Renata tersenyum licik, dia sangat mengenal siapa Luna dan tidak mungkin menolak perintahnya itu. Luna sedikit bimbang, apa pun yang diperintahkan nyonya besarnya itu, selalu dia kerjakan dengan mulus tanpa rintangan.
"Kamu mau, kan membantuku? Kali ini aku akan memberikan separuh harta mendiang suamiku untukmu. Akan tetapi jika gagal, kita berdua akan celaka," ujar Renata kembali.
"Begini, apa tidak sebaiknya kita culik saja pemuda itu, kemudian Bu Renata bisa melakukan keinginan itu dengan leluasa," ucap Luna menanggapi.
"Luna…, Luna. Kalau pakai cara begitu sudah dari dulu kulakukan. Masalahnya cara begitu akan jadi runyam, mudah tercium aparat polisi. Habislah kita," tukas Renata dengan tatapan sengit.
Luna terdiam, mengembus napas. Iya juga, jika pakai cara begitu mudah, nyonyanya mungkin sudah lama melakukan itu. Maunya apa, bosnya ini, pikir Luna bingung.
Hampir satu jam mereka berada dalam restoran. Sarapan pagi sudah tandas. Ada yang kurang selepas itu. Mereka belum masuk ruang bersenang-senang, ruang karaoke yang ditemani penyanyi pria tampan sambil minum wine sedikit-sedikit.
Renata bertanya di mana ada pesta yang dibilang Luna tadi saat di rumah. Luna menjawab, pesta ulang tahun anak pejabat dewan daerah yang juga teman bisnis saham Luna. Di sana akan banyak sekali teman-teman selebritis dari Jakarta dan para koleganya Dewan, serta teman-teman anaknya dewan yang ulang tahun. Anak pejabat itu sangat tampan, cerita Luna.
"Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus rajin menghubungi aku, dan mencari informasi cucunya Titik. Sembari mengatur siasat. Ingat, hanya kita berdua saja. Jangan libatkan orang dalam, si Mahmud. Aku merasakan jika lelaki hidung belang itu bermuka dua," ucap Renata lagi dan menghabiskan minuman dalam gelasnya.
Luna mengangguk dan tersenyum tengil, dalam hatinya bersyukur jika Mahmud brengsek itu tidak dilibatkan. Komisi yang diterimanya dari Renata, tentu lebih besar. Kemudian mereka berdua beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju ruang karaoke VIP.
*****
Sementara itu di tempat berbeda, rumah Amora. Pada pagi yang agak redup, hari pertama pasangan pengantin baru. Kusma dan Amora masih nyaman menginap di rumah itu. Bu Titik sedang membereskan rumah dengan menyingkirkan barang sisa dari hajatan pernikahan. Tiap ruangan dibersihkan olehnya, Amora melihatnya jadi tidak enak hati.
"Eyang, sudah, jangan melakukan semuanya. Kan, ada Amora yang bereskan," tegur gadis itu sembari membuntuti Bu Titik sedang berbenah.
"Tidak apa-apa. Kamu bisa melakukan pekerjaan yang lain," ujar Bu Titik tanpa menoleh sedikitpun pada gadis itu, karena pandangannya hanya fokus pada hal yang harus dibereskan.
"Amora sudah siapkan sarapan pagi buat kalian. Cuma nasi goreng sama telur dadar," ucap Amora lagi.
"Kalau begitu, suruh suamimu sarapan sama Pak Wit dan yang lain, ya, Amora," pinta Bu Titik.
Amora mengiyakan perintah nenek suaminya itu. Kusma sudah mandi setelah subuh, karena dia akan kembali bekerja di perpustakaan sekolah di dekat rumah. Penjaga sekaligus pengurus perpustakaan.