“Apa, Amora? Kusma sejak kemarin belum pulang?” kedua mata sayu itu seolah mau copot dari cangkang matanya karena terkejut saat kuberitahu jika Kusma belum pulang sejak kemarin.
“Maafkan, Amora, Eyang. Aku bingung mau menghubungi siapa. Sementara ponselnya tidak direspon. Aku sudah menelepon berkali-kali, tetapi tidak diangkat atau dibalas,” jawabku pasrah. Dadaku ikut berdegup kencang, merasakan jika telah terjadi sesuatu pada suamiku.
“Ini yang aku khawatirkan, jika dia tidak selalu bersamamu, Amora,” tukas Eyang semakin membuat aku merasa bersalah.
“Apa yang sebenarnya dikhawatirkan Eyang? Apa tentang rahasia itu?” tanyaku penasaran. Sejak waktu kejadian malam mengerikan itu di rumahnya, dia tidak mau bercerita.
Dia tercenung dan sikapnya berubah gugup di hadapanku. Sudah kuduga, ada yang disembunyikan dari Eyang Titik. Kejadian diluar nalar sudah kulihat dengan mata kepala, waktu hari pernikahan itu terjadi pada Kusma, di rumahnya saat kami mendapati tubuh Eyang tergeletak di lantai kamarnya.
Terlihat juga beberapa bekas hitam, seolah bekas itu dari jari-jari. Saat kuhapus tidak bisa, seperti bekas luka cengkeraman. Waktu dia tidak sadarkan diri di kamarnya. Aku pikir itu biasa, setelah dipikir lagi itu sangat aneh.
“Begini, Amora. Sebetulnya sebelum kamu menikah dengan Kusma, Eyang ingin bicara empat mata padamu, juga ayahmu. Rahasia apa yang selama ini aku sembunyikan selama belasan tahun, Amora,” tutur Eyang, dan membuatku terkejut.
Aku ternganga, dan merasa itu sesuatu yang sangat serius. “Apa itu, Eyang?” tanyaku kemudian yang disertai dengan rasa penasaran.
Jantung ini berdebar tidak karuan. Semoga rahasia itu tidak menyangkut dengan suamiku dan keselamatannya.
Eyang kemudian menyuruhku untuk masuk ke dalam dan dia ingin bicara dalam kamar bekas kedua orangtuaku. Menyuruhku duduk tenang di atas kasurnya, menyamping. Dia menepuk punggungku dengan pelan dan beranjak sebentar, menuju lemari pakaian bekas ibuku, dan membukanya. Dia mengambil sesuatu di dalam sana. Sebuah amplop coklat segiempat dan kembali menghadapiku.
“Amora, sebetulnya aku ingin memberikan surat ini padamu dan Kusma. Supaya kalian tahu, rahasia apa yang sudah belasan tahun aku simpan. Itu adalah penyebab keburukan datang ke dalam keluargaku. Mengapa selama ini aku simpan erat dari cucuku. Mengapa aku tidak memberitahunya,” ucap Eyang Titik sembari memberikan amplop itu padaku.
Lantas kuterima dengan perasaan bingung, tercenung memandangi amplop coklat darinya. Apakah aku harus membuka dan membaca isi surat itu? gumamku sendiri. Termenung memandangi amplop segiempat itu.
“Bukalah, kamu baca dengan tenang, jangan berpikir apa-apa sebelum bacaan suratnya selesai,” pinta Eyang dengan senyum. Dia lalu undur diri untuk menunggu di luar. Dia tak mau melihatku membaca surat darinya itu.
Surat itu laksana pesan atau amanah yang mesti aku terima atau harus dilaksanakan, membuat hati tidak menentu. Kubuka perlahan dengan debaran di dada yang sudah tidak normal lagi detaknya.
Amora, maaf. Jika aku memberikan surat ini, menuliskan keresahan yang selepas membacanya bisa membuatmu menyimpan beban. Maafkan, Eyang.
Dahulu, aku punya adik perempuan. Adik yang datang setelah ayahku menikah lagi saat usiaku dua puluh tahun. Adik tiri yang sangat lusuh keadaannya kala datang ke rumah kami. Aku pikir, dia memang anak dari ibu tiriku yang berbeda ayah. Namun, ketika ayahku mengembuskan napas terakhirnya di saat adik perempuanku itu begitu kejam sampai tidak mau melihat ayahnya sekarat. Ternyata aku baru tahu, jika dia adik kandungku yang berbeda ibu. Kami masih sedarah.
Kenyataan sebenarnya adalah, ayahku tanpa sengaja berbuat dosa dengan ibu tiriku sebelum itu. Aku menangis keras saat itu, mengumpat, dan merasa marah. Ternyata selama ini ayahku menduakan ibuku, memiliki anak lain selain aku. Saat ibuku masih hidup.