh lima tahun ditunggu, akhirnya datang.

“Iya, halo, bagaimana keadaan Bapak di rumah sakit? Apa ada tanda-tanda dia …” Suara perempuan paruh baya itu terhenti. Namun, dia berusaha mengambil napas panjang untuk menata nada suara dari kegembiraan dalam kalbunya, supaya terdengar getir dan sedih. 

“Apa? Bapak sekarat? Kamu terus berjaga di sana, sampai ada kabar selanjutnya. Jika ada yang bertanya di mana saya, jawab saja dalam perjalanan bisnis ke luar kota. Saya tidak kuat melihat Bapak tersiksa begitu, tolong … saya ingin istirahat. Dengkul ini sampai lemas memikirkan, Bapak,” ucap perempuan paruh baya itu dengan nada suara dibuat terisak, lalu dia mengibas rambutnya.

Dia tersenyum lebar, dan menjatuhkan tatapan tajam pada jam dinding klasik di hadapannya.

“Sebentar lagi! Henri akan meninggalkan semua ini untuk aku. Tidak ada yang akan bisa mengatasnamakan semua harta kekayaannya selain aku. Renata! Istri sah Henri!” teriaknya diakhiri tawa yang keras.

Tawanya menggema ke seluruh ruangan dalam rumah itu. 

Beberapa burung gagak yang bertengger di atap rumah besar itu saling bersahutan, seolah ikut menanggapi kebahagiaan perempuan paruh baya itu, pada detik-detik suaminya bertarung nyawa di ruang ICU.

Hampir dua puluh lima tahun dia menantikan itu semua. Pria yang menikahinya karena rasa kasihan dan cinta. Pria yang tidak bisa lagi membuahi anak dalam rahimnya, dengan hati senang dia terima demi mewujudkan ambisinya. Dia tidak ingin lagi jadi perempuan miskin yang mengemis pada siapapun.

Dia tidak pernah lupa bagaimana sakitnya jadi miskin. Saudara tiri yang kaya itu mungkin sekarang sudah terpuruk karena telah kehilangan segalanya. Harta, anak, suami dan ayah mereka.

Awal dari semua obsesi gilanya itu, terjadi karena ayah tiri yang menikahi ibunya bukan karena cinta, tapi pemanfaatan semata. Betapa dendam dia akan hal itu. Dia selalu menginginkan saudara tirinya hidup menderita.

Lihat selengkapnya