Bulan Madu Pengantin

Rosi Ochiemuh
Chapter #30

Permainan Dimulai


“Luna, kamu pintar dan licik. Itu yang selalu kusukai darimu,” gumam Renata sendiri di halaman rumahnya yang luas.

Duduk di bangku kayu panjang sembari bermain dengan anjing-anjing peliharaannya jenis ras pug. Ada 4 ekor yang dia pelihara dari jenis yang sama dengan warna bulu-bulu yang berbeda. Warna apricot, hitam, silver, dan fawn.

Namun, Renata tidak suka memelihara kucing, lantaran hewan berkaki empat itu dahulu adalah hewan kesayangan kakak tirinya. Jadi, dia tidak suka dengan kucing dan merasa jijik jika harus mengelus bulunya.

Kucing hanya tempat pelampiasan kemurkaannya. Jika ada kucing kampung yang masuk ke pekarangannya, dia akan mati. Begitu pula saat dia membunuh kucing yang ikut masuk ke rumah kakak tirinya itu dari pintu belakang bersamanya. Dicabiknya paksa perut si kucing hingga seluruh perutnya keluar.

“Pugi, Sayang. Anak-anak manisku, hari ini kita sudahi mainnya. Karena aku akan melakukan permainan yang sangat menyenangkan. Sebentar lagi, orang yang kita tunggu untuk masuk ke ruang rahasia akan segera datang ke sini,” ucap Renata pada anjing-anjingnya.

Lantas dia memanggil pembantu rumah tangganya untuk memasukkan peliharaannya itu ke rumah anjing yang agak luas dari rumah anjing manapun di kota ini.

Besok dia akan bertemu langsung dengan anak muda itu. Luna membuatnya senang. Tiba-tiba Mahmud berdiri di hadapannya, dan Renata sedikit kaget sekaligus gusar.

Lelaki brewokan itu berdiri di hadapan Renata dengan ciri khas, memelintir ujung kumis. Sementara nyonyanya itu mendongakkan wajah dengan raut gusar menatap tajam ke arahnya berdiri. 

“Kamu! Datang-datang tidak salam, tidak sopan sekali berdiri di depanku begitu!” pekik Renata emosi.

Mahmud langsung beringsut mundur dari tempat dia berdiri, berjalan ke pinggir bangku panjang tempat duduk nyonyanya dan berkata, “maaf, Nyonya. Atas ketidaksopanan saya menghadap Nyonya.”

“Langsung saja, ada perlu apa kamu menemuiku?” cecar Renata bertanya pada Mahmud yang cengengesan.

“Anu Nyonya, akhir-akhir ini pekerjaan saya berkurang. Apa Nyonya masih membutuhkan tenaga dan kejahatan, Saya? Sudah dua minggu saya tidak pernah dipanggil,” keluh Mahmud. Tangannya beralih mengelus jambang lebat yang menghiasi dagunya.

Perempuan paruh baya itu mendengus kemudian terbahak. Membenarkan posisi duduknya menyilangkan kedua kaki yang putih mulus.

“Oh masih butuh pekerjaan dariku rupanya. Kupikir kamu sudah tidak mau uang lagi,” decak Renata, “iya, dua minggu ini saya memang belum membutuhkanmu. Nanti, dua hari kedepan kamu harus siap saya perintah!” 

Mendengar penuturan nyonyanya itu, senyum Mahmud mengembang, “akan tetapi, Nyonya. Saya masih ingin bicara lagi,” lanjutnya tersenyum tengil.

Lihat selengkapnya