Setelah hampir melalui berbagai hal, baik dan buruk. Kamu dan aku akhirnya duduk di pelaminan. Kupandangi cincin emas polos yang melingkar di jari manisku. Tanda ikatan antara kita telah menyatu.
"Amora." Kudengar suaramu berbisik, aku akan pura-pura tak mendengar karena hari ini sangat malu memandangmu, duduk lebih dekat seperti ini.
"Amora ... Amora," bisiknya di sampingku. Dasar, Kusma. Disini ramai, mengapa memanggil begitu. Duh, dadaku jadi berdebar lagi. Aku menunduk saja, menarik napas panjang.
Lelah juga leher ini menunduk terus, akhirnya mendongak juga ke depan tapi tak mau menoleh padanya.
"Amora. Kamu dengar aku tidak?" tegurnya lagi. Aku tersadar karena nada suaranya terdengar lemah. Aku menoleh padanya.
"Iya, ada apa, Kusma?" belum sempat melanjutkan kalimatku. Terlihat wajah suamiku berkeringat banyak, padahal dua kipas angin menyala di kanan dan kiri kami. Kusentuh keningnya perlahan. Apakah dia sakit? Ya Allah.
"Ada apa ini? Mengapa wajahmu berkeringat banyak begitu. Kamu sakit, ya?" tanyaku panik. Eyang dan keluargaku yang lain sedang berada di depan rumah menemani tamu yang menikmati hidangan, dan mengobrol.
Tangannya kupegang dan terasa dingin. Mengapa tubuhnya dingin? Apa dia belum makan pagi ini? Atau memang dia lagi sakit tapi ditahan.
"Kamu sudah makan belum, Kusma?" tanyaku. Aku menyentuh beberapa bagian tubuhnya, seperti tangan, dahi, dan perutnya untuk tahu apa yang dia rasakan.
Kusma mengangguk, itu berarti dia sudah makan. Lantas mengapa tubuhnya dingin sekali? Aku berusaha mencari sesuatu untuk menolongnya. Di sekitar kami ada dua sepupuku yang sedang berbincang dengan sepupuku yang lain. Kupanggil mereka.
"Ada apa, Mbak?" tanya Ani–sepupu perempuanku memandangi kami berdua.
"Suamiku, tubuhnya berkeringat dan dingin semua. Bisa minta tolong carikan minyak angin, atau obat?" ujarku meminta tolong.
Ani dan sepupuku yang lain jadi ikutan khawatir. Mereka langsung pergi mencari apa yang aku butuhkan untuk menolong Kusma.
Beberapa saat kemudian keluargaku merasakan ada yang tidak beres pada suamiku. satu per satu datang dan melihat keadaan Kusma yang masih berpakaian setelan jas. Tubuhnya yang dingin mulai gemetaran. Entah mengapa tiba-tiba dia bisa mengalami hal itu. Padahal sudah kutanya, apa sebelum itu dia belum makan? Atau dia punya maag dan asam lambung? Kusma menggeleng, jawabannya tidak ada.
Ayah, Ibu, dan Eyang mendekat. Ayah lalu merebahkan Kusma di sofa panjang yang ada di sebelah bekas kamarku dulu. Aku duduk di sebelahnya, membuka kopiahnya, dan kepalanya dengan rambut yang basah keringat itu kurebahkan di pangkuanku.