Perempuan tua itu berdoa selepas salat. Apa yang dialami cucunya itu semakin meyakinkan dia, jika Tata alias Renata tidak main-main. Dia merasa adiknya itu sebentar lagi akan melakukan hal gila yang membahayakan Kusma dan Amora.
“Mbak, aku tahu jika Mbak tidak punya musuh. Hanya, apa yang terjadi dengan Kusma waktu itu, bukan sesuatu yang wajar. Kiriman seseorang, kurasa orang yang menyerang Kusma, sudah paham kelemahannya,” ujar lelaki tua yang dipanggil Pak Wit.
Bu Titik menelan ludah lantas mencerna ucapan adik iparnya itu. Sebelum apa yang menimpa Kusma di hari pernikahan. Pada malam waktu itu, Bu Titik juga diganggu oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Dia sudah menduga, jika bukan dia yang diserang, tapi Kusma. Perempuan tua itu terpaku dan pikirannya terus berjalan memikirkan bagaimana cara menghindari kegilaan adiknya yang bisa datang kapan saja.
Apakah dia harus mendatangi rumah Tata dan memohon untuk tidak mengganggu lagi kehidupan dia dan cucunya. Bila perlu dia rela memberikan nyawanya untuk perempuan itu.
“Mbak, aku yakin kamu pasti tahu siapa yang melakukan itu, tapi kamu tidak mau berurusan panjang dengan orang itu meskipun di antaranya sudah terlanjur jadi korban," ujar Pak Wit. Bu Titik terperanjat, menebak jika adik iparnya itu sudah tahu rahasianya.
“Kamu hanya menebak saja, Wit,” kilah Bu Titik menyela, supaya adik iparnya terpancing dan mengakui bahwa telah lama tahu tentang rahasia yang hampir dua puluh tahun ditanggungnya sendiri.
Pak Wit menghela napas. Kening lelaki tua itu berkerut dan wajahnya murung.
“Mbak kira saya tidak tahu perkara ini sudah lama belasan tahun lalu. Sebelum kakakku meninggal dunia. Dua hari sebelumnya dia mengatakan masalah itu saat berkunjung ke rumahku, Mbak. Dia memintaku untuk menjagamu dan Kusma. Juga merahasiakannya, Mbak,” tukas Pak Wit dengan manik matanya yang berkaca-kaca, menyiratkan rasa terpukul mendalam dibalik perkataan itu. Membuat lawan bicaranya terpaku tak bisa mengelak lagi.
Tubuh Bu Titik gemetaran, dan terpasung di tempat dia duduk. Ternyata suaminya sudah lama memberitahukan masalah yang berusaha dia disimpan sendiri.
Hatinya sedih, masalahnya rahasia itu adalah aib adiknya sendiri yang harus dia tutupi. Jika dia punya kekuatan besar, dia ingin mengendalikan Tata. Memberi kesempatan berkali-kali untuk Tata agar adiknya berubah. Namun, apa daya, dia hanya manusia biasa yang mengandalkan kekuatan Sang Pencipta, mengemis dan memohon dengan doa untuk minta perlindungan.
Di hatinya selalu bergema pertanyaan-pertanyaan tentang, mengapa adiknya menganggap dia musuh? Memang, dia dan Tata yang beda jalan lahir, beda orangtua. Namun, tidak bisakah Allah menyatukan dia dan Tata yang terikat bersaudara untuk hidup rukun.
Mengapa, ya Allah? gumam perempuan tua itu. Tanpa sadar dia menangis lagi. Diseka air mata itu. Pak Wit tahu kakak iparnya itu menangis. Dia tidak bisa mencampuri lebih jauh. Dia ingat apa kata mendiang kakaknya sebelum meninggal dunia, “Wiwit, pokoknya kamu jangan bertindak lebih jauh berurusan dengan adiknya Titik. Kamu tolong bantu dia dari jauh. Aku tahu, kamu orangnya bersih, rajin ibadah, dan jangan membalas apa pun yang terjadi padaku nanti,” ujar kakaknya.