Matanya terbelalak. Gagang keris kecil itu masih dipegang erat walau tangan dan tubuhnya bergetar. Cairan pekat merah dalam mangkuk berkecipak-cipak, matanya mendelik pada apa yang dia rasakan. Seharusnya dia berhasil malam ini membunuhnya.
Seharusnya dia berhasil untuk membuat musuh berat dalam hidupnya mati mengenaskan, seperti yang dia lakukan dari jauh pada satu per satu keluarga perempuan itu. Entah mengapa malam ini kekuatannya seolah ada yang menghambat.
Mulutnya bertambah berisik dan berusaha untuk mengulangi rapalan mantra-mantra. Hanya suaranya yang terdengar, tidak ada lagi suara lain yang bergema. Mungkin beberapa makhluk tak kasat mata telah meninggalkan ruang rahasianya. Apa dia telah kalah? gumamnya kesal.
Pertahanannya makin sempit, malam ini dirasakan tidak berhasil meluncurkan serangan mendadak pada perempuan tua itu. Keris di tangan lalu jatuh terpelanting ke lantai, begitu juga tubuhnya terhempas ke tembok dengan posisi terduduk miring menyuruk. Dia terbatuk sembari menekan dada, kemudian perlahan beranjak bangun dari tempatnya jatuh dan berdiri. Cairan pekat merah dalam mangkuk berubah jadi hitam.
“Sial! Kurang ajar!” teriak perempuan paruh baya itu. Teriakannya bergema memantul-mantul ke seluruh ruangan dan lorong-lorong.
“Gagal lagi! Siapa lagi yang membantu perempuan bodoh itu!” teriaknya gemas.
Dia mendesis, merasakan punggung dan persendian lengan kirinya nyeri. Lantas dia berusaha untuk merangkak berjalan perlahan meninggalkan tempat terkutuk itu.
“Mahmud, awas kamu! Kerjanya teledor sekali malam ini. Bisa-bisanya aku gagal dan merasakan kesialan ini sendiri. Setelah tiga tahun aku mempersiapkan semua ini!” gerutunya lagi.
Begitulah Renata, jika dia mengalami hal yang tidak diinginkan, mulutnya akan menggerutu dan menyalahkan siapa saja yang ingin disalahkan.
Padahal sebelum dia melakukan keinginan untuk menghancurkan seseorang, Mahmud telah melakukan kerjanya sesuai pesanan sang nyonya. Lelaki brewokan itu tidak pernah abaikan perintah nyonyanya. Dia tahu betul karena sudah belasan tahun melakukan tugas berisiko itu.
Renata melangkah tertatih menuju lorong-lorong ruangan untuk sampai ke pintu keluar dari ruang rahasianya. Malam ini mungkin sudah sangat larut dan sebentar lagi pagi datang. Setelah dia keluar dari ruang rahasia, tidak berhenti mulut perempuan itu mengumpat.
Mungkin jika semua benda mati yang ada dalam rumahnya bisa bicara, tidak akan menerima ucapan buruk perempuan paruh baya itu. Mungkin, semua benda mati itu akan berbalik menyerang umpatannya.