Angin berembus dingin, suasana malam selepas tamu pentakziah satu per satu undur diri dari kediaman Renata. Malam itu langit diselimuti gumpalan awan-awan kelabu, malam itu langit tak biasanya mendung menggantung. Tidak turun hujan pun tak terdengar gemuruh guntur. Bulan tidak kelihatan, tapi anginnya dingin menggigil padahal malamnya belum larut sekali. Kompleks perumahan itu selalu sepi meski malam masih terbilang sore.
Renata merasa lelah bersandiwara di depan para tamu dan pembantu mendiang suaminya. Hanya dua asisten yang tahu sebenarnya wajah asli perempuan itu. Luna dan Mahmud. Asistennya dan informannya yang setia.
Seluruh asisten rumah tangganya di rumah itu jam 5 sore sudah diharuskan untuk pulang ke rumah masing-masing, dan diharuskan datang kembali jam 6 pagi untuk menyiapkan sarapan, dan sebagainya. Renata melakukan perubahan jam kerja pada pembantu rumah tangga yang dulu setia pada suaminya, untuk menjauhkan mereka hingga benar-benar bisa diberhentikan.
Dirasakan suasana benar-benar sunyi. Hanya dia dan tukang kebun bernama Mahmud di rumah itu, Renata menyuruh Mahmud untuk menutup semua pintu dan jendela karena dia ingin beristirahat.
Mahmud mengerti, jika nyonyanya itu akan melakukan pekerjaan di luar logika manusia. Mahmud kadang turut campur dalam mempermudah pekerjaan nyonyanya, dan kadang bayaran yang didapat lima kali lipat dari gaji bulanan. Mahmud tetap tutup mulut selama Renata masih memberinya sesajen bernama uang.
Mahmud akan bersenang-senang dengan uang itu, dia akan mendatangi bar, rumah bordil, untuk menikmati hidupnya. Kelajangannya tidak pernah dituntaskan dengan cara menikah seperti kehidupan orang pada umumnya. Dia masih belum berubah dari masa lalu. Dahulu dia seorang preman pasar, bertemu Renata dan dijadikannya sebagai tukang kebun untuk memperlancar misi menguasai harta suaminya.
“Nyonya, semua sudah saya siapkan, saya lakukan perintah Nyonya. Punten, permisi dulu. Hehe, ada urusan urgent, Nya. Mira yang montok menunggu saya malam ini di rumah susun,” ujar Mahmud pada nyonyanya itu, dan beberapa lembar uang ratusan ribu diberikan Renata kepada Mahmud.
"Terima kasih, kerjamu selalu bagus. Jika terus begitu, saya tidak rugi membayarmu. Ya sudah. Tinggalkan saya. Pastikan tidak ada satu orang pun yang ada di sekitar rumah ini.”
“Paham, Nyonya!”
Lelaki brewokan itu pergi dengan sarung yang dililit di tubuh. Topi terbalik dikencangkan di kepala, ciri khasnya. Dia ke luar dari rumah itu lewat pintu pagar belakang dan menguncinya kembali.