Apa yang terjadi padaku tadi, Amora?" tanya Kusma setelah dia sadar. Hampir 4 jam tertidur pulas.
Aku sudah mengganti pakaian pengantin dengan gamis panjang dan hijab bergo. Sedangkan Kusma masih berbalut kemeja putih dan celana denim hitamnya.
Dia tertidur di sofa panjang. Tepat pukul empat sore, sudah masuk waktu ashar. Ibu, Arum, Nenek, dan dua saudara sepupu perempuanku sudah pulang lebih dulu. Sebelum itu mereka pamit pada kami. Ayah, dan dua pamanku masih di sini.
Berbincang-bincang dengan Pak Wit. Kulihat Eyang Titik juga ada di antara mereka. Mungkin membicarakan kejadian yang menimpa suamiku. Kusma terlihat sudah bugar kembali, dan dia merasa tidak enak dengan Ibu dan nenekku karena kejadian di luar kuasanya.
Namun, bukan ibuku jika dia tidak berbesar hati. Ibu memaklumi dan malah mengatakan kalimat yang menenangkan perasaan kami. Nenekku pun sama. Berpesan, agar aku baik-baik menjaga diri dan rumah tangga yang baru berumur satu hari ini.
Sebelum mobilnya berangkat, aku menciumi Arum–adik kecilku berkali-kali. Pastinya akan kangen selalu padamu, Dik, gumamku dalam hati. Gemas ingin memeluk, mencium dan mencubiti pipinya yang tembam itu. Dia tersenyum padaku dan melambaikan tangannya lalu masuk ke dalam mobil bersama Ibu.
Arum berpikir, mungkin dia sedang berpergian dan kakaknya ini pasti akan menyusul pulang ke rumah. Aku memandangi mobil yang berjalan pergi meninggalkan rumah ini. Perasaanku tidak menentu karena sekarang mereka tidak bersamaku.
Kusma berdiri di samping memegang tangan ini dan menepuk pundakku dengan lembut, memahami apa yang kurasakan. Dia mengajak aku untuk kembali ke dalam rumah. Ayah memandangi kami dari kursi tempat duduknya, bersama paman dan kerabat Ayah lainnya.
"Kamu tidak ingat apa yang terjadi dan apa yang kamu rasakan?" jawabku merespon pertanyaannya dengan pertanyaan juga.
Matanya mendelik lalu menggeleng. Aku jadi gemas dengan jawaban polos itu.
"Terus, kamu juga nggak ingat momen penting hari ini, sudah mengucapkan Ijab Kabul di depan Pak Penghulu?” sentakku, kemudian matanya mendelik.
"Ya, kalau itu sih aku ingat, Sayang. Mengucapkan Ijab Kabul, dan membaca ikrar pernikahan yang diarahkan Pak Penghulu," jawabnya terkekeh.
Aku langsung memukul bahunya karena gemas. Dia mengeluh sakit. Hampir saja jawabannya membuat aku kesal, jika dia tidak ingat apa yang terjadi dan merasakan sakit di badannya. Maksudnya tidak ingat semua momen indah hari ini, ya aku kesal. Aku cemberut terus di depannya. Dia malah menggoda.
"Kamu kalau cemberut begitu, aku malah makin gemas, tahu," ujarnya, hidungku dipencet dengan jarinya lalu kepalaku diusapnya lembut.
"Kamu itu sudah mencemas aku, bahkan Eyang sampai histeris tadi lihat keadaanmu yang lemas dan tak berdaya. Sebelum Itu terjadi apa yang sebenarnya kamu rasakan?" tanyaku kemudian, sambil mengeluhkan perasaan yang tidak karuan sejak tadi.