Bulan Madu Pengantin

Rosi Ochiemuh
Chapter #18

Kegelisahan Di Hujan Pertama

Mendekati Oktober di tahun ini cuaca tidak menentu. Terkadang panas, lalu tiba-tiba hujan. Aku menunggu Kusma pulang dari jam kuliahnya. Sudah lepas waktu magrib tapi dia belum pulang ke rumah.

Lima hari sudah kami tinggal bersama. Eyang Titik sepertinya masih bolak-balik dari rumah ini ke rumahnya. Aku jadi tidak enak hati.

Kuminta dia untuk tinggal selamanya di rumah ini, cukup besar untuk kami bertiga. Eyang Titik bilang, belum bisa meninggalkan rumah mendiang suaminya dengan banyak kenangan separuh hidupnya. Apalagi sampai harus menjual, Eyang tidak akan pernah melakukannya.

Aku harus bagaimana ya? Eyang Titik serasa tidak kerasan tinggal di rumah ini bersama kami. Kuperhatikan dari wajahnya itu, dia kepikiran rumah lamanya yang sering kosong. Namun, dia juga tidak mau meninggalkan aku dan Kusma berdua saja di rumah ini. 

"Bukannya Eyang tidak mau meninggalkan kalian berdua di rumah ini agar mandiri. Bukan itu. Eyang merasa punya tanggung jawab terlebih sama ibumu," imbuhnya. 

Kupikir-pikir lagi, Eyang jadi terbebani karena permintaan ibuku waktu itu. Walau sebenarnya aku tidak mengapa ditinggal di rumah ini bersama Kusma. Kami bisa saling menjaga dan bekerjasama. 

Jadi, sebaiknya aku harus bersabar untuk membiarkannya begitu. Walau aku tidak tega karena kondisi Eyang Titik tidak seperti pertama kali kukenal yang bugar dan energik. Tubuhnya terlihat makin lelah. 

Saat ini Eyang Titik masih bersamaku di rumah ini, dia mengajakku berbincang-bincang di ruang utama sambil menonton televisi. Siaran berita, sinetron, dan acara yang membuat rumah ini tidak terasa sepi. 

"Memang Kusma akan kerja di mana, Amora?" tanya Eyang Titik waktu itu saat kuceritakan bahwa Kusma diterima bekerja di perusahaan swasta. 

"Kabarnya di kantor pemasaran kontraktor perumahan baru, sebagai administrasi, Eyang. Sesuai bidangnya Kusma," jawabku dengan riang. 

"Alhamdulillah, semoga berkah rezekinya," ujar Eyang dan tersenyum padaku. 

Kadang aku sering menemukan dia duduk di depan beranda melamun sendiri. Kedua matanya berkaca-kaca. Entah mengapa, aku merasakan bahwa Eyang menyimpan beban. Seperti beban pikiran yang berat, mungkin. Hanya saja, dia sudah terbiasa memendam itu sendirian. 

Pantaslah suamiku selalu mengkhawatirkan neneknya itu. Setiap saat, Kusma selalu mendahulukan neneknya daripada dirinya sendiri.

Ingin aku menelusuri lebih jauh tentang Eyang Titik, menanyainya. Mengapa dia selalu kudapati melamun sendiri. Apa yang sedang direnungkan? Sedangkan kemarin dia bilang bahwa dia sangat bahagia cucunya telah menikah. 

Kusma belum pulang dan hujan turun perlahan kemudian terdengar menderas di luar sana. Aku lalu menyiapkan makan malam untuk disajikan di ruang makan, di atas meja panjang. Eyang Titik kemudian datang membantu. 

"Kusma belum pulang, ya? Tumben lama, Amora," ucap Eyang Titik, jadinya aku resah juga. 

"Iya, Eyang. Mungkin jalanan sedang macet. Dia juga belum memberi kabar dari telepon," sahutku. 

Hari ini dia pulang terlambat, entah mengapa aku sedikit resah. Padahal baru sehari Kusma telat pulang. Aku menarik napas sembari memandangi sajian makan malam yang sudah tertata di atas meja makan. 

Lihat selengkapnya