Kurasakan desah napasnya sekarang. Hangat itu makin dekat, panas itu masih menjalar di punggung. Apakah akan terjadi sesuatu antara aku dan dia?
Jantungku semakin berdegup dan kecepatannya tak bisa kukendalikan. Tangan kekarnya mulai menyentuh lenganku, suara hujan gemericik masih terdengar.
Televisi di hadapan kami entah acaranya sudah tidak jelas. Malam yang dingin seharusnya menggigil, tetapi aku mulai gerah, terasa panas.
Hampir bersentuhan kedua bibir kami, tiba-tiba terdengar nyaring suara pecahan yang terjatuh. Entah apa, aku dan Kusma tergeragap. Jantung yang berdegup kencang tadi rasanya mau copot. Kami menghela napas bersamaan, saling bertatapan dalam diam.
“Kusma, itu suara apa yang jatuh?” tanyaku berbisik.
Kusma membenarkan posisi duduknya menghadap ke depan dan kedua matanya mengitari sekitar dalam diam. Aku memegangi tangannya erat, raut mukanya seolah mengatakan bahwa aku harus tenang dan jangan takut.
“Kamu mau ke mana?” tanyaku, sambil menahan lengannya tapi masih mencengkeram erat.
“Aku mau lihat periksa, suara yang jatuh dari mana. Tadi kedengarannya dari arah kamar nenekku,” jawabnya pelan.
Cara kami menenangkan diri dengan memelankan suara saja saat bicara.
Kusma melangkah menuju asal suara tadi, dan aku berada di belakangnya.
Langkah kami mengendap-endap supaya hati-hati karena suara itu mengingatkan kami dengan riwayat rumah ini sebelumnya.
Aku mulai terbayang bagaimana waktu itu, kejadian nahas dan menyeramkan di rumah ini terjadi.
Setiap jengkal kaki yang melangkah, tatapan suamiku sambil memperhatikan sekeliling.
Entah barang apa yang jatuh, tapi belum kami temukan. Di dapur juga tidak ada barang yang jatuh. Semuanya masih tertata rapi.
Kami pun berpikiran sepertinya di kamar Eyang, lalu kami buka pintu kamarnya pelan dengan mengendap-endap.
Dan memang kamu pesankan Eyang, jika tidur kamarnya jangan dikunci karena dia tidur sendirian. Kamar itu bekas kamar kedua orangtuaku dulu.
Setelah terbuka, lampu tetap menyala terang. Kami masuk perlahan dan menemui Eyang tertidur pulas. Tidur menghadap pintu, dan napasnya teratur sekali ketika Kusma mengecek napas Eyang. Tidak ditemukan barang apa pun yang jatuh. Jendela kamar terkunci rapat dan tertutup gorden dengan rapi.
Lantas kami keluar dari kamarnya. Kusma dan aku saling pandang menebak jika suara itu mungkin ada dalam kamar kami.
Ketika kami masuk ke kamar. Lampu masih menyala terang dan semuanya rapi, aku tersadar saat melihat bingkai kecil foto pernikahanku dan Kusma tercerai berai kacanya di lantai keramik putih, hampir terinjak oleh telapak kaki Kusma jika saja tidak segera kuberitahu.
“Ya Allah, mengapa foto pernikahan kita bisa jatuh, ya, Sayang?” gerutu suamiku.