Bulan Madu Pengantin

Rosi Ochiemuh
Chapter #33

Cincin Bermata Merah Delima


Hampir saja aku ingin jatuh, saat Eyang mulai mengingat siapa pemilik cincin bermata merah delima di jemari yang ada dalam foto yang dikirim suamiku. Sebelum itu Eyang menata duduknya, dan matanya mulai pecah ingin menangis. 

“Amora, aku ingat pemilik cincin itu siapa. Tata pernah memakainya saat mengunjungiku dua puluh lima tahun lalu saat Kusma baru lahir,” pekiknya sambil menggoyangkan kedua lenganku. 

“Apa, Eyang! Kusma bersama diakah, Eyang?” sahutku setengah memekik. 

Eyang Titik menangis sejadinya di depanku. Aku ikut menangis. Dunia rasanya begitu kecil. Baru saja aku mendapat surat pesan peringatan dari nenek suamiku, tiba-tiba langsung dihantam kenyataan jika Kusma sebenarnya ada pada perempuan itu, Renata. 

“Bagaimana ini, Eyang? Apa Eyang yakin Kusma sudah bertemu dengan dia, Eyang? Jika benar, lalu apa yang harus kita lakukan, Eyang?” tanyaku setengah membentak, karena aku tak dapat menyembunyikan rasa kesal itu. Eyang terus saja menangis, matanya hampir tak dapat terbuka karena sembab. 

Mata sipit tajamnya semakin mengecil dan kantung matanya membengkak karena menangis lama.

Pagi ini sudah tidak terasa hampir mendekati pukul sepuluh pagi. Sudah enam belas jam, suamiku belum ada kabarnya. Apa yang harus kami lakukan? 

“Amora, mungkin kita harus memastikan dari kantor Kusma bekerja, apakah benar orang yang ditemui bosnya bernama Renata? Coba kamu telepon lagi kantor Kusma sekarang, Amora,” pinta Eyang Titik panjang lebar. Kesedihannya mulai berkurang. 

Aku menelpon kantor Kusma. Kubilang bahwa aku istrinya yang ingin bertanya di mana keberadaan Kusma. Dalam telepon itu terdengar suara pria sedikit serak. Sepertinya pria itu sudah tua, namanya Pak Kendy. 

Dia memberitahu memang kemarin Kusma menemani Luna makan siang bersama koleganya. Saat kutanya siapa kolega yang dimaksudkan, pria itu menjawab bahwa dia pemilik setengah saham di kantor itu. 

Namanya, Renata Henri Wijaya, usianya lima puluh tahun. Kutanya lagi di mana suamiku, lalu pria setengah tua itu berkata bahwa mungkin saja suamiku ikut rapat lagi dengan pemilik proyek besar untuk kantor mereka. Namun, kubilang bahwa suamiku belum pulang sampai pagi ini, dan dia mendadak tak bersuara. 

Terputus. Mengapa terputus teleponnya? Tidak ada sinyal atau sengaja diputuskan? Gumamku terus berdengung. Eyang terpaku memandangiku. 

“Bagaimana, Amora? Apa betul teman bos Kusma yang ditemui namanya itu?” Kedua mataku kembali terpaku pada ponsel di tangan. 

Tatapan Eyang menunggu jawabannya. Kenyataan memang perempuan kemarin yang makan siang dengan Kusma adalah adiknya Eyang. Aku menelan ludah sambil membalas tatapan Eyang Titik, mengangguk pelan. Tatapan Eyang masih menatap jelas ke mataku, lalu sekian menit tatapan itu berubah kosong. 

“Amora … Kusma dalam bahaya, Amora,” ucapnya terbata. Aku segera meraih tubuhnya yang hampir limbung. 

Lihat selengkapnya