Matahari terbenam dari arah barat, jingga memecah cahaya di cakrawala. Sejak sore Amora menunggu suaminya pulang. Seharusnya jam 4 sore jam pulangnya dari tempat kerja dan sampai rumah hanya setengah jam saja. Namun, mengapa belum pulang juga?
Amora terus menghubungi nomor ponsel suaminya, tidak ada jawaban. Tidak diangkat. Sudah sebelas panggilan tidak terjawab dan sudah sepuluh kali pesan yang dikirimkan ke ponsel suaminya. Dia tidak tenang, sedangkan Bu Titik bermalam di rumahnya, sejak sore sebelum magrib sudah berangkat ke sana.
“Kus, kamu di mana sekarang? Mengapa telepon dan pesanku tidak dibalas?” gerutu Amora dan napasnya terasa sesak karena menahan gundah di hati.
Sebelum itu ketika pukul dua belas siang, Kusma sempat mengirim pesan via whatsapp dan gambar lokasi restoran tempat dia makan siang menemani bosnya itu. Cuma foto meja makan yang telah diisi berbagai menu pesanan makanan di restoran itu, tangan jemari bosnya Kusma dan tangan jemari perempuan lainnya lagi.
Pikir Amora, ternyata rekan yang ingin ditemui bosnya itu, perempuan semua. Dilihat dari kuku-kuku dan jemari mereka yang lentik dan putih, menandakan bahwa kedua perempuan yang sedang makan siang bersama suaminya itu cantik-cantik.
Kusma pun bilang dalam pesannya itu, bahwa dia bukan sekadar makan siang bersama dengan mereka, juga untuk membicarakan perkembangan di kantornya juga 2 proyek besar.
****
Perempuan paruh baya itu bertanya pada Kusma sembari makan, “oh iya, Kusma. Saya dengar dari Bu Luna, bahwa kamu ini baru menikah, bukan? Pengantin baru, ya?”
Mendengar itu, Kusma langsung terperangah dan menjawab jika benar dia sudah menikah baru dua minggu ini. Bu Tata memberikan ucapan selamat kepada Kusma. Luna memperhatikan keduanya, sembari menyantap salad pesanannya. Batin Luna, betapa cepatnya pemuda di hadapanku ini menghadapi kematian dan kemalangan karena bertemu dengan nyonya Renata
“Bu Luna, mari kita bahas kembali proyek yang mau dimulai,” pinta Tata. Luna pun menyiapkan berkas-berkas yang sudah dibawanya di hadapan Bu Tata. Lantas mengerlingkan sebelah mata pada bosnya itu.
Mereka berbincang-bincang dan terus bicara hal-hal tentang bisnis kantor, berlanjut ke cerita gosip artis, dan lain-lainnya selain dari kantor.
Pemuda itu mulai tidak nyaman, sudah pukul satu siang tapi bosnya belum juga beranjak dari restoran untuk kembali ke kantor. Bu Luna seolah tenggelam ke dalam masa kejayaan di sekolahnya. Banyak kenangan yang tercipta dari sana.
Bu Tata kemudian meminta Bu Luna untuk membicarakan masalah kantor di rumahnya, agar lebih santai dan bagus hasilnya. Pemuda itu terperanjat sekaligus bingung. Mengapa kolega bisnisnya mengajak untuk melanjutkan rapat di rumah perempuan paruh baya itu? Agak jauh dari kantor. Kusma merasa tidak nyaman, jika terus menemani Bu Luna.
“Jangan khawatir, hanya sebentar Kusma. Setelah itu kamu akan aku antarkan pulang ke rumah. Motormu di kantor sudah aku suruh orang gudang di parkir ke tempat yang paling aman,” bujuk Luna dengan senyum mengembang, saat Kusma tidak enak hati menolak, tapi dia mengangguk.