Tahun 2023.
Hari pernikahan hampir di depan mata. Mereka telah menyiapkan semua kebutuhan untuk acara akad nikah tersebut. Hanya akad nikah dan resepsi sederhana. Marko dan Elis menemani Amora untuk berziarah ke makam keluarga besar ayah kandungnya. Arum tidak diajak karena bisa kelelahan. Balita imut itu ditinggal sebentar pada nenek dan sepupu-sepupunya. Arum sudah terbiasa dekat dengan keluarga besar ayahnya.
Pagi sekali mereka berangkat ke Jakarta lewat tol Cikampek, supaya tidak pulang kesorean. Rencana awal akan pergi ke rumah Umi Sakdiyah pun batal, karena Umi dan suaminya sedang ke luar kota menjenguk mertua Umi yang sakit keras. Jadi undangan dilakukan via telepon saja, mereka memaklumi.
Sesampai di depan gerbang halaman Pemakaman Tanah Kusir, mereka turun dari mobil. Amora menenteng keranjang berisi kembang tujuh rupa dan bunga lili segar empat ikat yang dibeli di sekitar makam. Elis menjinjing dua kendi kecil berisi air. Mereka berjalan setapak menelusuri pemakaman ditemani satu penjaga makam membimbing jalan, sembari mencari makam yang akan diziarahi.
"Yang ini, Pak, makamnya?" tanya Penjaga Makam menunjuk empat makam keluarga berjejer, dengan jempolnya. Marko mengiakan.
Empat makam yang sudah dipugar semua oleh Marko setahun lalu. Kuburan keluarga besar ayah kandung Amora itu sekarang nampak lebih baik. Dipagari dan diganti batu nisannya dengan keramik yang tercetak nama mendiang.
Kuburan kakek—Gunadi, nenek, ayah kandung, dan pamannya. Mula-mula mereka duduk pada dudukan semen batas makam. Marko memimpin doa dan zikir yang biasa dibaca ketika ziarah ke kuburan. Selepas itu Amora menaburkan kembang tujuh rupa di atas tanah makam satu persatu. Disusul setelahnya Elis menyiram air dari kendi.
"Amora, datang kemari untuk menjenguk Kalian. Sekaligus ingin memberitahu bahwa akan menikah. Aku akan menikah di rumah itu. Rumah Kalian. Aku janji, akan mengembalikan lagi kehangatan, menebarkan cinta di sana bersama orang yang kucintai," ucap Amora seolah sedang berbicara dengan keluarga besar ayahnya.
Marko dan Elis terpaku saja mendengarkan. Namun, dalam hati keduanya menyimpan kata-kata yang tak akan pernah diucapkan di depan Amora. Khususnya Elis yang masih bersalah karena dulu nekad meninggalkan ibu mertuanya dan membiarkan suaminya tenggelam dalam lumpur dosa. Itu semua dilakukannya karena tidak tahan dengan penderitaan yang selalu diberikan di sana. Namun, takdir buruk tak bisa dihindari, yang terjadi, terjadilah tanpa kuasa diri.
Marko pun sama, masih merasa bersalah pada mendiang keluarga besar ayah kandung Amora. Di hatinya terdalam berucap, Marko berjanji akan membahagiakan Elis dan bertanggung jawab jadi ayah yang baik untuk Amora dan Arum.