Pagi, di hari keempat mereka berdua menjadi suami istri, adalah hari kedua Sevda kedatangan bintang, eh ... bulan, datang bulan alias menstruasi. Sesuatu yang entah mengapa disyukuri Sevda, tetapi tidak dengan Aman.
Aman dan Sevda sudah melewati malam pertama yang bukan malam pengantin yang biasa. Malam pengantin yang romantis dan syahdu seperti yang dilakukan orang-orang itu sudah terlalu mainstream, tidak seru dan tidak menarik untuk menjadi kenangan di masa tua nanti.
Malam pertama adalah tidur bersama, tidur berdampingan, barangkali itu bisa menjadi tren baru di masa depan, yaitu malam pengantin tanpa malam pengantin. Aduh, bikin bingung saja, itu gara-gara Sevda sesak napas.
Sesak napas yang barangkali dibuat-buat, demi tidak perlu menjalani malam pertama, itu versi isi hati Aman yang kesal tetapi tak berani diungkapkannya kepada siapa pun. Sementara batin Sevda menyalahkan Aman yang terlalu menggebu dan bernafsu memesrainya. Sevda belum siap menerima perlakuan seperti itu, maka sesak napasnya kambuh tanpa bisa ditahan atau ditunda.
Bagaimana Sevda tidak kaget. Mendapati seorang lelaki tidur di sampingnya saja butuh waktu untuk menciptakan rasa nyamannya sendiri, walau lelaki itu sahabatnya dan temannya sejak SMA hingga kuliah. Apalagi saat berpacaran Sevda selalu menjaga diri untuk tidak bersentuhan dengan Aman, maka kaget itu wajar.
Sevda tak pernah dicium lelaki selain ayahnya, bersalaman saja tidak mau, apalagi berciuman. Berboncengan sepeda motor hanya bila terpaksa, Sevda memang 'separah' itu dalam urusan menjaga kesuciannya. Mereka berdua berpacaran tetapi tidak mesra. Sevda membawa mobil sendiri ke kampus, Aman pun membawa sepeda motor sendiri. Itu berlangsung selama hampir dua tahun.
Malam pertama gagal, tak ada yang perlu disesali, masih ada malam-malam berikutnya.
Malam kedua mereka jalani di rumah Aman, setelah acara ngunduh mantu. Malam itu Sevda berniat untuk melayani Aman. Dia sudah berdandan cantik, sore tadi sudah mandi dengan lulur wangi, memakai baju tidur menerawang yang menggoda. Sevda bolak-balik berdiri di depan cermin, tersenyum sendiri melihat dandanannya sudah seperti model lingerine. Dimatikannya lampu kamar, menyisakan lampu tidur yang remang-remang.
Suaminya masih mengobrol dengan para tetangga yang masih belum pulang, dari dalam kamar Sevda mendengar suara mereka samar-samar. Ada yang menanyakan keberadaan Sevda, Aman menjawab bila istrinya kelelahan jadi istirahat dulu. Rupanya jawaban Aman membuat para tamu sadar diri bila hari sudah malam, dan jarum jam sudah mendekati angka sepuluh. Sevda mendengar suara orang berpamitan sambil harap-harap cemas menunggu suaminya masuk, eh, yang datang malah arwah!
Yang dilihat Sevda adalah lelaki memakai jaket hitam dan celana hitam, berkulit sawo matang, berambut hitam lurus dan kaku disisir menyamping, kumisnya hitam melintang sekaku rambut kepalanya, kedua tangannya masuk ke saku jaket. Arwah itu berdiri tepat di depan pintu kamar, kedatangannya yang tiba-tiba membuat Sevda bangun dan menyalakan lampu, berusaha bersikap setenang mungkin sambil mulutnya komat-kamit membaca doa, berharap arwah itu segera pergi.
Sevda mengalihkan perhatian dari rasa takutnya dengan menyalakan komputer, hendak bermain gim. Gim di layar masih loading, jemarinya belum sempat memainkan satu ketukan pun, arwah itu sudah duduk di dekatnya dalam hitungan satu kedipan mata.
Sevda menjerit, membuat Emak -ibu mertuanya- yang kebetulan lewat tepat di depan pintu kamar datang dan menengok keadaan Sevda. Melihat wajah pias menantunya, Emak tanggap, segera memeluk Sevda dan menanyakan ada apa.
Sejak Aman berpacaran dengan Sevda, Emak sudah tahu kelebihan Sevda yang indigo. Emak menangkap ada sesuatu yang sedang dialami Sevda dan itu berkaitan dengan dunia misteri. Emak benar dengan dugaannya.
Sevda tak punya pilihan lagi selain bercerita tentang arwah lelaki yang dilihatnya kepada ibu mertuanya, giliran Emak yang melongo dan gemetaran, karena lelaki yang ciri-cirinya disebutkan Sevda adalah tetangga yang sorenya meninggal karena kecelakaan dengan memakai celana dan jaket hitam! Jantung Emak berdegup lebih kencang, Sevda merasakannya.
"Tunggu sebentar, aku panggil suamimu," kata Emak, meninggalkan Sevda sendirian, gayanya sigap seperti hero yang hendak menyelamatkan dunia.
Beberapa kerabat dekat belum pulang juga dan masih berbincang dengan Aman, Emak pun membisiki anak lelakinya bila Sevda membutuhkannya dan entah bagaimana cara Emak membubarkan acara jagong manten malam itu.
Peristiwa itu membuat suasana romantis yang dibangun Sevda berbalik mencekam, hasratnya untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri pudar sudah. Sevda lemas, kehilangan kekuatan.
Skenario seorang istri yang menyambut mesra suami di malam pengantin buyar lagi. Keadaan berbalik, aroma wangi yang memenuhi kamar berubah menjadi aroma minyak kayu putih. Itu gara-gara tubuh Sevda jadi sedingin pegunungan, lalu Aman membaluri tubuh istrinya dengan minyak kayu putih, setelah itu menyelimutinya dengan selimut tebal. Lingerine cantik itu pun tak ada kabarnya lagi.
Malam kedua Sevda masih 'utuh'.
Pagi, setelah malam kedua di rumah suaminya, Sevda minta pulang ke rumahnya sendiri yang hanya ditempuh dalam beberapa menit saja dari rumah Aman. Malang sekali buat Aman, karena pada malam ketiga Sevda kedatangan rutinitas wanita, yaitu menstruasi. Nasib, nasib!
Kini Aman membuka pagi keempat dengan menatap istrinya yang sedang terlelap. Semalam Sevda mengeluh sakit perut dan bolak-balik ke kamar mandi untuk mengganti pembalut, karenanya Aman tak tega membangunkan istrinya meskipun hari sudah terang.
Maka Aman berbaring lagi di sisi Sevda, memandang wajah cantik itu, napasnya yang teratur, bibir merah muda yang selalu terlihat basah mengatup. Sebagian rambut Sevda jatuh ke kening, dia singkap perlahan, dan lanjut membelai kepala istrinya dengan penuh kasih.
Menatap wajah cantik itu membuat Aman terkenang betapa perjuangannya selama ini demi mendapatkan cinta Sevda, sekaligus menjadikan Sevda pengantinnya.
Aman jatuh cinta pada pandangan pertama saat daftar ulang di SMA-nya dulu. Di dalam antrian yang panjang, Sevda berdiri tepat di depannya. Rambut Sevda sebahu terurai indah, lalu udara mengantarkan aroma wangi rambut itu ke hidung Aman, memberinya perasaan nyaman nan damai. Seketika kelelahan kakinya yang sedari tadi berdiri lenyap tak berbekas.
Sesekali Sevda menoleh dan berbicara dengan temannya yang berada di belakang Aman, Sevda memanggilnya Amara. Mereka berdua saling bicara tanpa memedulikan kehadiran Aman, seolah Aman tak ada. Namun pembawaan Sevda yang lembut dan manja membuat Aman jatuh cinta detik itu juga, tak pernah berhenti walau sempat berpaling karena putus harapan.
Ketika giliran Sevda tiba, Aman sengaja mengintip berkas-berkas Sevda yang sedang diperiksa, ada riwayat penyakit yang tertulis di sana, rhinitis dan sesak napas. Aman mana peduli dengan itu, mencintai adalah menerima kelebihan dan kekurangan secara utuh dan Aman telah berhasil membuktikannya.
Saking cintanya, Aman sampai berdoa dan salat tahajud minta kepada Allah agar ditempatkan satu kelas dengan Sevda. Doanya mewujud, Aman sekelas dengan Sevda dan Amara, tetapi ujung-ujungnya Sevda berpacaran dengan Raka, kakak kelas dua tingkat di atas mereka. Aman pun sempat berpacaran dengan Amara, tapi itu tak lama karena keduanya menyadari bila hati Aman selalu terisi nama Sevda.