Ya Allah, jantungku seketika berdetak kencang. Apa yang baru saja aku dengar dari ponsel suamiku? Itu suara perempuan. Dia memberitahukan jika Kusma berada di rumahnya dan aku harus datang ke sana, tidak boleh memberitahukan siapapun, atau melaporkan ke polisi. Bagaimana ini?
“Eyang, barusan aku menelepon lagi ponsel Kusma. Yang angkat perempuan. Dia meminta aku untuk datang menjemput suamiku ke rumahnya. Sendirian, dan tidak boleh melapor ke polisi atau mengajak siapapun karena suamiku akan celaka di sana,” ujarku pada Eyang. Wajahnya beku di tempat menatapku.
“Di mana alamatnya, Amora?” tanya Eyang kemudian, tangannya gemetar menyentuh lenganku.
Aku menyodorkan ponsel dan menunjukkan pesan teks kiriman dari ponsel Kusma. Dibacanya alamat rumah itu, tiba-tiba Eyang tersuruk lagi jatuh ke lantai.
“Eyang, ada apa? Kusma sebenarnya ada di rumah siapa? Eyang tahu, bukan?” tanyaku sambil memapahnya untuk berdiri. Dia menunduk saja.
Tiba-tiba Eyang menangis tersedu sambil memanggil nama Kusma. Aku rasa Eyang sudah tahu Kusma berada di mana, dan ketakutan mulai menjalari dada ini. Apakah suamiku dalam bahaya besar?
“Maafkan aku, Amora. Itu alamat rumah Renata. Adik tiriku, Amora,” ucap Eyang. Kemudian dia terisak sambil memeluk tubuhku.
Aku terdiam menggigil dan ketakutan itu semakin membuat tubuh ini gemetar. Bagaimana ini? Apakah suamiku akan jadi korban perempuan jahat itu? Mengapa ketakutan ini begitu cepat datang memeluk aku dan Eyang tanpa persiapan apa-apa, begitu cepatnya kami diserang?
“Eyang! Aku harus ke sana! Bagaimanapun caranya aku harus menyelamatkan suamiku. Apa pun risikonya, meski ketakutan ini begitu besar.”
Mendengar ucapanku itu Eyang langsung menghadapkan wajahnya kepadaku.